www.MartabeSumut.com, Medan
Ada 2 obsesi besar “berbenturan” dalam penegakan hukum atas kasus korupsi di Indonesia. Pertama, pihak yang ingin korupsi diberantas tuntas sampai ke akar-akarnya. Obsesi ini ada di luar birokrasi dan politik. Banyak LSM yang konsern dengan aspirasi seperti ini dengan kadar pemahaman yang bervariasi. Mulai dari pihak sekadar bisa berteriak hingga yang secara filosofis memahami anatomi kultural dan politik ke-korupsian di dalam satu negara-bangsa. Kedua, pihak yang berwacana A tetapi berkehendak B dengan kemampuan double talk dan rekayasa politik/hukum yang dahsyat. Kalangan birokrasi dan politik ada di sini. Mereka ingin nyaman. Dalam perjalanannya, pihak-pihak ini mampu mengatur ritme isu korupsi serta mengendalikan wacana.
Analisis tersebut dilontarkan Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, kepada www.MartabeSumut.com, kemarin. Berbicara melalui saluran pesan WhatsApp, Shohibul menjelaskan, kendati Presiden Jokowi telah mengembalikan UU KPK ke DPR RI pasca-disahkan 17 September 2019 dengan dasar banyak salah ketik, wajar sekali Presiden Jokowi menimbang serius apakah menerbitkan Perppu atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan DPR RI, atau memberikan ruang proses judicial review yang digugat ke MK. “Berulangkali rencana revisi UU KPK menjadi perdebatan nasional. Kali ini tak kurang serius pro dan kontra muncul. Pihak yang menilai KPK akan dilemahkan menuding adanya 19 titik krusial menjadi kunci pelemahan KPK. Kelompok kedua malah mampu memanipulasi arus politik,” tegasnya. Menurut Shohibul, KPK sekarang adalah model akomodatif atas elite koruptif dengan tetap pada kesan jujur. Padahal tak ada yang dapat dilakukan oleh KPK dalam membangun iklim zero tolerant to corruption. Dia menilai, KPK didisain hanya bisa menyeser orang kecil dan dengan pengecualian tertentu untuk menohok orang-orang tertentu dalam posisi yang tidak begitu disukai rezim. “Tidak aneh, model seperti ini yang paling umum dipakai berbagai negara dunia,” akunya. Shohibul memastikan, orang awam pasti marah jika disuarakan “bubarkan KPK”. Sebab kategori orang begitu cuma memandang KPK adalah lembaga suci, bersih dan efektif. Kesan tersebut datang dari model-model publikasi dan penggalangan opini berbiaya besar. “Lihatlah survei setiap tahun, hasilnya pasti menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi kepada KPK. Bagaimana bisa seperti itu? Disain survey memang dibuat untuk kaum awam. Misalnya ditanyakan lembaga mana yang paling terpercaya dengan opsi Jawaban a, b, c, d dan seterusnya. Nanti secara frekuensi KPK akan tampil memperoleh mayoritas mutlak suara,” ujarnya.
Baca juga: Shohibul Siregar Ingatkan Urgensi Kearifan Lokal Kelola Danau Toba
Baca juga: Philips Nilai Kunker Luar Negeri tak Jelas, Shohibul Sindir Pelesiran Legislator Bergaya Hedonis
Materi Pertanyaan Survei
Dosen Sosiologi Politik ini melanjutkan, hasil survei berpotensi berubah ketika pertanyaan diarahkanmenyangkut fungsi KPK. “Menurut Anda, sudah berhasilkah KPK menjalankan fungsi ? Begitu seterusnya hingga semua lembaga memeroleh penilaian. Jika disain itu yang dibuat, maka pasti berbeda hasil-hasil survei yang selama ini mengunggulkan KPK,” duganya. Sebagai lembaga superbody, imbuh Shohibul lagi, KPK memiliki keistimewaan dalam hukum hingga seburuk apa pun kinerjanya hanya akan bisa dikritik sebatas wacana politik. Apalagi KPK bisa menyadap siapa saja yang diinginkan. “Bayangkan kalau ada lembaga lain bisa menyadap KPK, kira-kira apa yang bakal terjadi,” sindir Shohibul. Dari model rekrutmen awal KPK, Shohibul mensinyalir kerap kali menunjukkan adanya perkawanan khusus atau koncoisme. Meski terbuka diketahui publik, namun pola koncoisme terus berjalan. Dalam pemerintahan Indonesia di bawah Jokowi, kata Shohibul, KPK kian terasa tak terlalu penting. Tetapi Jokowi berbuat sesuatu untuk memberi kesan penting. Misalnya dibentuk satuan tugas yang berawal dari ditemukannya (tangkap tangan) uang senilai puluhan juta di Kementerian Perhubungan. Kejadian demikian diduga Shohibul didisain sebagai dasar pembentukan Satgas Jokowi. “Kala itu beliau berucap “Pungli Rp 10.000 pun akan saya kejar”. Orang awam akan mencerna kalimat tersebut sangat kesatria,” ingatnya. Mengapa KPK perlu dipreteli ? Shohibul meyakini kemungkinan dilatarbelakangi arus modal asing yang terus mengalir tanpa batas ke Indonesia dan sangat rentan disorot lembaga superbody seperti KPK. “Kita tahu selama ini korupsi korporasi kurang disoroti KPK. Tak banyak orang paham keanehan ini,” ucapnya.
Baca juga: Demonstran Dukung Revisi UU KPK, Anggota DPRDSU Nezar Djoeli Yakin Penyadapan Butuh Pengawasan
Dua Opsi
Bagi Shohibul, setidaknya ada 2 opsi yang perlu diperhatikan dalam menyikapi ribut-ribut revisi UU KPK yang disahkan DPR RI pada 17 September 2019. Pertama, memperkuat KPK dengan kewenangan tanpa ewuh pakewuh. Bahkan Presiden bisa di-tangkap-tangan karena mandat KPK dari UU dan bukan dari Presiden. “Opsi ini memerlukan perombakan mulai dari rekrutmen yang melahirkan komisioner independen tanpa berhutang budi kepada Presiden atau pihak manapun. KPK yang mandiri patut paham dan yakin betul bahwa korupsi hanya lahir dari kekuasaan berjenjang. Dimana ada kekuatan kunci politik dan kekuasaan digenggam, disitulah korupsi paling besar (power tend to corrupt),” cetusnya. Kedua, bubarkan KPK dan perkuat lembaga penegakan hukum konvensional. Namun jika opsi ini tak berjalan, Shohibul meminta agar kasus korupsi jangan lagi dijadikan isu. “Lupakan saja. Tidak ada yang tak korupsi di dunia ini. Bedanya, ada negara rendah dengan tingkat kekasaran budaya berkorupsi seperti Indonesia. Negara maju saja berkorupsi-ria secara hidency (tersembunyi),” ungkapnya.
Baca juga: Tolak Pelemahan KPK, Massa Datangi Gedung DPRDSU
Baca juga: Ada 73 Kasus TPPU Korporasi di Indonesia Rp. 4,5 T, KPK Sebut TPPU Saudara Kandung Korupsi
Shohibul mencontohkan, belum lama ini Presiden Nigeria pergi ke acara Anti Corruption Summit di Eropa. Lalu seorang Kepala Pemerintahan negara lain menunjuk-nunjuknya sebagai presiden yang gagal melawan korupsi di Nigeria. Nah, pada kesempatan tepat, sang Presiden Nigeria pun berbicara lantang: “saya tak butuh permohonan maaf dari Anda. Tetapi saya datang dengan audit lengkap stolen assets yang dibawa oleh negara Anda sebagai hasil perampokan dari negara saya”. Dalam artian, simpul Shohibul lebih jauh, lalulintas modal dan bantuan antar-negara, terutama dari negara besar ke negara kecil, baik untuk infrastruktur maupun keperluan politik lain, adalah feeding yang menggemukkan iklim korupsi di negara berkembang. “Kira-kira itu kesimpulan dari kejadian pada acara Anti Corruption Summit tersebut,” tutup Shohibul. (MS/BUD)