www.MartabeSumut.com, Medan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia pada 9 Desember 2020 berpotensi memunculkan calon-calon tunggal. Realitas miris ini mengisyaratkan urgensi Partai Politik (Parpol) memberikan pendidikan politik sehat terhadap warga negara.
BACA LAGI: Jeremy Pardede Ikuti Lomba Foto HUT RI Kalam Kudus Timika, Mohon Dukungan Like Warga Sumut
Otokritik tersebut dilontarkan politisi Partai Hanura Sumut Toni Togatorop, SE, MM, kepada www.MartabeSumut.com, Jumat siang (28/8/2020). Berbicara melalui saluran telepon, Toni menjelaskan, setidaknya ada 3 penyebab Parpol stagnan menjalankan fungsi pendidikan politik rakyat. Sehingga “kesulitan kader” untuk diusung dan menuntun calon-calon tunggal “memborong” Parpol. Diantaranya kepentingan sesaat dan sesat money politics (politik uang). Toni mengatakan, sudah rahasia umum calon kepala daerah siap “membeli” Parpol demi menciutkan niat masyarakat yang punya hak untuk dipilih. Begitu pula sebaliknya, Toni tidak mengingkari aroma transaksional bisa saja mempengaruhi elite-elite Parpol. Kemudian ada juga pragmatisme subjektif Parpol. Di sini Toni mengamati geliat Parpol yang mulai akrab memakai survei dan mengandalkan elektabilitas popularitas calon. Selanjutnya approval rating petahana. Toni menyebut, perilaku petahana 2 periode berkuasa cenderung meneruskan kekuasaan terhadap kerabat, istri, anak dan keluarga.
BACA LAGI: 506 KJA Perusahaan & 11.153 Milik Warga di Danau Toba, DPRDSU Butuh Kajian Badan Riset Pemprovsu
Parpol Jangan Abai Rangkul Masyarakat Awam
Toni menilai, 3 masalah itu mengakibatkan Parpol “lupa” merangkul, memberi kesempatan atau menggali sosok masyarakat awam yang bukan mustahil berkompeten sebagai calon pemimpin. Logikanya, timpal Wakil Ketua Bappilu Partai Hanura Sumut ini lagi, realitas 3 masalah akhirnya memposisikan Pemilu di Indonesia kerap dipandang skeptis oleh masyarakat. Menjurus pada sikap apriori rakyat, apalagi diikuti 4 kerawanan klasik yang tak kunjung dapat dibereskan elite pemangku kepentingan. Toni merinci, 4 kerawanan yang selalu didengungkan saat Pemilu meliputi: pertama, politik tabur uang (money politics) terhadap rakyat. Fakta money politics diakui Toni sangat mengkristal di lapisan akar rumput masyarakat. Menuntun rakyat pada sikap pesimis dan merasa sebatas objek penderita alias target kepentingan (suara) Pemilu. Kedua, ASN/PNS tidak netral. Menurut dia, elite politik dan calon tunggal secara maksimal mengajak/mengikutsertakan aparatur ASN/PNS untuk kampanye secara tersembunyi. Menggunakan jabatan bahkan berbagai fasilitas negara. Ketiga, calon petahana memanfaatkan bantuan-bantuan sosial pemerintah melalui dana APBN/APBD untuk kampanye terselubung dan keempat rendahnya partisipasi pemilih dalam setiap kontestasi Pemilu. “Saya rasa itulah 4 tantangan yang terus hadir dalam setiap Pemilu kita. Ditambah 1 persoalan baru pandemi Covid-19. Makanya Parpol perlu menyeleksi calon pemimpin publik melalui pendidikan politik berkesinambungan. Tidak mengaminkan strategi calon tunggal bermodus transaksional. Elite Parpol harus melirik potensi rakyat hasil pendidikan politik. Supaya rakyat yang punya hak dipilih tidak berontak melahirkan semangat demokrasi calon-calon independen. Kendati calon independen tetap saja bukan lawan tanding kekuatan Parpol,” aku Toni.
BACA LAGI: Produk Turunan Sawit Menonjol, PAD & DBH Nol: DPRDSU Tanya Pusat Kemana Larinya Hasil Ekspor CPO itu
Calon Tunggal Meningkat Sejak 2015
Anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 ini membeberkan, merujuk fakta empiris Pemilu 2015, dari 269 daerah yang melaksanakan Pilkada, 3 wilayah memiliki calon tunggal. Disusul Pilkada serentak 2017 memunculkan 9 calon tunggal dari 101 daerah. Lalu Pilkada serentak 2018 menghadirkan 16 calon tunggal dari 171 daerah. Pasca-Pilkada 2020, Toni memperkirakan 25-30 calon tunggal datang dari 270 wilayah Indonesia. Nah, dari 23 kabupaten/kota di Sumut yang akan ikut Pilkada serentak 9 Desember 2020, mantan Ketua Komisi A DPRD Sumut itu memprediksi calon tunggal akan muncul di Kota Pematang Siantar dan Kota Gunung Sitoli. “Ada juga data calon tunggal secara Nasional saya peroleh. Meliputi Kota Semarang, Kab Semarang, Kab Sragen, Kab Boyolali, Kab Klaten, Kab Wonosobo, Kab Grobogan, Kab Wonogiri, Kab Kebumen, Kab Blitar, Kab Ngawi, Kab Kediri, Kota Balikpapan, Kab Gowa dan Kab Sopeng. Calon tunggal paling banyak saya perkirakan di Provinsi Jateng,” ungkap Toni.
Mimpi Buruk Rakyat jadi Pemimpin
Bagi mantan Ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPRD Sumut itu, ketika Parpol atau gabungan Parpol memutuskan mengusung calon tunggal kepala daerah, sebenarnya saat itu pula rakyat sedang “bermimpi” buruk. Alasannya, warga negara yang semenjak dini punya impian sebagai pemimpin formal sudah lebih dulu kalah bersaing. Padahal tidak sedikit masyarakat yang tergolong pintar, cerdas, berperilaku baik serta memiliki kompetensi. Toh Toni memastikan, semua potensi rakyat kecil tidak pernah berguna sampai kapanpun lantaran digilas penguasa rakus, kaum feodalis serta orang-orang yang mengandalkan kekuatan uang. Toni percaya, essensi demokrasi sejati seyogianya mutlak milik rakyat, atas kehendak rakyat dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. “Kelak, kualitas suatu bangsa ditentukan oleh proses demokrasi yang dijalankan instrumen kekuatan politik. Namun kontestasi demokrasi kita pasti tetap ternodai jika format politik oligarki calon tunggal terus dipraktikkan,” yakin Toni.
Hentikan Pola Rekrutmen Oligarki
Mantan Ketua FP-Hanura DPRD Sumut tersebut menyimpulkan, rekrutmen calon pemimpin dengan format politik oligarki wajib dihentikan. Selain membentuk sistem rekrutmen calon pemimpin pemerintahan yang dikendalikan sekelompok elite masyarakat berkuasa, Parpol juga disebut Toni akan terjebak dalam dikotomi sosok-sosok calon berdasarkan subjektivitas kasta sosial, kekayaan, latar belakang keluarga, militer, pejabat, kekerabatan, politik uang dan sejenisnya. “Kenapa sejak awal calon-calon pemimpin kita sering menawarkan atau menuntut kebijakan diskriminatif antara si kaya dan si miskin ? Pertanyaan besar sekaligus otokritik saya buat Parpol sekarang, bagaimana nasib warga Indonesia yang pintar, baik, cerdas dan punya kompetensi tapi tidak memiliki banyak uang ? Mungkinkah diberi kesempatan ikut berkompetisi atau tetap dianggap tidak ada,” sindirnya blak-blakan.
BACA LAGI: Geram Sumut Juara 1 Narkoba, Politisi Hanura Toni Togatorop Tanya Dimana Kepala BNN & Kapolda ?
Oleh sebab itu, Toni mengimbau elite Parpol semakin dewasa, sadar dan jujur memproses mekanisme demokrasi tanpa pragmatisme kepentingan sesaat/sesat yang disodorkan calon-calon tunggal. Melalui pendidikan politik rakyat yang berkesinambungan, Toni berharap Parpol konsisten mencetak kader, calon pemimpin publik serta menunaikan proses demokrasi secara sehat, bersifat terbuka, kompetitif dan tidak diskriminatif. Sehingga seleksi menjaring pemimpin benar-benar akuntabel atau tidak dianggap rakyat sebagai hasil kompromi “jual-beli” antara elite Parpol dengan calon tunggal. Termasuk komitmen menghadirkan semangat warga negara agar sukarela menggunakan hak dipilih/memilih bahkan ikut bersaing meraih jabatan publik di pusat maupun daerah. “Kita dorong Parpol “mengharamkan” calon tunggal demi penghormatan nilai-nilai demokrasi. Parpol tidak boleh dibeli oleh calon-calon tunggal untuk kepentingan melawan kotak kosong saat Pilkada,” tutup Toni Togatorop diplomatis. (MS/BUD)