www.MartabeSumut.com, Medan
Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, (foto) angkat suara seputar keluarnya Maklumat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapoldasu) pada 5 Desember 2019 tentang ancaman pidana bagi ASN/PNS, pejabat dan penyelenggara negara yang terlibat praktik pungli, grativikasi, KKN hingga indikasi mengganggu iklim dunia usaha di Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Shohibul menilai, setidaknya terdapat 5 hal penting yang menarik dari Maklumat tersebut. Kepada www.MartabeSumut.com, Jumat malam (6/12/2019), Shohibul mengatakan, ke-5 poin menarik itu diantaranya, pertama, ada pengakuan. Secara tidak langsung, terang Shohibul, Maklumat memberi pengakuan kuat bahwa selama ini telah terjadi signifikansi dan keleluasan praktik-praktik yang dapat dikategorikan sebagai abuse of power (penyalahgunaan wewenang) di lingkungan pemerintahan bahkan lembaga pelayanan publik. “Dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakang atau menentukan arah tindakan lembaga pemerintahan, institusi penegak hukum hingga lembaga pelayanan publik lain,” tegasnya via saluran pesan WhatsApp.
Check it Out: Marak Kasus Teroris, Shohibul Siregar Ingatkan Dampak Bad Wording & Atribusi Api Dalam Sekam
Kedua, investasi dan lingkungan dunia usaha sebagai fokus. Meskipun dapat diasumsikan bahwa praktik-praktik berkategori abuse of power yang terjadi di Sumatera Utara tidak terbatas pada satu sektor, namun Shohibul meyakini kalau yang menjadi sorotan Maklumat Kapoldasu adalah jenis yang terkait atau berpotensi mengganggu aktivitas ekonomi dan investasi. “Jakarta akan menandainya sebagai sikap progresif yang pantas menjadi contoh bagi jajaran organisasi setingkat di seluruh Indonesia,” ucap Shohibul. Ketiga, respon atas kondisi nasional. Menurut dia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tak begitu menggembirakan karena penilaian atas buruknya iklim untuk berinvestasi. Hal serupa dinilainya telah muncul sejak lama dan banyak disorot lembaga lokal, nasional dan internasional tatkala ada forum membicarakan kondusivitas lingkungan bisnis. Bagi pemerintah, realitas tersebut disikapi dengan berbagai kebijakan. Mulai dari deregulasi berbiaya mahal pada berbagai kementerian hingga kontroversi terakhir soal revisi UU KPK. Shohibul memastikan, semua hanya mengandaikan harapan peredaan eksodus modal asing yang begitu gencar belakangan sekaligus merangsang kehadiran pelaku usaha global. “Rencana kepariwisataan yang pada era pertama Jokowi pernah menargetkan adanya kelahiran “10 Bali Baru”, kini direduksi menjadi “5 Bali Baru” karena sampai sekarang modal asing tak tertarik. Menyebabkan obsesi rencana seperti BPODT di Danau Toba begitu tersendat,” ungkapnya.
Check it Out: Ada Ribuan Tenaga Honor di Pemprovsu, Dosen UMSU Medan Sebut 5 Masalah Serius & Kegagalan Pemprovsu
Check it Out: Maju Pilkada ASN & Legislator Wajib Berhenti, Dosen UMSU Sebut Indonesia Krisis Kepemimpinan
Melawan Formalisme Birokrasi
Keempat, melawan gejala formalisme birokrasi pemerintahan. Shohibul pun meminjam tiori Fred W Riggs dalam bukunya Prismatic Theory in Public Administration (1966), yang membeberkan tahapan pertumbuhan negara berkembang dengan gejala khas bernama prismatic society. “Karakteristiknya campuran antara tradisional dan modern. Secara umum hampir seluruh kelembagaan negara berkembang itu sudah ditandai oleh modernitas. Namun nilai dan prilaku orang-orang yang mengendalikannya masih tradisional,” katanya. Shohibul menjelaskan, gejala umum yang terdapat di seluruh negara berkembang dunia ialah menunjukkan fakta bahwa mereka sudah modern. Berbagai lembaga dibentuk tak peduli tumpang tindih satu sama lain. Akibatnya, beban birokrasi dan pemerintahan menjadi amat berat dan in-efisiensi. Termasuk menjamurnya praktik koruptif yang meluas dan dijustifikasi (dibenarkan) menjadi budaya sehari-hari.
Check it Out: Ribut Revisi UU KPK, Shohibul Anshor Siregar Sebut 2 “Benturan” Obsesi Besar Penegakan Hukum Korupsi
Paradoks Indonesia
Paradoks yang dihadapi Indonesia saat ini, lanjut Shohibul lagi, merupakan jenis prismatic society. Dia mencontohkan, wacana industri era 4.0 begitu tinggi gaungnya tapi sangat paradoks dengan puncak capaian industri mobil Esemka. “Bandingkan Esemka itu dengan industri Nurtanio (pesawat terbang) di tangan BJ Habibie yang menyadarkan kita tentang kemunduran yang tak terperihkan. Indonesia memasuki era perdagangan Asean sejak akhir 2015, namun kesiapan Indonesia hanya pada pengandalan lugu potensi keluasan pasar yang menjadi mangsa empuk pihak asing. Sebab Indonesia berpenduduk 40 % dari total penduduk 10 negara anggota Asean,” herannya. Hingga kini, Shohibul melihat banyak kejadian yang merugikan petani dan pengusaha domestik lantaran kerap memunculkan ketegangan nasional akibat kegandrungan impor. Artinya, semua orang tahu bahwa hal tersebut menjadi sesuatu yang menunjukkan “kemaharajalelaan” mafia. “Dunia paham Indonesia adalah salah satu negara agraris terkemuka. Lalu mengapa memberi makan warga (swasembada pangan) saja kita tidak pernah mampu karena kebijakan pertanian kerap salah arah alias didikte asing,” sindir Shohibul bertanya. Pada sisi paradoks lain, Shohibul menyebut Presiden rajin sekali membagi-bagi sertifikat tanah. Sementara 74 % lahan yang ada di Indonesia justru dikuasai hanya 0,2 % warga negara tergolong paling istimewa. Dalam draft UU Pertanahan yang diajukan pemerintah belakangan ini, Shohibul mengaku mengamati arah yang akan ditempuh. Misalnya keberpihakan pada modal asing yang berpotensi akan berakhir dengan tragedi land grab dan memustahilkan revitalisasi pertanian. Oleh banyak ahli pertanahan, timpalnya lebih jauh, UU Pertanahan yang baru itu malah bersifat kolonialistik.
Check it Out: Uang Pemprovsu Raib Rp. 1,6 M: Wajar Dugaan Suap Ketok Palu APBD Sumut, Usut Tuntas & Follow The Money
Check it Out: Shohibul Siregar Ingatkan Urgensi Kearifan Lokal Kelola Danau Toba
Kelima, kekhawatiran atas responsibilitas semu. Belajar dari semua tindakan serupa pada masa lalu, Shohibul menyoroti saluran pelaporan publik yang bersifat satu arah. Dia percaya, bentuk seperti itu hanya sekadar ajang pameran kekuasaan yang bertujuan untuk satu kampanye yang tak pernah efektif. “KPK misalnya, memiliki saluran serupa. Toh rakyat tak kunjung merasakan laporannya pernah ditindaklanjuti secara penuh ? Rakyat kecil mungkin percaya pesannya telah sampai kepada otoritas penentu kebijakan. Terkoreksi dan ia akan merasa puas,” ujarnya. Namun ketika terus merasakan laporannya tak bermanfaat, maka rakyat dipastikan Shohibul akan frustrasi. “Saya tak mungkin tak memujikan niat baik dan isi Maklumat Pak Kapoldasu. Mudah-mudahan kelak menjadi inspirasi penting penataan Indonesia dalam menerapkan good governance (pemerintahan yang baik) serta clean government (pemerintahan yang bersih),” harap Shohibul. (MS/BUD)