Pekan lalu saya mengkonfirmasi Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, dosen salah satu PTS di Medan. Saya mencoba menggali pemikirannya untuk beberapa angle tulisan peredaran Narkoba bak kacang goreng di penjuru Tanah Air. Apa yang saya dapat ? Tanpa saya duga sebelumnya, ternyata Shohibul mengkritik pedas media yang dianggapnya tidak jeli dan kurang melakukan investigasi news kasus-kasus penyalahgunaan Narkoba.
Bahkan media mainstream, kata Shohibul, tidak pernah berminat melakukan investigasi sendiri karena memilih puas mendapatkan data yang akan diberitakan dari pihak kepolisian. Berita-berita media (tentang Narkoba) dinilainya hanya didasari pada Press Conference kepolisian ketika menemukan barang bukti, melakukan penangkapan/razia dan atau seremonial pemusnahan barang bukti yang dipenuhi kata-kata sambutan. “Di luar kesadaran rakyat, arus berita-berita seperti ini kerap sangat memukau pembaca. Sebab gambar tokoh-tokoh ternama dan tumpukan barang bukti ditampilkan pada halaman-halaman utama pemberitaan media dengan keseragaman lead, angle maupun content. Padahal, barang bukti Sabu Sabu yang akan dimusnahkan polisi itu bukan mustahil telah diganti garam dapur tanpa diketahui siapapun khususnya awak media,” heran Shohibul kepada saya, kala itu.
Usai mengkonfirmasi Shohibul, saya merenungkan lama kritik yang dilontarkan. Setidaknya lamunan saya dilandasi 2 fakta miris. Pertama, Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Jakarta pada Februari 2016 lalu mengeluarkan kalimat keras bernuansa “nyentirk” untuk disikapi struktur pemerintahan aras lokal, regional dan nasional pada setiap tingkatan. Di sana Presiden Jokowi melepaskan perintah “lebih gilak lagi” seputar pemberantasan penyalahgunaan Narkoba. “Semua instansi lintas sektoral harus sama-sama memberantas penyalahgunaan Narkoba lebih gencar lagi, lebih gilak lagi dan lebih komprehensif. Tinggalkan ego sektoral sebab Narkoba telah jadi masalah ranking pertama bangsa kita,” cetus Presiden Jokowi. Ya, jelas sekali Presiden marah terhadap “pasukannya” yang dinilai kurang bertindak cepat, terkesan anggap remeh bahkan terindikasi “main mata” dengan aktivitas peredaran Narkoba. Kedua, peredaran Narkoba di penjuru Tanah Air bisa mulus bak berjualan kacang goreng karena selama ini aparat penegak hukum bersikap setengah hati. Suka tak suka, tidak bisa dipungkiri itulah fakta empiris di lapangan. Presiden Jokowi sendiri saya perkirakan tahu situasi buram berkepanjangan ini sehingga mengeluarkan sindiran “lebih gilak lagi”. Anda tidak percaya? Mari kita buktikan dengan mencontohkan kawasan hiburan semisal diskotek. Saya ambil sampel diskotek (bukan KTV) juga dilandasi strategisnya ranah publik tersebut sebagai cikal bakal kehancuran marwah negara (aparat pemerintah/penegak hukum) di mata pelaku, bandar bahkan pengusaha hiburan nakal. Setengah hatinya aparat penegak hukum mudah sekali ditelisik tatkala Anda mampir ke satu diskotek. Baik di Kota Medan hingga daerah lain. Bukan apa-apa, semua mata awam mampu melihat jelas kalau kawasan hiburan selalu “akrab” beroperasi mulus dari malam sampai pagi dan dari pagi lanjut ke malam. Membuktikan cross check izin keramaian pihak kepolisian sama sekali cuma di atas kertas, formalitas regulasi, tidak berjalan dan dipandang enteng sebelah mata oleh pengusaha hiburan nakal. Belum lagi izin gangguan/lingkungan (HO) dari LH dan segudang tetek bengek aturan Dinas Pariwisata setempat. Pada sisi lain, tidak sedikit pula lokasi diskotek hanya berjarak beberapa meter dari kantor polisi, seperti 2 diskotek di Jalan Nibung Medan dekat Polsek Medan Baru. Tiga pertanyaan menggelitik muncul ke permukaan ; apakah polisi tidak tahu ada transaksi Narkoba di diskotek (kawasan publik) secara terang-terangan ? Apakah polisi tidak tahu cara menginvestigasi benar tidaknya perdagangan Narkoba di sana ? Apakah polisi sengaja pura-pura tidak tahu karena setiap pejabat pemerintah/petinggi kepolisian terindikasi dicekoki pembusukan budaya “angpaw” pengaman (bulanan) dari pengusaha hiburan nakal ? “Perbuatan-perbuatan salah itu biasa bagi manusia. Tapi kepura-puraan menimbulkan permusuhan dan pengkhianatan”. (Johan Wolfgang Goethe).
Skenario Aparat Setengah Hati
Retoris sekali menjawab 3 pertanyaan itu. Namun
saya menggarisbawahi, sebenarnya aparat pemerintah selaku pengeluar
izin dan penegak hukum seperti
polisi, jaksa, hakim memakai skenario setengah hati menghadapi
penyalahgunaan
Narkoba selama ini. Bila pemerintah dan pendekar-pendekar hukum tersebut
tidak setengah
hati, tentulah sekarang Republik ini tidak “kebakaran jenggot”
sementara penegak hukum bak petugas pemadam kebakaran setiap kali
menangkapi pemakai Narkoba kelas teri
di kawasan hiburan. Tentu pula tak ada simbol negara seperti anggota DPR, PNS, TNI dan Polri yang terbukti
memakai Narkoba setelah tes urine bahkan berani memanfaatkan asrama
TNI/Polri jadi posko manis bisnis transaksi Narkoba. Begitu juga kasus Bupati termuda
Indonesia yang memimpin Kabupaten Ogan Ilir Ahmad Wajir Nofiadi Mawardi (28). Andaikan penegak hukum tidak setengah hati selama ini, mungkin saja politisi Golkar itu takut main-main dengan Narkoba. Namun Ahmad Wajir Nofiadi Mawardi gak takut sama sekali walau memegang jabatan penting hingga akhirnya ditangkap BNN di
rumah orangtunya saat pesta Narkoba pada
Minggu
(13/3/2016). Saya harus mencontohkan kawasan hiburan diskotek
sebagai sasaran tembak tulisan ini karena identitas tempat publik yang bebas
bagi siapa saja dan nyata sumber malapetaka awal. Saya mencoba
menggelitik cara berfikir publik serta mencubit kepura-puraan aparat
pemerintah/penegak hukum seperti peringatan filsuf Johan Wolfgang Goethe di atas. Sebab, anehnya, aparat pemerintah, polisi,
jaksa, hakim dan BNN terus terdengar sibuk melibas pelaku peredaran
Narkoba sedangkan pembiaran dan “main mata” terhadap perdagangan gelap tetap pula
aman dipraktikkan oknum-oknum lembaga tersebut. Bagi saya, kondisi ini
sama saja dengan memakai Narkoba di depan pemerintah pengeluar izin dan
aparat penegak hukum. Implikasi klimaks telah menghadirkan bencana
kebrutalan para sindikat/pengedar untuk anggap enteng membuka lapak
Narkoba di
tempat publik terang-terangan diantaranya permukiman warga Kampung Kubur
Medan hingga wilayah lain di Indonesia. Lalu,
kenapa sekarang aparat gabungan cenderung “STM” alias sibuk tak menentu melakukan tes urine anggota
DPR, selanjutnya menyeser asrama TNI/Polri bahkan permukiman warga sementara arena
utama “main mata” (diskotek) tidak jadi perhatian serius padahal di sana marak kolusi antara pengusaha nakal, birokrat korup pemerintah dan oknum aparat penegak hukum ? Maaf,
saya tidak
bermaksud menyudutkan pihak manapun. Tapi cara berfikir skeptis ini
sengaja saya munculkan dengan konsepsi terbalik untuk jadi refleksi
kritis bagi para pembaca maupun pengambil kebijakan pada semua tataran
lembaga judikatif (penegak hukum), eksekutif (pemerintah) dan legislatif
(DPR). Menurut akal sehat saya, perintah
Presiden Jokowi memberantas Narkoba lebih gilak lagi merupakan isyarat
protes terhadap gaya “STM” aparat/pemerintah selama ini yang tidak
memberi hasil memuaskan. Lebih gilak lagi adalah cermin
kekesalan Presiden kepada pemerintah/aparat yang digaji negara tapi
melalaikan tanggungjawab
(pemerintah pengeluar izin kawasan hiburan, BNN, polisi,
jaksa dan hakim pemutus perkara). Ke-4 lembaga tersebut diminta Presiden
Jokowi membereskan
masalah
internal masing-masing yang diduga kental bermuatan oknum kepentingan
sesat dan sesaat. “Apabila anda menutup pintu terhadap segala kesalahan, maka Anda telah menutup pintu terhadap kebenaran”. (Rabindranath Tagore)
Kritik untuk Media
Kembali kepada kritik Shohibul terhadap media massa. Di sini muncul 2 pertanyaan sederhana. Mungkinkah awak Media lebih gilak lagi memberantas Narkoba melalui tulisan-tulisan dari hasil karya jurnalistik investigatif ? Kenapa pula investigasi media memudar soal kasus-kasus Narkoba ? Pertanyaan pertama ini mantap saya jawab teramat mungkin. Namun jangan lupa memerlukan 4 unsur pendukung utama. Diantaranya kompetensi suatu perusahaan media (cetak, elektronik atau online), kompetensi skill SDM jurnalis yang dimiliki, kompetensi dukungan salary perusahaan media kepada wartawannya hingga dukungan permodalan khusus melakukan liputan investigasi. Terkadang sekilas kita memandang “wah” keberadaan suatu perusahaan penerbitan media massa yang kebetulan memang masih terbit/berdiri. Lebih dari itu, visi misi dan apa isi pemberitaan media massa tersebut patut ditelaah pula. Kemudian menganalisa pola perilaku manajemen perusahaan media massa itu. Karena saya sepakat menggarisbawahi, berdirinya suatu perusahaan penerbitan media dapat dicermati dengan 2 pendekatan tujuan. Yaitu kepentingan sesaat/sesat atau pure kepentingan berorientasi sehat bisnis/sehat pemberitaan (tujuan Pers : informasi, edukasi dan kontrol sosial) . Makanya, publik perlu memahami tugas-tugas dan tanggungjawab profesi seorang jurnalis sebagai sesuatu yang sangat luhur. Tapi publik juga pantas diberitahu urgensitas perbedaan antara sosok jurnalis yang mempertanggungjawabkan profesi/kinerja, dengan mereka-mereka yang sekadar mendirikan media massa dan bertujuan membawa-bawa nama institusi Pers untuk kepentingan sesaat/sesat hingga orang-orang yang teridentifikasi cuma mirip wartawan. Bila perbedaan itu sudah diketahui publik, maka akan dapat disimpulkan bagaimana cara menyikapi dan kepada siapa saja kita pantas berharap melakukan peliputan khusus investigasi seputar Narkoba. Dalam artian, profesi jurnalis dan tugas-tugas investigasi jurnalistik tidaklah bisa diletakkan begitu saja terhadap sosok-sosok yang terlihat memiliki perusahaan media massa. Tidak pula lantaran mengamati sepintas perilaku seseorang yang seolah-olah wartawan, mengaku-ngaku wartawan, cuma nanya-nanya, memegang kamera, menulis-nulis, bergerombol ikut wawancara, mengantongi kartu Pers apalagi karena sikap-sikap yang mirip wartawan. Di atas semuanya itu, publik (narasumber) diwajibkan menilai terang benderang kompetensi/pribadi seseorang yang hadir membawa institusi Pers sebelum melayani dan meladeni. Untuk peliputan investigasi, bisa dipastikan yang utama adalah kompetensi dari seorang jurnalis dan dukungan permodalan suatu media massa. Sehingga memudarnya peran media melakukan investigasi tidak terlepas dari minimnya kompetensi sosok jurnalis yang ideal dan rendahnya dukungan atau tidak adanya perusahaan media yang tertarik terhadap kesakralan hasil liputan investigasi.
Peran Pers Investigatif kian Memudar
Bercermin dari konsepsi tersebut, tulisan ini sepakat mengangkat 2 jempol atas sumbang saran Shohibul yang iba melihat peran institusi Pers yang kian memudar melakukan investigatif report kasus penyalahgunaan Narkoba. Apa yang dikatakan Shohibul benar sekali. Khususnya bila dihubungkan dengan dinamika industri Pers di Kota Medan maupun Provinsi Sumut yang menurut saya tergolong “lucu”. Bukan apa-apa, bila menoleh sedikit kebelakang, patut diketahui secara jujur, jangankan melakukan investigasi, untuk persoalan menulis sederhana semisal straight news saja kalangan pengusaha industri Pers di Medan dan Sumut tidak terlalu pusing terhadap bobot minus wartawannya. Saya menggarisbawahi, penyebabnya adalah model rekrutmen perusahaan penerbitan media massa yang teramat mudah mengangkat wartawan atau memberikan kartu Pers kepada siapa saja. Sepanjang ada yang mau mengambil dan membayar koran, maka siapapun dapat dijadikan wartawan. Itulah dinamika “lucu” institusi Pers di Medan dan Sumut. Nah, setelah itu, tanpa kompetensi ilmu jurnalistik dari orang yang membeli/membayar koran, sang pengusaha media justru tidak memberi pembekalan pengetahuan semisal teknik menulis, teknik wawancara, teknik menghimpun narasumber, teknik pengumpulan info/data serta teknik-teknik dasar lainnya. Sementara si “pemegang kartu Pers” yang tidak punya skill sudah lebih dulu membusungkan dada kemana-mana dengan status wartawan-wartawan-an. Pemandangan ini empiris di penjuru Medan maupun kab/kota se-Sumut. Orang-orangnya juga terlalu mudah ditemui/diamati melalui sikap, cara bicara dan kehadiran/keberadaannya pada berbagai instansi pemerintah Kota Medan maupun penjuru kab/kota Provinsi Sumut. Mereka datang sendiri bahkan bergerombol. Pegang kertas, pegang pulpen, punya tape rekaman, melakukan aksi foto-foto, bicara besar tanpa karya apapun, pamer-pamer sebagai wartawan kemana-mana hingga sikap ikut-ikutan bertanya atau menemui narasumber. Gayanya jangan diragukan lagi. Mengalahkan sosok wartawan yang sesungguhnya. Mereka terlihat seolah-olah wartawan padahal cuma mirip. Bangga dan mudah sekali mengaku wartawan kepada siapa saja karena merasa telah membayar koran kepada satu redaksi perusahaan penerbitan. Ketika ditelisik lebih dekat, ternyata mereka cuma nengok-nengok (CNN), hanya mengantongi kartu Pers, cuma jalan-jalan, hanya duduk-duduk, cuma keliling-keliling, hanya nulis-nulis di kertas serta cuma mencari celah menakut-nakuti/mengejar-ngejar pejabat atau pihak tertentu dengan mengatasnamakan profesi wartawan untuk target “UUD” alias ujung-ujungnya duit. Kalau selama ini saya mengenali beberapa sosok, yang katanya wartawan, tapi tidak pernah terbukti menulis karena sangat “ahli” curi sana-curi sini tulisan/berita copy paste, maka orang-orang mirip wartawan yang saya sebut di atas itu sama sekali tidak terdeteksi dimana karya tulisnya. Kalaupun ada, kuat dugaan sebatas karya copy paste karena dengan mudahnya “mereka” akan mengklaim karya orang lain adalah milik sendiri atau membuat kode sesuka hati pada suatu berita. Pelanggaran etika dan kode etik seperti ini sangat marak terjadi di Medan/Sumut. Perusahaan penerbitan media dan organisasi wartawan juga entah dimana rimbanya, sampai-sampai tidak memperbaiki yang salah itu padahal terjadi di media sendiri. Mungkin saja, mungkin saja….mereka sedang sibuk melakukan kegiatan yang “menghasilkan” dana besar dari sana-sini bertajuk uji kompetensi wartawan. Disadari atau tidak, pihak yang merasa sebagai pengusaha penerbitan tidak kunjung peduli. Pelanggaran etika dan kode etik Pers massif berlangsung terus dalam waktu panjang. Siapa saja yang mau jadi wartawan-wartawan-an akan diterima asal mau mengambil/membayar koran atau siap tidak mendapat gaji. Fakta miris ironis itu bisa dibuktikan. Lalu dimana Dewan Pers dan organisasi Pers yang selama ini kelembagaannya dikenali publik cukup besar ? Wallahuallam….Saya rasa inilah aib yang entah kenapa tidak memalukan lagi. Perusahaan penerbitan media massa bahkan organisasi Pers di Kota Medan dan Sumut terkesan kompak memikirkan kepentingam sesaat/sesat belaka. Dan ketika ada perusahaan penerbitan di Kota Medan atau Sumut mampu membayar salary wartawan, saya rasa itu bisa dihitung jari dan masih pada taraf sekadar membuat wartawannya cukup-cukup makan atau syarat mematuhi standard UMK/UMP alias masih minus “modal” untuk inisiatif sendiri melakukan investigasi.
Otokritik Serius
Akhirnya, merujuk realitas pemikiran tersebut, dan bila saya hubungkan kritik Shohibul Anshor Siregar tentang memudarnya peran investigasi media dengan topik “berantas Narkoba lebih gilak lagi, mungkin gak ya”, maka perusahaan penerbitan media patut menjadikannya sebagai otokritik serius : Jangankan meletakkan tanggungjawab investigasi di pundak media dengan segala “kekacauan perangkat/manajemennya”, jurnalis yang punya kompetensi skill saja belum tentu mau melakukannya karena iklim perusahaan media tempatnya bernaung tidak tertarik dan tidak mendukung sama sekali. Artinya, sudah saatnya orang-orang yang merasa pengusaha media tapi tidak sadar membayar hak tulisan berita wartawannya untuk bercermin. Kalau memang tidak mampu membayar gaji, atau paling tidak hak honor berita seorang wartawan, ya kenapa bergaya-gaya memaksakan diri ? Belum termasuk salary hak normatif hari besar keagamaan seorang wartawan. Sebab, kalangan wartawan kerap jadi “STM” juga dan selalu “bingung” tiap kali berhadapan dengan aksi buruh yang menuntut kenaikan upah/gaji. Hormatilah institusi Pers dengan melakukan kewajiban Anda sebagai pengusaha penerbitan media. Cari investor dan kelolalah manajemen media yang standard bila memang belum mampu profesional. Itupun kalau Anda tidak suka disebut pengusaha media mokomdo atau modal kompeng doang, yang sepatutnya langsung menutup sendiri media yang didirikan karena terbukti melanggar 3 unsur : manajemen, modal bahkan SDM. Begitulah dinamika real kekinian konidisi media secara umum terutama di Medan dan Sumut. Memberantas Narkoba lebih gilak lagi adalah suatu keniscayaan dilakukan institusi Pers, apalagi aparat pemerintah dan penegak hukum yang nota bene dibayar mahal oleh negara. Kritik Shohibul pantas disikapi semua industri media massa, sementara aparat pemerintah dan penegak hukum dapat mendukungnya melalui tupoksi masing-masing. Sehingga insan Pers tidak lagi sekadar alat untuk dikondisikan dalam mempublikasi berita tangkapan, ikut dalam operasi penangkapan/penggerebekan hingga sebatas diundang meliput seremonial penghancuran barang bukti Narkoba. Sedangkan aparat terkait seperti pemerintah selaku pengeluar izin kawasan hiburan, BNN, polisi, jaksa dan pengadilan, sudah waktunya jujur menghentikan praktik “main mata ada udang di balik batu”. Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia bukan lagi darurat melainkan bencana. Sekali lagi saya akan menggarisbawahi beberapa pertanyaan skeptis: semua tahu bahwa 99 persen kawasan hiburan (ranah publik) di Indonesia semisal diskotek memperdagangkan Narkoba bak kacang goreng, tapi apakah pernah kita tahu dan dengar Kapolri mengeluarkan perintah terbuka kepada Kapolda, Kapolres dan Kapolsek di Indonesia agar mengharamkan anggota Polri memback-up pengusaha hiburan nakal yang terindikasi terlibat Narkoba ? Pernahkah kita mendengar perintah larangan menerima “setoran angpaw” sang pengusaha nakal ? Apakah intelijen BNN, Polri, Kejaksaan dan Pengadilan terlalu sulit menginvestigasi penyalahgunaan Narkoba di kawasan hiburan yang terindikasi memperdagangkan Narkoba ? Lagi-lagi jawabannya wallahualam…..Tentu saja kita sepakat mengatakan kalau tanggungjawab struktur pemberantasan Narkoba berada di tangan kalangan judikatif, eksekutif dan legislatif. Bukan wartawan apalagi masyarakat umum. Masyarakat luas termasuk insan Pers boleh-boleh saja diimbau untuk membantu pemerintah/aparat atau tampil atas semangat nasionalisme pejuang 45. Tapi alangkah tidak bijak rasanya bila ketidakberdayaan aparat membereskan “udang di balik batu” institusi justru dialihkan dengan melempar tanggungjawab kepada rakyat. Lalu berlagak “STM” seolah-olah menjadi tugas bersama sedangkan rakyat/wartawan tidaklah institusi fungsional yang digaji negara. Memberantas penyalahgunaan Narkoba lebih gilak lagi patut disadari menjadi tanggungjawab tugas dan beban moral aparat judikatif/eksekutif seperti pemerintah daerah, BNN, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Mulailah berhenti “STM” dan berantaslah aktivitas “main mata” di kawasan hiburan diskotek itu. Tapi bila Anda selaku pejabat pemerintah dan aparat tetap setengah hati, sekarang lebih baik Anda renungkan pesan Presiden RI I Ir Soekarno: “Bila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut berbuat kebaikan, maka jaminan bagi orang itu adalah tidak akan bertemunya dia dengan kemajuan selangkah pun”.