www.MartabeSumut.com, Medan
Program pemerintah dalam bentuk Anggaran Dana Desa (ADD) memang masih relatif baru. Namun diakui atau tidak, sudah banyak masyarakat Indonesia menikmatinya. Oleh sebab itu, proses pelaksanaan kedepan perlu dikaji dan dikawal serius agar Dana Desa tidak menjadi nikmat yang membawa sengsara.
Peringatan tersebut dilontarkan anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Janter Sirait, SE, kepada www.MartabeSumut.com, Senin siang (14/11/2016) di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan. Politisi Partai Golkar ini menegaskan, pengkajian inovatif terhadap realisasi pelaksanaan ADD merupakan kebutuhan dan kewajiban birokratis terkait sosialisasi program. Sehingga pemahaman masyarakat akan setiap peraturan dan SOP bisa sejalan terutama dikalangan pengambil keputusan di pusat, kabupaten, kecamatan bahkan desa. Menurut Janter, semakin sempurna suatu peraturan, tentu saja dapat mengurangi kesalahan dan penyimpangan penggunaan anggaran (korupsi). Artinya, dari berbagai informasi pelaksanaan, tetap saja muncul oknum SKPD mengatasnamakan perintah pimpinan untuk mewajibkan aparat desa pengelola ADD mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) ke kota tertentu dengan menyetorkan kontribusi antara Rp 10-Rp 15 juta/orang. “Di daerah lain ada modus urusan pusat. Setiap Kades wajib setor 8 persen. Jika hal ini betul terjadi, bagaimanakah para pengelola membuat laporan pertanggungjawaban? Mereka bakal sengsara kelak bila berurusan dengan hukum. Karena mereka pasti bikin mark-up dan konsekwensi hukumnya terhadap pelaku (perangkat desa),” ungkap Janter.
Bagi legislator asal daerah pemilihan (Dapil) Sumut X Kab Simalungun dan Kota Pematang Siantar ini, para pendamping desa harus mampu mengkritisi dugaan permintaan kontribusi tersebut sesuai peraturan dan realisasi program di lapangan. Kepada Menteri Kemendes, Janter berpesan agar tidak terlalu memproteksi kepentingan golonganya dalam upaya pencapaian tujuan ADD. Dia menyarankan ada seleksi ketat tenaga pendamping desa secara objektif. Kemudian hasilnya diserahkan kepada Kepala Daerah yang selanjutnya para pendamping itu ditempatkan oleh Kepala Daerah di Desa. “Tidak seperti sekarang. Perekrutan dan penempatan dilakukan oleh Kemendes. Mengakibatkan sebagian besar tenaga pendamping tidak loyal kepada Kepala Daerah,” sesal Janter. (MS/BUD)