Makna Sakral Kebebasan Pers Universal (jawaban TERBUKA atas kemarahan (baca: KESESATAN) berfikir Prabowo Subianto terhadap Media dan PROFESI Jurnalis)
Oleh: BUDIMAN PARDEDE – Jurnalis salah satu Media Cetak Harian terbitan Medan dan Media Online – Berdomisili di Medan – Praktis Jurnalis sejak 27 tahun lalu – sekarang
AKU TERGELITIK menulis artikel ini supaya Capres Yth PRABOWO SUBIANTO tidak berfikir SESAT, SESAAT dan DANGKAL saat menyikapi geliat Pers. PUBLIK pun perlu diberi pemahaman apa arti peran, fungsi dan kebebasan PERS di era kekinian. Yang suka membaca, monggo dibiasakan membaca sampai habis yaakkkk… Agar tidak tersesat oleh cara fikir keliru Prabowo Subianto. Siapa tahu pemikiran saya di bawah ini bisa menambah wawasan publik Indonesia. Sebab PUBLIK DAN KHUSUSNYA INSAN PERS WAJIB MEMAHAMI MAKNA SAKRAL UNIVERSAL KEBEBASAN PERS. Silahkan dishare bila dirasa bermanfaat untuk pendidikan publik.
TIGA hari terakhir Indonesia “diributkan” pemberitaan media cetak, elektronik dan online. Penyebabnya tak lain akibat ulah Capres Prabowo Subianto yang marah-marah. Amarahnya dialamatkan ke media massa, insan Pers dan jurnalis lantaran dianggap banyak bohong, antek pengkhianat NKRI, tidak independen dan tidak melakukan liputan acara Reuni 212 di Monas Jakarta, Minggu 2 Desember 2018. Prabowo enteng melepaskan kata-kata hinaan, merendahkan, menghakimi, menjelekkan, menghujat media, insan Pers dan jurnalis. Entah apa tujuannya. Lucunya lagi, Prabowo memprotes data perkiraan media soal jumlah peserta reuni 212 di Monas. Padahal, hingga kini, tak ada 1 lembaga resmi yang mempublis berapa jumlah valid peserta reuni 212. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menyebut tahun 2017 penduduk Jakarta hanya 10,3 juta jiwa. Namun Prabowo lantang mengklaim 11 juta orang tanpa dasar yang ilmiah dan bertanggungjawab. Hehehee…hehehe…Lucu gak?
Saya MENGGARISBAWAHI, semua kata-kata kurang pantas tersebut mencerminkan betapa dangkalnya PEMAHAMAN PRABOWO SUBIANTO tentang INSTITUSI PERS, KIPRAH JURNALIS dan DEFENISI dari INDEPENDENSI/KEBEBASAAN PERS. Tudingan Prabowo tidak lagi bersifat kritik konstruktif melainkan menyerang. Sangat prematur, salah alamat dan DISELIMUTI EMOSIONAL KEPENTINGAN POLITIS. Pola fikir Prabowo Subianto telah MENYESATKAN PUBLIK DAN NGAWUR BICARA TANPA DUKUNGAN DATA, ILMU DAN WAWASAN. Mohon maaf, terpaksa saya mengatakan bahwa APA YANG DISAMPAIKAN PRABOWO SUBIANTO itu SAYA SIMPULKAN KONYOL, EMOSIONAL, MENYERANG RANAH PRIVACY SUATU GOLONGAN, BENTUK KELEMAHAN PENGENDALIAN DIRI serta cermin KESOMBONGAN karakter. Sikap Prabowo tak lajim, tak normal dan tak pantas ketika dia MERASA BERHAK mendapat pelayanan media/jurnalis atas 1 berita peristiwa yang melibatkan dirinya. Jelas sekali PERILAKU Prabowo membuktikan dirinya TIDAK KENAL geliat JURNALIS/MEDIA sebagai PROFESI MERDEKA DALAM SIKAP dan KARYA-KARYA JURNALISTIK. Saya MENGGARISBAWAHI, Prabowo Subianto minus wawasan dan sok tahu cara kerja Pers. Ketua Umum Partai Gerindra itu menganggap Pers adalah objek yang bisa diperintah kapan saja, dianggap mesin yang otomatis berjalan sendiri bila ada peristiwa atau bisa digerakkan seenaknya sesuai selera (kepentingan). Timbul 2 pertanyaan di benak saya dan saya yakini juga mengganggu publik: Apa hak Capres PRABOWO SUBIANTO Yth ini NEKAD MARAH-MARAH ? Kenapa dia MENYERANG PRIVACY SATU GOLONGAN SEOLAH-OLAH MEDIA/JURNALIS adalah anggota Partai Gerindra atau MESIN OTOMATIS YANG HARUS SIAP MELIPUT “KEPENTINGAN POLITIK” DIRINYA DALAM kegiatan Reuni 212 ?
Tiga PROFESI DI DUNIA
Sebelum menjawab 2 pertanyaan di atas, mari kita bergeser sedikit ke wawasan bertajuk 3 PROFESI yang ada di dunia. Pantas diketahui, sesuai amatan saya, di bumi ini cuma ada 3 aktivitas yang boleh disebut profesi. Yaitu jurnalis/wartawan, dokter dan pengacara. Kenapa disebut profesi ? Karena tindak-tanduk “mereka” dalam 3 aktivitas tersebut bukanlah rutinitas pekerjaan formal kantoran ibarat “datang pagi pulang sore atau pergi malam pulang pagi”. Pegiat 3 profesi itu TIDAK DIBATASI unsur RUANG, WAKTU & UANG. Bisa kapan saja dan dapat dimana saja. Saat santai, liburan atau dalam kondisi apapun dan dimanapun, jurnalis bisa menjalankan profesi sesuai insting yang ditangkap mata, telinga atau panggilan nurani jurnalistiknya. CARA KERJANYA pun DIDOMINASI SENDIRI OLEH KEBIJAKAN SIKAP PRIBADI JURNALIS MAUPUN SUATU MEDIA MASSA. SAYA GARISBAWAHI LAGI, KEBIJAKAN SIKAP. Namun wajib dipahami, dominasi KEBIJAKAN SIKAP menjalankan tugas-tugas jurnalistik itu selalu DIDASARI ETIKA, KODE ETIK DAN KAIDAH yang DIPERTANGGUNGJAWABKAN. TIGA PROFESI ini berbeda dengan pekerja atau pegawai apapun lantaran 3 unsur tersebut. Misalkan saja PNS, GURU, PETANI, TUKANG BECAK atau jenis pekerjaan lain. Kelompok ini jelas-jelas DIBATASI unsur WAKTU, RUANG dan UANG tatkala beraktivitas (bekerja). Tapi jurnalis/wartawan, dokter dan pengacara, bukanlah pekerjaan melainkan PROFESI. Mari kita bedah lebih dekat. Wartawan akan bersemangat meliput keluar rumah pukul 3 pagi ketika mengetahui terjadi kebakaran di suatu tempat. Dokter juga harus bangun pukul 3 pagi tatkala pasien datang berobat. Dan pada waktu sama, pengacara melompat dari tempat tidur saat dipanggil klien yang tersandung hukum. Kuatnya panggilan ETIKA PROFESI itulah yang MEMPOSISIKAN “MEREKA” TIDAK DIBATASI ruang, waktu dan uang. Nah, dari 3 PROFESI ini, AKU MENGGARISBAWAHI, cuma profesi WARTAWAN/JURNALIS YANG PALING MULIA. Kenapa jurnalis saya sebut paling mulia ? Sederhana saja. Dokter dan pengacara MEMATOK tarif setiap menjalankan PRAKTIK profesi. Sementara wartawan TIDAK DIBOLEHKAN meminta uang apalagi menetapkan tarif berita dalam tugas-tugas jurnalistik. Begitu pula saat Jurnalis (diundang atau tak diundang) melakukan liputan, mewawancarai narasumber/publik bahkan setelah menerbitkan berita hasil liputan dan hasil wawancaranya. Wartawan tulus iklas berkarya tanpa tarif. Di kantornya pun rata-rata mendapat gaji tergolong kecil. Bahkan ada perusahaan media massa yang tidak sanggup dan tidak menggaji wartawannya. Inilah fakta di lapangan. Namun sekarang malah seenaknya dihina dan dilecehkan Prabowo Subianto. Walau pada kondisi tertentu kita pernah melihat dokter dan pengacara berorientasi PRODEO alias gratis, toh itu dilatarbelakangi hal-hal khusus. Tapi AKU MENGGARISBAWAHI, mayoritas dokter dan pengacara menentukan tarif yang dibicarakan langsung dengan pasien atau klien. Publik pun pasti membenarkan bahwa TAK PERNAH MELIHAT ADA PERCAKAPAN WARTAWAN DENGAN NARASUMBER/MASYARAKAT SOAL TARIF MEMUAT BERITA. Kalau saja ada yang minta-minta uang, saya yakin orang tersebut bukan wartawan. Sebab HARAM HUKUMNYA DAN BUKAN WARTAWAN NAMANYA BILA MEMINTA IMBALAN UANG USAI MELIPUT/WAWANCARA atau setelah MENERBITKAN BERITA DI MEDIA. Sekali lagi, dokter dan pengacara punya tarif yang dipatok secara resmi. Beda dengan wartawan/jurnalis. Sadarkah kita sekarang ? Lalu, apa jawaban kita terkait hak Prabowo Subianto marah-marah dan menghujat Pers, media dan jurnalis ? Hehehehe, saya jadi tersenyum kecut mengetahui kedangkalan berfikir seorang Capres bernama Prabowo Subianto, yang kabarnya mantan Danjen Kopassus. Sekarang, ayo kita objektif berfikir dan bertanya pada hati sendiri: SETUJUKAH ANDA ATAS SERANGAN MEMBABI-BUTA PRABOWO SUBIANTO TERHADAP PRIVACY GOLONGAN JURNALIS/MEDIA YANG MERUPAKAN SATU-SATUNYA PROFESI PALING MULIA DI DUNIA INI ? Jangankan Prabowo Subianto, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan PERS, pemerintah, aparat, pejabat, wakil rakyat, masyarakat hingga penjahat sekalipun TIDAK BERHAK mendikte, mengatur, menghakimi, menghujat apalagi menghina cara kerja awak media/jurnalis yang posisinya NYATA SEBAGAI PILAR KE-4 DEMOKRASI di Indonesia.
Pers Tidak Boleh Netral tapi Harus Bersikap
Kendati pada waktu tertentu wartawan/media banyak disayangi publik/narasumber karena senang atas berita yang sesuai selera atau permintaan, tapi dilain pihak media dan jurnalis kerap kali dibenci bahkan dimusuhi akibat alergi dengan berita kritiknya. Sehingga satu-satunya cara mengukur kinerja jurnalis atau media Pers adalah dengan melihat karya atau produk jurnalistiknya. Kalau produk jurnalistik media/jurnalis bermasalah dengan delik hukum atau hoax, maka Prabowo Subianto dan publik dapat menempuh proses hukum dan siapa saja boleh masuk menyerang melakukan gugatan. Itulah bentuk ideal posisi Pers secara universal. Lalu, bolehkah Pers, jurnalis dan media bersikap netral ? Sampai saat ini saya masih 100 persen menyatakan tidak bisa. Bagi saya, Pers tidak boleh netral melainkan HARUS BERSIKAP. Sikap tersebut merupakan kebijakan yang dilandasi pertimbangan terhadap kepentingan yang lebih luas semisal masalah keadilan, perdamaian, keutuhan-ciptaan, kemanusiaan dan sejenisnya. Pun demikian, mungkin sekali apa yang saya sampaikan salah dan saya terbuka untuk diskusi atau dibantah. Makanya, sejak 5 tahun lalu sampai saat ini, aku juga mengecam keras, menolak dan menuntut PEMBUBARAN Dewan PERS karena terindikasi kuat telah melanggar HUKUM/UU 40 TAHUN 1999 dan MELAMPAUI KEWENANGAN MENGATUR RUMAH TANGGA INTERNAL MEDIA MASSA, ORGANISASI PERS DAN JURNALIS/WARTAWAN di INDONESIA. UU NO 40/1999 TENTANG PERS hanya memberi kewenangan pada Dewan PERS : mengembangkan kemerdekaan Pers Indonesia, memediasi konflik publik dengan Pers serta mendata media massa. Faktanya sekarang, Dewan PERS kental bermanuver politik macam geliat MEMBABI-BUTA Prabowo Subianto yang marah-marah. Sama seperti Prabowo Subianto, Dewan PERS ikut latah MENGHANCURKAN KEMERDEKAAN PERS INDONESIA YANG SELAMA INI SUDAH TERBANGUN SANGAT BAIK. Dengan MODUS mengeluarkan surat-surat internal abal-abal yang menyesatkan publik terkait VERIFIKASI MEDIA/ORGANISASI PERS ATAU LATAH BICARA UJI KOMPETENSI WARTAWAN, Dewan PERS NYATA MELAMPAUI KEWENANGAN DAN IKUT MENGERDILKAN KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA, melanggar HAM, membunuh iklim demokrasi serta merampas hajat hidup orang banyak. Saya MENGGARISBAWAHI, media massa dan wartawan di penjuru Tanah Air mandiri berdiri sejak awal tanpa hubungan apapun dengan Dewan Pers. Mengurus perizinan sendiri dan mengikuti aturan yang berlaku. Tidak ada keterkaitan hubungan struktural atau fungsional antara media/wartawan dengan Dewan Pers apalagi membantu dalam urusan finansial. Ketika muncul persoalan media massa/wartawan dengan publik, silahkan dijembatani sesuai amanat UU No 40/1999. Selain itu, publik pun berhak menggugat secara hukum bila ada media atau wartawan yang melanggar hukum. Jadi saya ingatkan Dewan Pers jangan seolah-olah memposisikan lembaga ad-hoc yang dibiayai APBN sebagai MALAIKAT PENGUASA MEDIA, ORGANISASI PERS DAN JURNALIS di Indonesia. Tapi sudahlah, tulisan saya ini tidak tertarik membahas Dewan PERS yang terindikasi kurang kerjaan, tidak punya program bahkan rentan merampok uang rakyat dari APBN berdalih program kerja abal-abal. Biarlah teman-teman Jurnalis se-Indonesia kian bersatu MELAWAN KEZOLIMAN OKNUM-OKNUM OPURTUNIS DI Dewan PERS itu..!!! Apalagi belakangan sudah ada kalangan insan Pers yang MENGGUGAT Dewan PERS DI JAKARTA. Harusnya Dewan PERS MALU KARENA SAMPAI SAAT INI TIDAK MELAKUKAN GUGATAN ATAS KATA-KATA PENGHINAAN (bukan kritik) YANG DILONTARKAN PRABOWO SUBIANTO.
Tugas Pers OTONOM & SAKRAL
Kita kembali menelisik KEMARAHAN (bukan kritik) Capres Yth PRABOWO SUBIANTO. Disukai atau tidak, diterima atau tidak, diakui atau tidak, tugas-tugas jurnalistik wartawan semisal wawancara, meliput hingga menulis 1 peristiwa, sepenuhnya HAK OTONOM seorang Jurnalis/media yang TAK BOLEH DIGURUI atau DIDIKTE pihak manapun. Hak OTONOM itu SAKRAL melekat kuat didasari pertimbangan berbagai faktor oleh masing-masing jurnalis/media. Timbul lagi pertanyaan publik, haruskah Pers, media dan jurnalis meliput dalam setiap peristiwa ? AKU MENGGARISBAWAHI, Apakah PERS turun meliput atau tidak, itu urusan Jurnalis berdasarkan pertimbangan kebijakan dirinya dan terhadap institusi Pers (Media) yang menaunginya. Capres PRABOWO SUBIANTO Yth dan PUBLIK tidak bisa menuntut, memaksa apalagi menganggap Jurnalis/Media akan bergerak seperti mesin otomatis atau ibarat gula berserakan di lantai yang langsung didatangi semut. “EMANG ANDA ANGGAP PERS BARANG MURAHAN PAK PRABOWO” ? Artinya, tugas dan peran PERS yang OTONOM, SAKRAL dan INDEPENDEN menegaskan bahwa bukan ranah siapapun menekan jurnalis untuk menulis bahkan menuntut media massa harus meliput/mempublikasi suatu peristiwa. Mari renungkan contoh sederhana empiris ini. Ketika sekelompok demonstran bayaran berunjukrasa ke gedung DPRD, kantor walikota, kantor gubernur atau instansi pemerintah/lembaga manapun, maka seorang jurnalis/wartawan patut mengambil sikap dengan lebih dulu menganalisa maksud aksi massa. Ketika aku melihat demo massa bayaran itu bertujuan mencari-cari penyakit pejabat dan aksi yang dilakukan sengaja untuk bernegosiasi mendapat uang, maka aku pastikan tidak akan meliputnya. Tidak ada yang bisa memaksa aku untuk menulis berita atau meliput aksi demo tersebut. Inilah yang saya sebut sejak awal tadi kebebasan sakral, otonom dan kebijakan sikap Pers, media dan jurnalis. Saya percaya, tiap-tiap insan Pers, media dan jurnalis punya pertimbangan masak sebelum memutuskan meliput atau tidak meliput suatu peristiwa. Jadi bukan berarti tidak independen apalagi dianggap Prabowo Subianto tidak pantas lagi menyandang predikat jurnalis. Aku mau mengingatkan, jangan karena berita Prabowo Subianto atau seseorang tak diliput wartawan/media, lalu mereka seenaknya marah-marah, menghujat, menghina, merusak institusi Pers dan mendadak jadi BODOH dengan melontarkan kata-kata MENYESATKAN yang bertendensi penggiringan opini negatif PUBLIK kepada Pers, Media dan Jurnalis.
Pahami Kesetaraan Pers & Publik
Peran dan posisi antara Pers dengan Publik bersifat
SETARA/SEDERAJAT. Makna setara dan sederajat saya yakini bisa dipahami
mudah dengan melihat fakta empiris pekan lalu saat Capres PRABOWO
SUBIANTO MEMBOIKOT METRO TV. SAYA MAU MENGGARISBAWAHI, boikot
atau penolakan itu merupakan hak Prabowo dan kewenangan mutlak publik
bila memutuskan tidak mau (ALERGI) melayani media massa/jurnalis. ITULAH
PRINSIP KESETARAAN PERS dan PUBLIK. Realitas HAK MUTLAK
BOIKOT/PENOLAKAN terhadap media/jurnalis pernah saya alami beberapa kali
kurun 27 tahun mengemban profesi yang saya cintai ini. Secara UNIVERSAL
kondisi begituan wajar dan diakui/diterima sportif oleh insan PERS,
media dan jurnalis di penjuru dunia. Dalam artian, ketika NARASUMBER,
MASYARAKAT bahkan Prabowo Subianto menolak dikonfirmasi, tidak bersedia
diwawancarai bahkan tidak mau memberi jawaban saat ditanya wartawan,
tentu saja awak media dan jurnalis tidak boleh dan tidak akan
marah-marah apalagi memaksa-maksa. Keputusan BOIKOT atau PENOLAKAN
apapun yang dilakukan PRABOWO SUBIANTO dan PUBLIK terhadap PERS
merupakan BUKTI TAK TERBANTAHKAN atas KESETARAAN posisi/peran “MEREKA”
TERHADAP KEBERADAAN PERS/MEDIA/JURNALIS. Tidak boleh ada yang merasa di
atas atau di bawah. Berbagai pihak bebas mau menolak atau bersikap
elegan melayani Pers. Lalu, kok Yang Mulia Mr Prabowo Subianto ini merasa di atas angin marah-marah menghina Pers ? Lagi-lagi
aku tak kuasa menahan geli teramat dalam. Makanya, media massa tak
pernah mengenal atau sangat salah kalau dalam satu berita memuat
redaksional memakai kata beliau, yang mulia, bapak, ibu, kakak dan
sejenisnya. Tapi hanya menyebut jabatan dan nama langsung. Terkecuali
tulisan berbentuk opini dan petikan bicara langsung dari narasumber. Kesetaraan
posisi antara Pers, media/jurnalis dengan narasumber/publik inilah yg
membuat ke-2 belah pihak TIDAK BOLEH SALING MENGATUR APALAGI MAIN PAKSA
dan MARAH-MARAH UNTUK MEWUJUDKAN KEPENTINGAN MASING-MASING.
Sekarang mari kita ganti posisi dan peran dalam perspektif kami sebagai
Insan Pers, media/jurnalis. Ketika di atas tadi saya sebut Prabowo
Subianto dan publik berhak boikot atau boleh tidak melayani INSTITUSI
PERS, MEDIA DAN JURNALIS, maka defenisi SETARA/SEDERAJAT itu kira-kira
begini maksudnya: Pers berhak bertanya, publik juga berhak
memberi respon jawaban versi fikirannya. Jurnalis atau wartawan berhak
konfirmasi, narasumber/publik berhak pula menolak/boikot/tidak menjawab.
Terakhir, media/jurnalis MERDEKA MEMUTUSKAN MELIPUT ATAU TIDAK MELIPUT,
NAMUN PUBLIK TIDAK MERDEKA UNTUK MEMAKSA PERS DATANG MELIPUT. Sederhana, independen, setara, fair dan universal sekali toh ?
Tapi sayang, Prabowo Subianto terlanjur marah-marah dan berkelakuan
kurang bijak kepada media/jurnalis/institusi Pers. DIA TAK SADAR BAHWA
DIRINYA TAK PUNYA HAK. DIA EGOIS DAN CUMA SADAR PADA PEMAHAMAN DANGKAL
YANG DIMILIKI SEHINGGA MENGANGGAP PERS BERADA DI BAWAH KETIAKNYA. Saya kembali MENGGARISBAWAHI,
salah besar bila Prabowo Subianto berfikir bahwa media/wartawan harus
atau berkewajiban meliput semua peristiwa. Sekali lagi saya tegaskan
TIDAK..!!! Baik peristiwa itu kecil, sedang dan besar sekalipun.
Jurnalis/media massa tidak wajib meliputnya. Apalagi klaim 11 juta
peserta reuni 212 tanpa hitungan resmi 1 lembaga pun. Ayo kita
tanya, kok Prabowo memaksa jumlah 11 juta yang diklaimnya ? Apa metode
ilmiah Prabowo menghitung jumlah massa di Monas itu ya ? (Memahami
dunia sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana seharusnya, adalah awal
dari kebijaksanaan – Bertrand Russell, filsuf Inggris).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kini publik sudah tahu bahwa Pers, media/jurnalis BERHAK MEMUTUSKAN UNTUK MELIPUT/MENULIS/MEMPUBLIS suatu peristiwa/berita sepanjang tidak dilarang atau memang diperbolehkan. Pada sisi lain, insan Pers, Media/Jurnalis juga MERDEKA MEMUTUSKAN TIDAK TURUN MELAKUKAN LIPUTAN/TIDAK MEMPUBLIS PERISTIWA APAPUN DILANDASI PERTIMBANGAN SUBJEKTIF MASING-MASING MEDIA/JURNALIS. AKU MENGGARISBAWAHI, inilah BENTUK IDEAL KEBEBASAN PERS UNIVERSAL, SAKRAL, OTONOM DAN KESETARAAN. Bahasa pasarannya, bila seorang jurnalis diizinkan meliput, dia akan meliput. Bila tidak diizinkan, dia akan pergi. Kalau suatu liputan bersifat terbuka tanpa larangan, jurnalis juga bebas memutuskan apakah mengambil liputan atau tidak. DAN KETIKA SATU PRODUK JURNALISTIK MENGANDUNG DELIK HUKUM, maka Pers, media dan jurnalis selalu siap setiap saat mempertanggungjawabkan hak-hak publik yang diatur UU No 40 tahun 1999 bahkan menjalani proses hukum. Itulah sebabnya, semenjak dini, semua Jurnalis dan media BEBAS MEMUTUSKAN SESUAI PANGGILAN NURANINYA. Contoh lain dapat kita ambil saat seorang jurnalis berada di zona liputan perang atau area konflik sensitif. Dalam kondisi perang, maka situasi gencatan senjata WAJIB disikapi seorang jurnalis dengan ANALISA CERDAS. Kendati BEBAS MEMILIH, namun seorang jurnalis harus tegas MEMILAH mana news angle bersifat “PEACE JOURNALISM dan mana yang PROVOCATIVE JOURNALISM”. Produk jurnalistik yang akan “dimasaknya” patut BERORIENTASI pada kepentingan/dampak yang lebih luas kedepan. Andaikan jurnalis/wartawan tersebut bijaksana, maka dia akan menolak menghimpun berita peristiwa provokatif atau membuang informasi memanas-manasi walaupun merupakan FAKTA LIPUTAN PERANG. Menurut aku, TIDAK SEMUA YANG BENAR HARUS DIUNGKAP kalau akhirnya kelak menambah masalah baru. (Kebahagiaan dan kebebasan dimulai dengan sebuah pemahaman yang jelas atas satu prinsip. Yaitu mana yang ada dalam kontrolmu dan mana yang bukan – Epictetus, filsuf Yunani kuno). LOGIKA BERFIKIR SAYA BERIKUTNYA ingin menggarisbawahi, tatkala muncul sikap tidak bijaksana seorang Jurnalis dalam liputan perang, otomatis dirinya telah ikut MEMICU PERANG BERKEPANJANGAN. Termasuk persoalan pertikaian Suku, Agama dan Ras (SARA). Konflik semacam ini rentan konten sensitif. Sangat wajar bila PERS/MEDIA ATAU JURNALIS AKAN PUNYA PERTIMBANGAN SUBJEKTIF DAN BEBAS TIDAK MEMBERITAKAN DEMI MENJAGA KONDUSIFITAS ATAU MEMILIH SIKAP MENJAGA SITUASI UNIVERSAL SEMISAL KEMANUSIAAN. Dan kalau pun harus ditulis, bila wartawannya itu adalah saya, niscaya aku tetap menjadi Jurnalis yang bersikap tegas menulis dengan style “PEACE JOURNALISM” ATAU JURNALISTIK DAMAI. Ketika kufikirkan beritanya berpotensi memunculkan mudarat besar ketimbang manfaat, otomatis aku bersikap tidak menulisnya walau merupakan FAKTA. (Setiap orang merasa bersalah atas semua kebaikan yang tidak ia lakukan – Voltaire, filsuf Prancis). AKHIRNYA, itulah KESIMPULAN saya soal KEBEBASAN PERS YANG HAKIKI, OTONOM, INDEPENDEN, SETARA, SAKRAL DAN UNIVERSAL. Sampai disini semoga publik khususnya YANG MULIA CAPRES PRABOWO SUBIANTO bisa semakin cerdas dan paham posisi masing-masing. Jangan lagi lebay dan ngawur bicara sehingga menghancurkan kemerdekaan Pers. Hentikan menghina Pers, jangan merasa berhak terhadap institusi Pers karena kepentingan tertentu serta buanglah perilaku sok syantik dengan menyatakan JURNALIS/MEDIA BANYAK BOHONGNYA DAN ANTEK PENGHANCUR NKRI. Saya adalah contoh hidup jurnalis yang praktis berprofesi kurun 27 tahun silam sampai sekarang. I love my job as a journalist and i love my country (aku mencintai pekerjaanku sebagai jurnalis dan aku mencintai negaraku Indonesia). Aku tidak pernah menulis kebohongan apalagi antek-antek kelompok tertentu menghancurkan NKRI. Saya pastikan tuduhan Prabowo Subianto itu ngawur serta mengandung delik hukum. Aku justru khawatir, jangan-jangan “Anda”sendiri yang banyak bohongnya seperti selama ini dan “Anda” pula antek asing penghancur NKRI itu ? Saatnya Prabowo Subianto gentle meminta maaf kepada institusi Pers/Jurnalis dan publik sebelum ada yang menggugat. (****)