INTISARI tulisan ini pernah saya muat 5 tahun silam pasca-Pilpres 9 Juli 2014. Kembali saya publikasikan disebabkan 2 hal. Pertama, lantaran Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto sama-sama Capres 2014. Kedua, cerita lama berulang lagi pada Pilpres 2019. Cuma 2 pasang calon. Bedanya, dulu Jokowi didampingi Cawapres Jusuf Kalla sedangkan sekarang KH Maruf Amin. Sementara Prabowo didampingi Hatta Rajasa dan saat ini Sandiaga Uno. Ketika saya telisik lebih dekat, ternyata geliat ke-2 Capres dan suhu politik sedari 5 tahun lalu itu tidak berbeda jauh. Buktinya, konflik dan “dendam kekalahan” 2014 tetap terbawa sampai sekarang. Rakyat terseret-seret rentan perpecahan.
Saya mulai mengamati geliat Jokowi saat perebutan tahta Jakarta-1 beberapa tahun silam. Melihatnya cuma di TV dan belum pernah kenal secara pribadi. Namun 1 minggu sebelum Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, lubuk hati saya justru mengatakan bahwa Jokowi-lah pemegang mandat Jakarta-1. Entah kenapa, tapi saya merasa yakin dia-lah yang dipilih Tuhan Yang Maha Kuasa memimpin DKI Jakarta. Usai Pilgub DKi Jakarta, penilaian hati semenjak dini itu ternyata terbukti. Jokowi yang dijagokan sedikit Parpol pengusung akhirnya menang melawan incumbent Fauzi Bowo (Foke) yang didukung banyak Parpol besar. Timbul pertanyaan, kenapa saya bisa memprediksi Jokowi bakal menang di Jakarta ? Sampai sekarang saya tak tahu apa jawabnya. Sebab saya sendiri tidak kenal Jokowi secara pribadi dan belum pernah punya urusan dengan dirinya. Saya juga tak memiliki afiliasi politik, tidak anggota Parpol tertentu dan bukan pula warga di wilayah DKI Jakarta. Namun yang pasti, saya hanya melihat wajah Jokowi dan cara bicaranya di TV. Itu saja lain tidak. Tak ada pula hubungan kesal dengan Foke sehingga hati saya berani menyatakan Jokowi menang dan Foke kalah, kala itu. Saya heran juga apa yang membuat hati bulat menyatakan Jokowi pemenang. Itulah 1 fakta ketika suara hati benar-benar bicara. Cerita nyata lain masih ada. Terkait penilaian hati saya terhadap sosok Caleg-caleg incumbent DPR RI asal Sumut, Caleg DPRD Sumut dan Caleg DPRD Medan 2014-2019 yang berlaga dalam Pileg 9 April 2014. Lagi-lagi, entah kenapa, hati kecil saya spontan menilai puluhan nama yang saya perkirakan TIDAK LOLOS. Sebagai jurnalis yang berdomisili di Kota Medan, saya kerap mengikuti beberapa kiprah mereka secara pribadi. Saya punya hubungan emosional pribadi, mengenali wajahnya, mendengar kebenaran ucapannya, memahami geliatnya, menelaah perilakunya, mengamati integritas bibirnya, mengikuti berita-beritanya di media serta lain sebagainya. Bukan apa-apa, percaya atau tidak, puluhan nama nama Caleg incumbent yang saya catatkan di hati kecil itu terbukti tidak lolos sesuai penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kembali saya merenung keras dalam hati. Apakah suara hati seputar sosok DKI Jakarta-1 dan lolos-tidaknya Caleg Incumbent tersebut hanya kebetulan semata atau memang kebenaran sejati dari kekuatan mata hati ? Mungkin Anda selaku pembaca menyebut saya mengarang, berhalusinasi, tidak suka pada figur seseorang atau berpihak terhadap sosok tertentu ? Sepenuhnya saya serahkan kepada Anda. Tapi tulisan saya sebelumnya di rubrik Garis Bawah ini telah mengurai Caleg Incumbent yang gagal duduk tahun 2014 dengan topik berjudul “Banyak Caleg Terpanggil tapi Sedikit yang Terpilih”. (Silahkan baca tulisan saya 5 tahun lalu dengan masuk ke link berikut: http://www.martabesumut.com/garisbawah-34-banyak-caleg-terpanggil-tapi-sedikit-yang-terpilih.html)
Pilpres 2019 Tinggal 8 Bulan
Tatkala Garis Bawah ini Anda baca, apapun yang saya sampaikan berikutnya mewakili pendapat pribadi seorang warga negara yang dijamin konstitusi. Tidak bermaksud menyudutkan, mendiskreditkan, merendahkan apalagi menghina seseorang. Pemilu Presiden (Pilpres) 17 April 2019 menyisakan waktu sekira 8 bulan. Pilpres 2019 cukup menarik karena bersamaan dengan Pemilihan Legislatif. Bila saat Pilgub DKI Jakarta saya tidak punya kepentingan apapun namun hati bisa meyakini kemenangan seorang pemimpin bernama Jokowi, maka saat Pilpres 2014 saya berkepentingan dan kata hati saya tidak meleset menyatakan Jokowi is the winner (pemenang). Nah, jelang Pilpres 2019 kelak, tentu saja saya tetap punya kepentingan. Sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang tinggal di Medan-Sumatera Utara, saya punya hak memilih pemimpin yang benar-benar memiliki hati. Garis bawah ini saya tuliskan bukan sekadar keikutsertaan seorang rakyat menentukan sikap politik atas masa depan negara 5 tahun sekali. Lebih dari itu sebagai bentuk tanggungjawab moral memberitahukan kepada dunia dan publik Indonesia bahwa Republik ini urgent immediately (mendesak secepatnya) sosok pemimpin bangsa yang memimpin dengan hati untuk menjaga keutuhan Pancasila/NKRI. Tiga pengalaman pribadi sederhana atas kemenangan Jokowi di Jakarta, lolos-tidaknya Caleg-caleg incumbent 2014 dan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 RI tahun 2014, sengaja saya singkap sekaligus memprovokasi hampir 200-an juta pemilih di penjuru Tanah Air supaya bertanya pada hati masing-masing sebelum memutuskan pilihan di bilik TPS. Saya menggarisbawahi, disadari atau tidak, penilaian yang datang dari hati adalah doa dan harapan dari seorang manusia terhadap orang lain berdasarkan penampilan, karakter, performance, sikap, kinerja, gaya, integritas, kompetensi dan lain sebagainya. Apakah akhirnya menilai dengan ukuran subjektif atau objektif, bagi saya hal lumrah saja sesuai pengalaman/perasaan pribadi masing-masing. Namun saya percaya, penilaian hati di atas bukanlah suatu peristiwa yang ganjil. Hati setiap orang pasti pernah punya pilihan sendiri-sendiri dalam banyak urusan pribadi maupun pekerjaan. Apalagi ketika diperhadapkan dengan pentas Pilgub DKI Jakarta, Pileg/Pilpres 2014, Pilkada langsung selama ini hingga jelang Pilpres/Pileg 17 April 2019. Saya meyakini, tidak sedikit hati warga negara yang “jatuh hati” pada sosok Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno. Bisa karena memang kita tipikal pribadi yang selalu tergila-gila pada pola-pola militer, atau disebabkan ukuran subjektif ketampanan fisik seseorang. Diekspresikan terbuka bahkan ada yang kerap menyimpannya di hati sepanjang masa. Begitulah kekuatan hati bila sudah bicara. Dukungan hati nyata bisa menjadi doa sekaligus aura penentu yang bersifat hiding energy (kekuatan tersembunyi) tapi tanpa kita sadari sangat mempengaruhi pencapaian suatu hasil.
Quo Vadis Legacy Founding Fathers: Melindungi, Menjaga dan Mensejahterakan
Sebelum saya lanjutkan, mari kita bergeser sejenak menyoroti beberapa masalah bangsa ini. Kita semua paham, keputusan memilih pemimpin Nasional dan rezim satu pemerintahan baru sebenarnya bukan semata-mata urusan pertarungan politik antar-elite kelas “wah”. Tapi bagian tidak terpisahkan dari selera rakyat pada aras bawah. Termasuk menyangkut kondite seorang calon pemimpin yang berkiprah di lembaga Eksekutif, Legislatif dan Judikatif. Saya sengaja beralih sedikit pada kondisi terkini bangsa sebelum melanjutkan bicara seputar Jokowi dan Prabowo. Ini perlu saya ungkap sebab terlalu banyak pemimpin, pejabat, aparat dan birokrat pemerintah yang gagal paham tentang legacy (warisan) founding fathers (pendiri negara) yang tercantum dalam 4 alinea butir-butir Pembukaan UUD 1945, lima (5) Sila Pancasila dan puluhan Pasal UUD 1945. Artinya, hingga 73 tahun usia Indonesia merdeka tahun 2018 ini,pemerintahan yang silih berganti menuju 8 Presiden pada tahun 2019, memposisikan Indonesia masih dalam kondisi quo vadis (mau kemana?) dan stagnan. Sebab, belum 1 pun jajaran pemimpin di pusat dan di bawah pusat berhasil merealisasikan isi 3 legacy berharga pendiri negara yang membuat Indonesia (masih) bertahan sampai sekarang. Buktinya, di Indonesia Raya kita ini lebih mudah mengurus pendirian izin rumah bordil, judi, diskotek dibanding rumah ibadah. Kawasan maksiat judi, prostitusi dan Narkoba marak bak kacang goreng di depan polisi, namun orang yang beribadah saja bisa dibubarkan segerombolan orang mengatasnamakan izin atau penolakan. Bahkan tidak sedikit yang selalu dihantui intimidasi dan ancaman. Haka Asasi Manusia (HAM) yang hakiki dirampas, sedangkan kemerdekaan orang beribadah dengan Tuhan-nya dianggap ancaman. Jelas sekali Sila I Pancasila cuma sekadar pajangan dan manis di bibir. Belum tegak dan implikasinya membuat Indonesia sangat rentan konflik SARA. Begitu pula ketimpangan drastis antara kekayaan sumber daya alam dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang tidak merata. Sila V Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum kunjung terwujud kurun 73 tahun Indonesia merdeka. Tak satu pun Presiden Indonesia yang pernah murni dan konsekwen menerapkan Sila I dan Sila V tersebut. Lalu kita sebut mantan-mantan Presiden RI itu penipu, pembohong, tidak menepati janji dan hoax ? Eittttssssss……wallahualam. Tergantung dari perspektif mana menilai dan siapa pula yang menyoroti. Saya sepakat untuk tetap sepakat bahwa 2 Sila Pancasila ini belum sepenuhnya terealisir di penjuru Tanah Air. Tapi saya akan menolak tegas setiap propaganda bertujuan politis dan berorientasi menjatuhkan. Kecuali kalau ada 1 dari 7 Presiden kita itu yang sudah benar-benar murni mewujudkannya. Diakui atau tidak, mayoritas pejabat, penguasa, eksekutif, legislatif, judikatif dan aparat pemerintah pusat/daerah cenderung basa-basi menerapkan sebatas lips service. Kemudian dijadikan alat propaganda kepentingan jabatan tanpa ada perbuatan yang bisa dipercaya. Sebut saja contoh sederhana: pejabat, aparat, birokrat (ASN/PNS) dan wakil rakyat kita masih tidak gigih melindungi, kurang tegas menjaga, tidak iklas mengabdi, kurang tulus melayani dan tidak serius mensejahterakan rakyat. Itulah fakta empiris miris kekinian Indonesia. Kendati sebenarnya, asumsi saya masih harus diuji lagi kebenarannya mengingat tidak semua orang bisa disama-ratakan. Tapi saya mau mengingatkan, kerinduan dan mimpi-mimpi rakyat memperoleh/meraih hak-hak hidup sejahtera seperti amanat alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 memang belum kunjung dapat digapai alias tiori di atas kertas atau selalu dijadikan “mainan” politik pihak eksekutif, legislatif, judikatif yang berkuasa/berkepentingan. Termasuk calon Presiden, calon kepala daerah, calon legislatif dan calon senator DPD RI ketika kampanye ingin meraih kursi/kekuasaan. (Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….dst). Belum lagi perintah BAB XIV UUD 1945 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (3) yang masih sebatas angan-angan tanpa pernah tahu kapan dapat dirasakan. (Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat). Saya mau mengatakan, rakyat Indonesia capek melihat eksklusivitas pemimpin lokal, regional dan Nasional yang berpendidikan tinggi, pintar, ganteng, jago bicara dan memiliki segudang pencapaian prestasi maupun karir tapi setengah hati mempertanggungjawabkan 3 legacy pendiri negara. Rakyat letih menyaksikan semangat berkuasa, perilaku pura-pura, kepalsuan, kebohongan, silat lidah, pembenaran diri atas kesalahan, ambisi memperkaya diri/korup, perilaku feodalis bahkan minus rasa empati sosial atas kondisi orang lain yang masih “kesepian ditengah-tengah keramaian”. Rakyat juga lesu mengamati proses pembusukan budaya yang terus dipertontonkan elite pejabat, birokrat, wakil rakyat dan aparat pada level atas sampai terendah. Mari kita bayangkan pembukaan Asian Games 18 Agustus 2018 di GBK kemarin. Paham integral bangsa yang seharusnya menyatu dalam semangat patriotisme/Nasionalisme, justru dirusak oleh segelintir orang-orang berkepentingan politis dengan tujuan menjatuhkan citra Presiden Jokowi di mata dunia. Norak gak ? Kok malah aksi moge, stuntman dan cincin Jokowi yang dijadikan alasan untuk merendahkan negaranya sendiri. Benar-benar mental kerupuk dari sebagian kecil orang yang mencoba kritis namun tidak realistis..!!! Dunia mengakui dan takjub tapi kelompok nyinyir tetap bangga mengaku oposisi dengan cara-cara mencaci, menghujat, ujaran kebencian, fitnah, hoax hingga berbagai perilaku miris lain yang sekadar menarget raihan kekuasaan. Jadi benar sekali petuah orangtua yang mengatakan: sirik tanda kalah dan tak mampu. (Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang dia peroleh, melainkan apa yang sangat ia rindukan untuk diraih– Kahlil Gibran).
Pada sisi lain, sosok pejabat negara dan pemerintah yang dipercaya mampu melindungi, menjaga serta mensejahterakan rakyat, seharusnya menjalankan 3 legacy pendiri negara tersebut. Sampai saat ini, semua itu masih sebatas mimpi indah yang teramat dirindukan seluruh rakyat Indonesia. Padahal, kalau kita masih mau jujur, konsepsi yuridis tersebut sudah jelas dalam konstitusi negara dan merupakan keniscayaan yang tak perlu dipamer-pamerkan apalagi digembar-gemborkan saat kampanye Pilkada, Pileg hingga Pilpres. Namun siapa yang bisa mengingkari, larinya jutaan rakyat ke negara luar mencari makan/jadi budak/TKI merupakan wujud keterpaksaan warga negara karena kegagalan pemerintah memberikan persamaan hak atas pekerjaan, perlindungan dan kesejahteraan sosial. Siapa pula yang bisa menafikan, kalau saat ini tidak sedikit warga negara Indonesia khawatir soal biaya pendidikan dan takut menderita sakit lantaran mahalnya biaya sekolah serta fasilitas kesehatan. Muncul lagi pertanyaan, apakah Indonesia miskin sekali sehingga tidak mampu memberikan jaminan 3 hak dasar tersebut selain berjanji saat kampanye ? Atau, jangan-jangan pemerintah/pemimpin/presiden RI sebelumnya terlalu “pintar” sekali sehingga malu meniru strategi Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yeuw yang menerapkan kebijakan negara: persamaan hak warga mendapat pendidikan, kesehatan dan pekerjaaan ? Itu baru 3 kebutuhan rakyat yang jelas-jelas menjadi tanggungjawab negara sesuai konstitusi. Belum lagi menyangkut permintaan rakyat semisal ketersediaan bahan pokok, harga-harga murah/distabilkan, jangan korupsi, penguatan iklim perdamaian dalam kebinekaan rakyat, perwujudan keadilan pada semua bidang, konsistensi perlindungan keutuhanciptaan alam, mempermudah urusan administrasi kependudukan KTP/KK, jangan jual tanah air kepada negara tetangga bermodus reklamasi pasir/tanah, lahirkan kebijakan penciptaan lapangan kerja supaya rakyat tidak lari ke ujung dunia jadi budak, penghentian impor-impor kebutuhan pokok karena tersedia di Indonesia, ketegasan pemerintah atas perilaku negara jiran Malaysia yang kerap menginjak-injak marwah bangsa, penghentian perilaku pura-pura bloon terkait maraknya peredaran Narkoba yang melibatkan banyak oknum aparat/penguasa, pengakuan secara jelas kepluralan suku, agama/ras, penegakan kepastian hukum tanpa tawar menawar hingga segudang permintaan rakyat yang tidak mungkin terbilangkan di sini tapi cukup merisaukan di permukaan.
Debat Tim Sukses Capres 2014 Sebatas Debat Kusir
Kembali kepada Pilpres 9 Juli 2014 dengan 2 sosok calon pemimpin Nasional bernama Jokowi dan Prabowo Subianto. Sejauh mata mengamati kualitas debat-debat tim sukses dan ke-2 Capres di media TV saat itu, tak satupun yang menarik didengar sebab lebih tepat disebut debat kusir. Masing-masing membawa alur fikiran sendiri tanpa visi misi yang bisa diterima akal, atau paling tidak menyentuh substansi 3 legacy yang dirindukan rakyat. Tim sukses lebih pandai mencari-cari kesalahan dan menguak persoalan tapi justru menggantung jawaban karena pura-pura tak memahami essensi keinginan rakyat. Mereka senang membeberkan kelemahan dengan cara-cara memalukan ketimbang memberitahu jalan perbaikan. Sedangkan persoalan ril dan beberapa ekspektasi rakyat semisal nasib jutaan TKI yang ada di penjuru dunia, cenderung dijawab tidak substantif. Saya menggarisbawahi, siapapun yang menyelamatkan TKI dari masalah hukum di luar negeri, adalah benar wujud melindungi warga negara dan kasih sesama manusia. Tapi sebagai sosok calon pemimpin Nasional yang diwajibkan menjual visi-misi nyata, maka langkah itu masih belum cukup sebab tidak menyentuh substansi akar persoalan. Ibarat ban mobil/sepeda motor yang bocor halus, menjadi sangat tidak normal bila tidak segera ditempel melainkan hanya diisi angin. Begitu pula masalah TKI. Saya memastikan, kasus TKI tidak akan pernah usai sepanjang pemerintah tidak berani menyuruh mereka semua pulang ke Tanah Air dengan janji penyediaan lapangan kerja. Ada yang berani kampanye begitu ? Sangat mengherankan sekali bila semua mantan presiden RI atau segerombolan pemerintah berkuasa tidak pernah serius menyelesaikan akar persoalan TKI selain bangga menyikapi secara parsial atau case by case. Celakanya lagi, sejak pemerintahan dulu-sekarang, keringat dan darah TKI selalu dipropaganda sebagai pahlawan penghasil devisa. Pertanyaan berikut, adakah yang sanggup menjawab substansi masalah sesungguhnya ini ? Adakah yang berani menyatakan akan membuat UU atau Keputusan Presiden atau kebijakan apapun menyangkut pemulangan jutaan TKI budak (non skill) yang tersebar di penjuru dunia ? Apakah terlalu sulit bagi seorang Presiden melahirkan kebijakan bermuatan perintah kepada Gubernur, Walikota dan Bupati se-Indonesia agar menggandeng investor menciptakan lapangan kerja di daerah sehingga bisa memanggil seluruh TKI pulang ke kampung masing-masing ? Sederhana sekali toh ? Tapi apakah terfikir oleh kita bahwa sangat tidak bijaksana bila pemerintah selalu bangga memposisikan TKI sebagai sub-ordinasi pemasukan devisa negara dan pahlawan devisa padahal sebenarnya dijadikan komoditas pemerasan keringat rakyat. Logikanya, siapapun yang menjadi Presiden 2019 nanti, tolong jangan putarbalikkan tugas/kewajiban negara sesuai amanat konstitusi Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 dan sila-sila Pancasila.
Jokowi dari Hati, Prabowo Semangat Hati
Itulah sekelumit persoalan bangsa yang menjadi kegelisahan hati saya
melihat Indonesia di era kekinian memasuki Pilpres 2019. Silahkan
pemimpin yang terpilih mengambil yang baik dan memperjuangkannya untuk
rakyat Indonesia 5 tahun kedepan. Garis
Bawah ini lebih tertarik membeberkan fakta-fakta karya nyata
Capres-Cawapres 2019 Jokowi/KH Maruf Amin dan Prabowo Subianto/Sandiaga
Uno ketimbang keburukan masing-masing. Namun berangkat dari penilaian
hati
yang dikemukaan sejak awal di atas, plus
segudang persoalan kerakyatan yang terbukti secara sah dan meyakinkan
memposisikan pemerintah/penguasa/semua mantan presiden telah melanggar 3 legacy pendiri negara/amanat konstitusi, maka
saya memutuskan dalam garis bawah ini bahwa pemimpin Nasional
yang dirindukan rakyat tahun 2019 adalah sosok yang datang dari hati
tanpa
dibaluti kentalnya kepentingan politik praktis. Menurut hemat saya,
walau didukung mayoritas Parpol koalisi, namun rakyat Indonesia tidak
memandang Parpol kecuali pribadi Jokowi. Jokowi diyakini sebagian besar
pemilihnya masih akan memimpin dengan hati. Dalam garis bawah ini saya
defenisikan sebagai sikap pemimpin
yang melayani dan bukan untuk dilayani seperti gaya semangat hati para
pemimpin/penguasa/pejabat/aparat/wakil rakyat Indonesia pada umumnya.
Sedangkan
Prabowo Subianto saya amati tidak memiliki kekuatan memimpin dengan hati
kecuali sebatas semangat hati bak politisi mengejar kekuasaan, posisi dan kursi. Semangat Prabowo nyapres kembali 2019 telah membuatnya
tidak berbeda dengan presiden sebelumnya bahkan politisi-politisi yang
berebut kursi di parlemen. Hati saya mengatakan, inilah yang
membedakan Jokowi dan
Prabowo. Jokowi terlihat tulus, merakyat dan iklas berbuat kepada
publik.
Indonesia saat ini sangat membutuhkan presiden yang bekerja dengan hati
serta mau peduli. Benar, kurun 5 tahun berkuasa, tentulah ada program
Jokowi yang belum terealisasi. Tapi itu bukan bermakna dia ingkar janji,
pembohong apalagi menebar visi-misi hoax sejak 2014. Dalam
suatu organisasi profesional pun bisa saja ada program kerja pengurus
yang belum atau tidak terlaksana sampai habis masa periodisasi. Lalu, kita sebut pengurusnya hoax dan pembohong ?
Jelas tudingan yang terlalu politis, sesat, sesaat, mencari-cari
kesalahan dan munafikun !!! Makanya saya sangat menolak pola-pola
penyesatan publik dan penggiringan opini sesaat begituan. Paling tidak, nawaitu
Jokowi mewujudkan Sila I dan Sila V jelas dirasakan rakyat sedari
memimpin hampir 5 tahun. Lihat saja kepemilikan saham Indonesia di PT
Freeport dari 9 persen jadi 51 persen. Membangun jembatan, jalan tol,
pelabuhan, tol laut dan fasilitas publik dari Sabang-Merauke dengan
tujuan memenuhi rasa keadilan rakyat sekaligus menguatkan persatuan
antar-kab/kota dan provinsi. Termasuk stabilisasi harga BBM serta
pembangunan dari wilayah pedesaan. Setuju, masih banyak yang belum
dipenuhi pemerintahan Jokowi. Makanya semenjak dini sudah saya katakan
terang benderang tentang segudang persoalan bangsa yang siapapun
presidennya bakal tidak mampu menyelesaikan seperti pemain sulap.
Kehadiran Cawapres KH Maruf Amin saya akui langkah politik jenius dari
Jokowi. Isu kriminalisasi ulama yang dihembuskan kepada Jokowi selama
ini langsung pupus ditelan bumi. Sementara itu, Prabowo Subianto selalu
tampak bersemangat, berambisi serta dipenuhi aura
kepentingan politis sejak Pilpres 2014 hingga pasca-Pilpres 2019. Karya
dan prestasinya saya tak tahu kecuali militer, bekas menantu Presiden
Soeharto, bisa naik pangkat 3 kali dalam 1 tahun (kata Jenderal TNI Agum
Gumelar) dan mantan Komandan Kopassus di era mertuanya Soeharto
berkuasa. Kalau kontroversi penculikan aktivis mahasiswa yang diributkan
sejak 1998 sampai sekarang, saya rasa sesuatu yang tidak menarik
dibeberkan di sini. Intinya, saya tak melihat sesuatu yang menarik dari
Prabowo baik dari sejarah hidup, track record, sikap maupun
kalimat-kalimatnya. (POLITISI tak pernah percaya
dengan kata-katanya sendiri. Itulah sebabnya, mereka selalu sangat
terkejut bila rakyat mempercayainya- Charles de Gaulle, tokoh pembebasan
Perancis masa PD II). Menyibak lebih dalam semangat hati Parabowo ini,
saya
menilainya sebagai cermin personifikasi seseorang yang hanya ingin
meraih dan mencapai sesuatu terutama kekuasaan. Hal serupa saya amati
dalam diri Sandiaga Uno. Belum genap 1 tahun menjabat Wagub DKI Jakarta,
kini dia meloncat Cawapres tanpa karya yang saya lihat dan kemungkinan
belum terbukti dirasakan rakyat secara luas. Saya menggarisbawahi, pemimpin yang datang dari hati merupakan totalitas panggilan jiwa
seseorang untuk berbuat yang lebih baik. Sedangkan pemimpin yang menampilkan aura semangat hati menorehkan geliat sistematis terencana dan
kemungkinan besar penuh rekayasa, kental kepentingan politik
pribadi/kelompok, dibuat-buat atau sekadar memenuhi target pencapaian
untuk formalitas belaka. Pemimpin yang datang dari hati menghadirkan
kepedulian, keikhlasan, ketulusan, tidak pura-pura, kental kepentingan
umum, tanpa rekayasa, mengalir begitu saja, keterbukaan sikap, berbuat
nyata dengan tujuan perbaikan, tidak formalitas serta kejujuran
sikap apa adanya. (Keberhasilan ditentukan oleh 99 % perbuatan dan hanya
1 % pemikiran- Albert Enstein). (Kejujuran dan keterbukaan adalah kunci
dan sekaligus gembok dalam memasuki dunia cinta- Don Sisco). Saya
menggarisbawahi, ke-2 unsur perilaku itu sangat mudah dikenali atau
dibuktikan melalui penampilan sikap seseorang di publik, untuk
selanjutnya akan dinilai publik lagi dari hati masing-masing walau tanpa
ada interest apapun. Maaf,
logika opini subjektif ini mungkin jadi harus didiskusikan lagi kebenarannya.
Namun yang pasti, kini bangsa Indonesia sangat membutuhkan figur
pemimpin yang minim kepentingan politik tapi kaya hati/moral supaya
bisa menjawab akar persoalan utama semisal pemulangan seluruh TKI ke
kampung halaman masing-masing. Saya optimis, di pundak Jokowi 5 tahun kedepan, legacy pendiri bangsa akan
diwujudkan bertahap secara konsisten. Jokowi bakal menangkal kerakusan
segelintir
oknum pemerintah/penguasa yang suka menyalahgunakan kekuasaan untuk
korupsi serta membersihkan penjajahan gaya baru mengatasnamakan
persatuan, kesatuan, agama, etnis, suku, golongan dan kelompok. Jokowi datang
dari
hati walau sosoknya dipandang ndeso dan tidak pandai. Berbadan
kerempeng dan
disebut petugas partai oleh Megawati Soekarno Putri. Jokowi juga
dipastikan berwajah katrok oleh mereka-mereka yang bergaya
feodalis/eksklusif. Opini sinis lain menyatakan bahwa Jokowi akan jadi
boneka PDIP/Megawati. Bagi saya, semua anggapan negatif itu tidak
penting sebab figur Jokowi datang dari hati, terlanjur dicintai rakyat
dan mempunyai jiwa idealis tinggi yang
kebenarannya tidak bisa diukur dengan harta, tahta, kuasa, ruang, waktu
apalagi penampilan fisik. Jawaban sederhana lain soal Jokowi dianggap
boneka Megawati/PDIP atau antek negara asing, tentu saja memunculkan
sinonim serupa : Prabowo sendiri boneka /antek
siapa ? Prabowo prestasinya apa ? Memangnya kalo Prabowo jadi presiden,
apa sudah ada jaminan semua masalah yang saya ungkap di atas bisa
diselesaikannya ? Kali ini saya cuma senyum-senyum sendiri. Sebab dalam
lingkungan terkecil keluarga saja ada unsur saling mempengaruhi.
Manusiawi dan satu keniscayaan..! Batin saya pun lantang menyerukan
pesan moral: pemimpin yang datang dari hati, dijamin 99% menampilkan kepentingan
orang banyak. Karena saya menggarisbawahi, Tuhan Yang Maha Kuasa hanya
melepaskan rahasia-rahasia besar dan memberi jawaban-jawaban bijak di pundak
orang-orang yang dianggap kecil atau dipandang tidak ada apa-apanya. (Hati-hatilah, orang jatuh bukan lantaran batu besar melainkan karena pasir dan batu-batu kerikil yang kecil- No Name).
Akhirnya, dengan tidak bermaksud mengurangi rasa hormat kepada Capres 2019 Prabowo Subianto, izinkan saya mengatakan bahwa 5 tahun kedepan Indonesia lebih tepat dipimpin oleh orang yang datang dari hati untuk melayani dan bukan sekadar semangat hati menjadi penguasa/pemimpin. Ada ratusan, ribuan bahkan jutaan orang di Indonesia yang memiliki semangat hati menjadi pemimpin. Pertanyaan terakhirnya sekarang, banyakkah orang yang memiliki hati mau melayani dan bukan untuk dilayani ? Retoris sekali menjawabnya. Tapi sekali lagi, saya telah sampaikan realita miris kekinian Indonesia bahwa hampir semua pemimpin/pejabat kita terindikasi kuat melanggar konstitusi dan legacy pendiri negara ! Andai saja kita mau menilik sedikit lembaran sejarah ke belakang, Kerajaan Majapahit adalah 1 contoh simbol kepemimpinan tradisionil yang datang dari hati. Raja Majapahit mampu menjaga persatuan dan kesatuan rakyatnya kendati bernaung dalam banyak wilayah terpisah seperti Indonesia. Majapahit tidak pernah terdengar terpecah dalam kesatuan-kesatuan sesat disebabkan pemimpinnya peduli melindungi, menjaga dan memajukan kesejahteraan umum. Rakyat yang mendapat persamaan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan, selanjutnya merajut tekad bulat untuk tunduk pada persatuan Majapahit. Dan sejarah mencatat pula, Majapahit bisa bertahan sampai usia 324 tahun. Indonesia Raya kita ? Inilah harapan besar rakyat di penjuru Tanah Air kepada Capres-Cawapres 2019 Jokowi/KH Maruf Amin. Semoga Jokowi tidak berbesar hati membaca Garis Bawah ini tapi terus menguatkan moral force yang dimiliki agar tidak tawar menawar mewujudnyatakan legacy pendiri negara dan mempertahankan bingkai keutuhan Pancasila/NKRI. Urgent Immediately..!! Jalankan aspirasi sederhana di atas bila Anda terpilih. Niscaya kedepannya jadi potret percontohan apik dalam seleksi kepemimpinan pada aras nasional, regional dan lokal. Selamat menjelang Pilpres 17 April 2019. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan roh takut berbuat curang kepada semua pemimpin eksekutif, legislatif dan judikatif di Republik ini, Amin. Jayalah Indonesiaku..!
——————-
(Penulis sudah aktif menulis di media massa/praktis sebagai jurnalis sejak tahun 1991. Pernah menerima penghargaan dari Gubsu Syamsul Arifin saat juara lomba karya tulis Jurnalistik se-Provinsi Sumut tahun 2010. Kemudian tahun 2011 Gubsu Gatot Pujo Nugroho juga memberi penghargaan serupa kepada penulis).