www.MartabeSumut.com, Medan
Memasuki usia Republik Indonesia (RI) ke-74 tahun, semua komponen bangsa perlu merefleksi diri. Mulai dari pejabat, aparat, birokrat, konglomerat hingga masyarakat. Dengan merefleksi diri, paling tidak lahir kesadaran untuk mengisi pembangunan. Terutama menjaga keutuhan negara serta menghentikan konflik sensitif bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) di bumi NKRI yang sangat plural.
Imbauan tersebut dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU), Sujian, kepada www.MartabeSumut.com, Senin pagi (19/8/2019) di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan. Sebagai anak pejuang dari orangtua bernama Sandikan alias Wong I Seng, Sujian pun memberi alasan kenapa semua komponen bangsa perlu menjaga keutuhan NKRI. Menurut politisi Partai Hanura itu, setidaknya ada 3 alasan tak terbantahkan yang patut direnungkan. Pertama, menghormati perjuangan pahlawan yang mengorbankan harta, darah dan nyawa untuk kemerdekaan Indonesia. Kedua, mengakui kepluralan (perbedaan) rakyat Indonesia dari sisi SARA sebagai asasi manusia yang melekat sejak lahir sehingga tidak boleh diperdebatkan apalagi diusik oleh siapapun. Ketiga, memiliki ideologi Pancasila yang terbukti mampu mempersatukan kebinekaan rakyat Indonesia. “Marilah kita sama-sama menghargai jasa-jasa pahlawan. Caranya mudah kok. Ayo kita jaga, lindungi, lestarikan dan rawat legacy (warisan) para pahlawan dalam wujud NKRI ini,” tegasnya. Sujian melanjutkan, disadari atau tidak, Indonesia merupakan 1 negara luar biasa karena berhimpun dalam kemajemukan SARA, bahasa, wilayah, etnis, budaya bahkan kearifan lokal. Artinya, keberagaman tersebut bisa menjadi kekuatan dahsyat sekaligus mesin penghancur yang sangat mematikan. Ketika pengakuan terhadap perbedaan dianggap sebagai hal wajar yang sangat manusiawi, maka Sujian meyakini kekuatan Indonesia kurun 74 tahun telah teruji oleh waktu. Namun bila perbedaan dipandang sebagai alat untuk memicu permusuhan, provokasi, kebencian, adu domba bahkan saling menyakiti, anggota Komisi C DPRDSU bidang keuangan ini percaya perpecahan dan perang saudara bakal jadi bom pemusnah negara. “Siapa yang untung bila terjadi perang saudara ? Semua kita akan merasakan dampak buruk. Makanya, saya imbau generasi penerus dan para pemangku kepentingan mengisi pembangunan dengan hal-hal positif. Kemudian menghentikan konflik berbau SARA yang masih saja muncul. Mohon dicatat, mengakui perbedaan bermakna menghormati apa yang dipercaya orang lain. Termasuk menghargai hak asasi yang melekat pada seseorang semenjak lahir. Nah, dasar negara Pancasila kita sudah teruji mempersatukan kemajemukan Indonesia kurun 74 tahun,” tegas Sujian bangga.
Ujian Mayoritas & Minoritas
Legislator asal Dapil Sumut VI Kab Labuhan Batu, Kab Labura dan Kab Labusel itu mengingatkan, apapun ceritanya, setiap perbedaan tentu saja memunculkan istilah mayoritas dan minoritas. Itulah sebabnya, semenjak dini, Sujian mengajak kalangan aparat, pejabat, birokrat dan rakyat Indonesia bisa semakin cerdas memaknai istilah tersebut. Bagi Sujian, ujian terbesar kelompok mayoritas di dunia ini adalah masalah toleransi. Sedangkan ujian terbesar kelompok minoritas di manapun adalah soal keberanian. “Janganlah kita sikut-sikutan, saling mencurigai, memecah belah rakyat dan memicu konflik SARA. Sekarang negara kita berusia 74 tahun. Sudah tergolong tua. Hentikan potensi perilaku yang mengganggu keutuhan NKRI apalagi bernuansa SARA. Musuh besar kita itu kelompok radikal yang ganggu Pancasila/NKRI, teroris, korupsi dan peredaran gelap Narkoba,” tutup Sujian.
Sujian Anak Pejuang
Perlu diketahui, Sujian merupakan anak seorang pejuang bernama Sandikan atau akrab dikenal Wong I Seng. Semasa berjuang merebut kemerdekaan, ayah Sujian bertugas di Batalion VIII Sub Ter VII Brigade XII. Berbagai penghargaan pernah diperoleh Wong I Seng atas kegigihan dan dedikasi yang diberikan merebut kemerdekaan Indonesia. Diantaranya: penghargaan Satyalantjana Peristiwa Aksi Militer Kesatu dan Peristiwa Aksi Militer Kedua yang diberikan Menteri Pertahanan Republik Indonesia pada 17 Oktober 1958. Selanjutnya pada 10 November 1958, Wong I Seng menerima penghargaan Surat Tanda Jasa dari Presiden RI pertama Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia karena ikut dalam perjuangan Gerilya Kemerdekaan Negara. (MS/BUD).