www.MartabeSumut.com, Medan
Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 memunculkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) terhadap 3 kabupaten di Provinsi Sumut. Diantaranya Kab Madina, Kab Labuhanbatu dan Kab Labuhanbatu Selatan. Ketiga kabupaten telah melakukan PSU pada Sabtu (24/4/2021). Menanggapi dinamika politik pelaksanaan Pilkada dan PSU di Indonesia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Ebenejer Sitorus, SE, mengatakan, sudah saatnya Pilkada langsung ditinjau kembali dan dikembalikan ke DPRD.
Kepada www.MartabeSumut.com, Jumat siang (23/4/2021) di ruang kerjanya FP-Hanura gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan, Ebenejer menceritakan, awal pelaksanaan Pilkada langsung dimulai sejak Juni 2005. Saat itu penyelenggaraan Pilkada langsung di-introdusir dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Semangat pelaksanaan Pilkada langsung disebutnya untuk mengembalikan hak-hak politik warga yang selama ini dilakukan melalui lembaga perwakilan rakyat di DPRD. “Pelaksanaan Pilkada langsung dipandang sebagai upaya memperbaiki kehidupan demokrasi setelah terjadi pergantian rezim Orde Baru ke era reformasi. Itu cerita awalnya,” terang Ebenejer, sembari menambahkan, sebelum Pilkada langsung didahului pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung tahun 2004.
Pilkada Langsung Banyak Mudaratnya
Politisi Partai Hanura ini menjelaskan, berkaca dengan pengalaman masa lalu, disadari atau tidak, pelaksanaan Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. “Apa yang kita lihat sekarang, tidak sedikit kepala daerah terjerat kasus korupsi. Kenapa ? Ya karena sejak awal telah mengeluarkan biaya tinggi. Sudah rahasia umum. Cakada kalo gak punya uang ya jangan coba-coba maju,” ucapnya. Mudarat lain disebut Ebenejer menyangkut sikap penyelenggara Pemilu, Parpol, pihak-pihak berkepentingan serta berbagai elemen masyarakat yang sama-sama berpikir pragmatis tentang uang alias wani piro. Selain itu muncul pula konflik horizontal dan vertikal akibat sengketa Pilkada. “Faktanya semua berperilaku pragmatis. Mulai dari Parpol, pelaksana Pemilu, unsur tertentu hingga masyarakat. Pragmatis dengan pendekatan uang. Saat pembentukan Tim Sukses, uang sudah beredar di tingkat RT, RW, desa, kecamatan, kota/kab sampai provinsi. Kan uang semuanya itu,” beber Ebenejer.
BACA LAGI: Gratiskan Air Pelanggan ! Covid-19 Rontokkan Ekonomi, Ebenejer Sitorus Sindir Empati Tirtanadi
BACA LAGI: Pengesahan P-APBD Sumut Gagal, Ebenejer Sitorus: Kinerja Pemprovsu Ganggu Suasana Psikologis DPRDSU
Kembalikan ke DPRD, Sedikit Mudaratnya
Oleh sebab itu, semenjak dini, Ebenejer berharap DPR RI merevisi kembali UU yang mengatur Pilkada langsung dan mengembalikan pemilihan ke DPRD. Dengan demikian, negara dan daerah tidak mengeluarkan biaya besar pelaksanaan Pilkada. Begitu juga Cakada tidak terbebani niat korupsi saat terpilih dan rakyat terbebas dari pragmatisme sikap. Ebenejer percaya, persoalan klasik Pilkada langsung seperti biaya Cakada besar, anggaran negara/daerah tinggi, praktik money politics, kecurangan penghitungan suara hingga konflik horizontal/vertikal, itu akan semakin kecil lingkupnya tatkala Pilkada kabupaten, kota dan provinsi dilakukan di DPRD. Bukankah publik tidak percaya pada proses pemilihan di DPRD sehingga Pilkada langsung jadi harapan ? Anggota DPRDSU periode 2014-2019 dan 2019-2024 ini berpendapat, jika kelak timbul kecurigaan atas indikasi suap/kecurangan dilakukan anggota DPRD yang memilih kepala daerah, maka pengawasan melekat dapat dijalankan KPK atau penegak hukum lainnya. “Diawasi aja, KPK bisa sadap semua anggota DPRD sebelum pemilihan,” ujarnya.
BACA LAGI: Petugas Security Check Point tak Ramah, Ebenejer & Parlaungan Panggil Otoritas Bandara Kuala Namu
16 Tahun Pilkada Langsung
Nah, setelah mengamati pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia kurun 16 tahun, Ebenejer memastikan hampir 100 persen lebih banyak mudaratnya. Namun bila dikembalikan ke DPRD, anggota Komisi C DPRDSU bidang keuangan itu meyakini lebih besar manfaatnya. “Tentu saja kelebihan dan kelemahan selalu ada dalam setiap kegiatan apapun. Saya rasa kita tinggal evaluasi bentuk mana yang manfaatnya lebih besar,” tegasnya. Andaikan rakyat masih ngotot Pilkada langsung merupakan perwujudan hak politiknya dan tidak setuju DPRD yang memilih kepala daerah, pendapat Anda ? Ebenejer tersenyum santai dan tidak mengingkarinya.
Evaluasi Pilkada Langsung
Bagi legislator asal Dapil Sumut 5 Kab Asahan, Kota Tanjungbalai dan Kab Batubara tersebut, PSU yang marak dilakukan di penjuru Tanah Air seyogianya menuntun para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi manfaat serta mudarat Pilkada langsung. Artinya, timpal dia lebih jauh, ketika ditemukan fakta bahwa mudarat Pilkada langsung lebih besar dibanding manfaatnya, tentu saja pengembalian Pilkada ke DPRD patut disadari semua pihak khususnya warga negara.
BACA LAGI: Pasca-Pemilu 2019, Ebenejer Sitorus Dukung Aparat Tindak Tegas Pelaku Hoax, Hate Speech & Makar
BACA LAGI: Insiden Wiranto, Ebenejer Sitorus Imbau Polri Usut Tuntas & Tangkap Penyebar Hoax Setingan
Warga Jeli Pilih Wakil di DPRD
Sedangkan soal hak politik warga negara, Ebenejer mengimbau jeli memilih wakil rakyat yang dipercaya sebagai anggota DPRD melalui ajang Pemilu Legislatif. Tujuannya agar hak politik warga negara bisa disalurkan wakil rakyat yang dipilihnya tatkala Pilkada dikembalikan ke DPRD. Selama 16 tahun ini, simpul Ebenejer, civil society kerap dilibatkan secara formal dalam pentas Pilkada langsung. Baik selaku pelaksana Pemilu, pengawas, pemantau hingga saksi-saksi. Tapi tugas dan hasilnya dianggap Ebenejer cenderung tidak jelas untuk menangkal berbagai konflik Pemilu.
BACA LAGI: Dikonfirmasi Soal Timses Cakada Gerilya Bagi-bagi Uang ke Warga, Pjs Walikota Medan: Ya Terima Aja !
“Wani piro semua, tuh. Belum lagi uang negara/daerah habis ratusan triliun melaksanakan Pilkada 9 Desember 2020 kemarin. Kan sama-sama kita lihat. Uang negara banyak habis, muncul konflik, timbul sengketa suara dan berujung PSU. Jadi sangat berbahaya bila Pilkada langsung kita laksanakan terus. Berpotensi memicu perpecahan dan merusak moral anak bangsa akibat pola pragmatis wani piro,” ingat Ebenejer Sitorus diplomatis. (MS/BUD)