www.MartabeSumut.com, Medan
Setelah peristiwa peledakan bom bunuh diri di Polrestabes Medan oleh pria inisial RMN, beberapa waktu lalu, kini muncul bad wording (kata-kata buruk) mewarnai hampir semua media sosial. Sebagian menyalahkan berbagai pihak dan negara terkait kondisi perekonomian rakyat. Namun tak sedikit pula melepaskan kalimat-kalimat berbeda yang menghujat pelaku dan aksi terorisnya. Secara meyakinkan, polarisasi penilaian warga itu terus mengerucut pada satu penunggalan situasi yang sangat mirip dengan api dalam sekam.
Baca juga: Ada Ribuan Tenaga Honor di Pemprovsu, Dosen UMSU Medan Sebut 5 Masalah Serius & Kegagalan Pemprovsu
Analisis tersebut disampaikan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi (foto) kepada www.MartabeSumut.com, kemarin. Shohibul beralasan, setidaknya ada 2 alasan menyeruaknya bad wording pasca-peristiwa teror terjadi di Indonesia. Pertama, umumnya dari kalangan umat Islam. Sebab muncul kecenderungan yang terkesan terdorong berucap “ia bukan kami dan ia bukan hasil ajaran guru-guru kami yang benar”. Kemudian memastikan kitab suci-nya tak bertoleransi atas aksi teroris dan agama Islam adalah “rahmatan lil alamin”. Kedua, umumnya kecenderungan narasi di luar umat Islam ingin mengukir kesan: “itulah kesesatan berulang-ulang dan akan terus terjadi selama belum diberantas tuntas atau diusir dari NKRI”.
Baca juga: Maju Pilkada ASN & Legislator Wajib Berhenti, Dosen UMSU Sebut Indonesia Krisis Kepemimpinan
Dikotomi Persepsi Kontradiktif
Shohibul meyakini, dikotomi persepsi kontradiktif ibarat api dalam sekam itu tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. “Mau sampai kapan polarisasi bad wording terjadi di Indonesia,” heran Shohibul bertanya, via saluran pesan WhatsApp. Dosen Sosiologi Politik ini pun menyampaikan 7 pemicu masalah teroris. Diantaranya, pertama, akar dari semua teror adalah ketidakadilan. Jika umat Islam harus terus disalahkan, masjidnya terus diawasi, ulamanya disudutkan, sejarahnya dikaburkan bahkan narasi anti radikalisme dan intoleransi dengan segenap implikasinya terus diperkeras, Shohibul percaya tentu saja endingnya dapat sangat menyedihkan tetutama untuk umat Islam. Kedua, pekerjaan Barat di berbagai belahan dunia yang menghasilkan terorisme harus diakhiri. Kendati negara asing diakuinya sangat dahsyat dalam penguasaan media dan keniscayaan iptek termasuk hegemoni politik/budaya. “Mereka tak boleh dibiarkan merasa benar menciptakan Alqaeda, ISL, ISIS, Osama, Albagdadi, Noordin M Top, Imam Samudra, RMN dan lain-lain,” tegasnya.
Negara Barat Menjarah Berabad-Abad
Ketiga, negara Barat mengukir bukti sejarah menjarah berabad-abad dalam banyak bentuk. Sehingga tidak boleh ada penyuburan persetujuan atas kejahatan itu dengan alasan apa pun. “Baca ulang kembali pemikiran kesatria berfilosofi amat tinggi dari para pendiri bangsa dalam Pembukaan UUD 1945,” terangnya. Keempat, Pahlawan Nasional Sisingamangaraja, tokoh pejuang daerah seperti si Pitung, si Jiih, Naga Bonar dan semua pejuang kemerdekaan memang dianggap penjajah atau sosok teroris, radikalis, anti perdamaian serta pentolan ekstrimis. Para penjajah disebutnya ingin selalu mengabadikan ke-penjajahan-nya dengan propaganda licik seperti itu. “Jadi jangan ikuti cara-cara mereka yang hanya tahu hidup dari kepenjajahan,” harap Shohibul. Kelima, melalui ajang demokrasi, rivalitas apa pun akan terus berlangsung. Namun sangat tak masuk akal bila memperebutkan hak asuh atas negara dan penguasaan sumber-sumber daya tidak diboboti oleh nilai/kepentingan khas kelompok manapun meski dibalut berbagai trivia (hal sepele) yang mampu mengaburkan orientasi politik identitas. “Manusia diciptakan dari diri yang satu, tetapi dalam proses sejarahnya telah mengukuhkan kejamakan dalam wajah dan arena persebaran yang membentuk perjuangan kepentingan. Seyogianya mereka sadar berada di bawah kerajaan tunggal yang maha agung,” sindir Shohibul.
Baca juga: Ribut Revisi UU KPK, Shohibul Anshor Siregar Sebut 2 “Benturan” Obsesi Besar Penegakan Hukum Korupsi
Indonesia tak Boleh Dead Lock
Keenam, Indonesia maju tidak boleh dead lock dan tidak boleh stagnan pada isu “remeh-temeh” dan kesibukan-kesibukan menguras energi yang didisain sekadar membuat negara/bangsa jatuh letih tak berkesudahan. “Akhirnya kelak memasrahkan diri menjadi mangsa di bawah sub-ordinasi kepentingan asing,” akunya. Ketujuh, pihak asing bukanlah kata-kata kuno yang berakar pada mentalitas terbelakang xenophobia (ketidaksukaan, ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing). Lebih dari itu, merupakan penjelasan sejarah tentang respon wajar atas terganggunya harga diri dan bahkan isu-isu globalisasi yang telah memfasilitasi begitu sempurna untuk abad baru.
Baca juga: Shohibul Siregar Ingatkan Urgensi Kearifan Lokal Kelola Danau Toba
Menurut Shohibul, dulu Presiden Soekarno mencatatkan kemarahan bahkan melalui mimbar PBB membuat koreksi terhadap rasialisme dunia lantaran jejaring kolonialismenya ingin selalu dipandang suci hegemonik pada semua jengkal tanah yang pernah dimerdekakan oleh Soekarno-Hatta. “Dunia yang kini amat pandai bicara Millennium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) malah makin mencirikan hegemoni negara besar atas negara lemah dengan topeng kemanusiaan dan keadilan. Tapi semua cuma sebatas di bibir belaka. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya,” tutup Shohibul Anshor Siregar. (MS/BUD)