Pangkostrad Letjen TNI A.Y. Nasution dan Istri Hj Hanum Siregar, Ingatkan Warga Sumut Kokohkan Kemajemukan Rakyat

Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Azmyn Yusri (A.Y.) Nasution bersama istri. (Foto: www.MartabeSumut.com)
Bagikan Berita :

Setelah resmi menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Azmyn Yusri (A.Y.) Nasution langsung melakukan kunjungan dinas ke daerah Sumatera Utara (Sumut), Sabtu (24/9). Baginya, silaturrahmi dengan berbagai elemen masyarakat merupakan momentum strategis dalam upaya berkesinambungan mengokohkan kemajemukan rakyat. Jadi sangat masuk akal, kemauan saling mengenal, menghormati, memahami, menghargai dan mengakui perbedaan, akhirnya disimpulkan Pangkostrad sebagai kunci utama perekat ketahanan Nasional.

Pada hari Sabtu 24 September 2011 pukul 20.00 WIB, rencana menemui Pangkostrad Letjen TNI A.Y. Nasution dijadwalkan di Hotel Swiss Bell Medan. Namun maksud wawancara khusus mengalami penundaan disebabkan aktivitas A.Y. Nasution yang padat dan membutuhkan istirahat. Ajudan Pangkostrad, Letda Inf Maulana, yang sempat dihubungi melalui ponsel, membenarkan kondisi A.Y. Nasution usai melakukan halal bihalal dengan beberapa komponen masyarakat. “Maaf Pak, mungkin malam ini belum bisa karena Panglima butuh istirahat,” kata Ajudan kepada Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede, yang malam itu sudah berada di Hotel Swiss Bell.

Pantas diketahui, jauh hari sebelumnya, usulan menemui Pangkostrad juga telah disampaikan langsung kepada adik kandungnya Nurwin Nasution. Sehingga penjelasan ajudan Pangkostrad, yang memunculkan perasaan ‘gigit jari’, segera bisa dimaklumi mengingat posisi penting A.Y. Nasution yang sengaja bertandang ke Sumut dalam rangkaian tugas. Keesokan hari, Minggu (25/9), upaya kembali dilakukan. Kendati masih berujung ‘ketidakpastian’, toh darah dan semangat jurnalis tidak kunjung memudar. Tapi malah membara untuk  dapat bertatap muka dengan jenderal bintang 3 asal Sumut itu. Hingga akhirnya, penjajakan yang dilakukan hampir 2 minggu membuahkan hasil. Pada Senin (26/9) pukul 08.47 WIB, Pangkostrad Letjen TNI A.Y. Nasution berkenan meluangkan waktu manakala dikunjungi ke rumahnya Jalan Guru Sinomba IV Helvetia Medan. “Silahkan masuk pak, sebentar lagi Bapak datang,” sambut ajudan Letda Inf Maulana.  

Selang beberapa menit menunggu di ruang tamu, A.Y. Nasution pun keluar. Dengan paduan celana hitam dan kemeja lengan pendek warna merah, A.Y. Nasution sumringah melangkah pelan. Ada aura ketegasan diri berbalut kematangan hati. Bukan apa-apa, sekilas memandang, ekspresi awal mantan Asisten Teritorial TNI AD yang dikukuhkan menjadi Pangkostrad melalui Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/584/VII/2011 tertanggal 25 Juli 2011, itu langsung familiar melayani. “Profil apa kira-kira yang mau ditulis, gimana kabar,” sapa A.Y. Nasution ramah kepada Budiman Pardede, mengawali percakapan. Saat berikut A.Y. Nasution sudah terlihat ‘sibuk’ menyimak penjelasan materi tulisan dari lawan bicaranya. Namun beberapa detik kemudian dia sudah menebar senyum manakala disodori rencana pengambilan foto berbagai pose. Ketika diamati lebih dekat, sosok A.Y. Nasution yang energik, kekeluargaan dan terbuka kian bertaburan ke permukaan. Bisa ditebak, pasti pola itu pula yang dijadikan A.Y. Nasution sebagai landasan kesuksesan meniti tugas maupun ragam bentuk kehidupan. “Waduh, banyak sekali foto saya yang diambil,” cetus pria kelahiran Medan 26 Maret 1954 ini sambil tersenyum.

Sejak Dini Suka Tentara

Mencermati sekelumit cerita A.Y. Nasution, terungkap fakta kalau dirinya memang telah menyukai latar belakang kehidupan tentara semenjak dini. Sehingga tidak megherankan bila keberadaannya sekarang sebagai tentara semakin klop bahkan termasuk salah seorang ‘juru kunci’ di jajaran petinggi TNI. Artinya, kecintaan A.Y. Nasution terhadap tentara telah menorehkan hasil pada pencapaian puncak di lingkungan TNI AD. Sesuatu yang bisa dipastikan bukan diraih seperti membalikkan telapak tangan, melainkan melewati beragam suka duka. Bagi kalangan TNI, pemerintahan, insan Pers, warga Sumut hingga rakyat Indonesia dari Sabang-Merauke, figur A.Y. Nasution juga bukan asing lagi di telinga. Wajar, mengingat perjalanan dinas sekira 35 tahun mewajibkan dia pernah berada di wilayah operasi rawan semisal Aceh, Poso dan Timor Timor (Timtim). Sekali lagi, A.Y. Nasution sekarang adalah ‘maskot’ TNI yang eksistensinya dipertaruhkan berdasar kemampuan tugas mempertahankan stabilitas pertahanan keamanan negara khususnya daratan.

Buah kasih Kolonel Inf H Muhammad Nurdin Nasution (alm) dan Asmaisyah Lubis (almarhumah) itu memang pantas diacungi jempol. Setidaknya, selain tetap supel berhubungan dengan jajaran prajurit, A.Y. Nasution juga tegas menghargai serta memahami orang lain dalam keragaman lapisan. “Semua manusia sama di mata Tuhan. Pemahaman, penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain akan membuahkan sikap pengertian dalam bersikap,” yakin anak ke-3 dari 7 bersaudara. Menurut suami Hj Hanum Siregar ini, jabatan dan kepangkatan hanya bersifat sementara sedangkan urusan terhadap sesama manusia dan Tuhannya tidak pernah berakhir selama ajal masih dikandung badan. “Pemahaman kita pada orang lain sangat penting. Hanya bisa didapati bila mau membuka diri, berhubungan baik dan berkomunikasi kepada semua lapisan,” aku Bapak dari Aulia Rosa Nasution, SH, M Hum dan Almira Rosa Nasution, SE, sembari membeberkan rasa bangga karena ke-2 putrinya telah mengakhiri masa lajang serta menikah dengan prajurit TNI yang keduanya berpangkat Kapten.

Masa Kecil & Pendidikan

Ditempa dari keluarga dengan disiplin militer, A.Y. Nasution menghabiskan masa kecil dan pendidikan formal di beberapa kota. Sang bapak yang tentara dan pernah dipercaya sebagai Bupati Tapsel menerapkan pola didikan tegas nan keras. Pendidikan tingkat sekolah taman kanak-kanak (STK) dilalui A.Y. Nasution di Glugur Medan tahun 1959. Lalu pada tahun 1960 pindah ke Tapsel untuk melanjut jenjang Sekolah Rakyat (SR) Nomor 12 di Padang Sidimpuan. Dari sana A.Y. Nasution berhasil menamatkan studi tahun 1966. Kemudian dia meneruskan pendidikan SMP di Padang Sidimpuan namun hanya sampai Kelas I. A.Y. Nasution dipindahkan orangtua ke SMP 12 Medan hingga tamat tahun 1970. Usai menamatkan bangku SMP, A.Y. Nasution mendaftar di SMA 2 Medan tapi merasakan studi cuma sampai pertengahan Kelas II. Atas permintaan orang tua, kata A.Y. Nasution, jenjang Kelas II harus dilanjutkan di SMA 1 Padang Sidimpuan. Hasilnya? Tetap tidak rampung juga. Orangtua A.Y. Nasution kembali ‘memaksa’ dia belajar (kelas 3) ke SMA – I Dago di Bandung. A.Y. Nasution pun benar-benar merasakan didikan kemandirian tatkala jauh dari orang tua. “Saya tamat SMA di Bandung tahun 1973. Alasan orangtua menyekolahkan saya di Tapsel agar bisa dekat dan belum dapat dilepas. Selanjutnya saya dibikin mandiri, kost di Bandung dengan uang terbatas. Sekolah saya jauh sedangkan kiriman pas-pasan. Intinya, orang tua menginginkan saya sadar kalau sekolah itu susah,” kenang A.Y. Nasution dengan mata berkaca-kaca.

Memutuskan Masuk Akabri

Menyinggung cikal bakal menjadi prajurit TNI, A.Y. Nasution mantap membeberkan semata-mata atas keinginan sendiri. Dinamika kehidupan tentara yang dipandang menarik telah membuatnya jatuh hati. Diam-diam, sebelum tamat SMA, A.Y. Nasution memutuskan ikut seleksi penerimaan prajurit Akabri militer dan Akabri kepolisan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan kuat A.Y. Nasution tersebut memang tergolong ‘wah’. Pasalnya, selain hanya bermodal restu abangnya nomor 2 Aswin Nurdin Nasution, dia juga nekad mendaftar pada dua akademi tersebut dan berhasil lolos seleksi. “Saya lulus Akabri militer dan Akabri kepolisian. Seleksi Akabri kepolisian saya ranking 2 dan dinyatakan siap berangkat menjalani pendidikan. Sedangkan seleksi Akabri militer AD saya baru setengah mengikuti ujian tapi belum ada keputusan lulus. Hati saya memutuskan memilih AD dibanding polisi. Dulu bisa ikut dua-duanya karena jadwal tes yang dilakukan tidak bersamaan,” singkap A.Y. Nasution bangga.

Menurut A.Y. Nasution, sedari belia dirinya memang sudah terlanjur senang melihat kehidupan tentara. Aktivitas prajurit TNI yang dibayangkan hanya sebatas menembak, berkelahi dan bergerak bebas, diyakininya cocok dengan kepribadian yang enggan berfikir berat. Kala itu, ujar A.Y. Nasution, cita-cita menjadi jenderal terpatri kuat seiring dengan perjalanan waktu. Dia sendiri malah kaget setelah masuk pendidikan Akabri AD. Pelajaran yang dihindari berfikir berat seperti Kimia, Aljabar, Matematika bahkan ilmu eksakta lain, justru muncul dalam beberapa pelajaran.

Pria berpostur 166 Cm dengan berat 79 Kg ini menceritakan, begitu resmi mengikuti pendidikan Akabri militer AD, ibunya yang mengetahui kenyataan tersebut langsung menangis. Alasannya dikatakan A.Y. Nasution karena sang ibu merasakan betapa susah dan berat menjadi prajurit TNI. Apalagi, sejak awal A.Y Nasution memang telah direncanakan keluarga untuk kuliah di perguruan tinggi Al Azhar. ”Ibu tidak pernah bercerita soal kuliah di perguruan tinggi Al Azhar sedangkan saya tidak memberitahu mereka akan masuk tentara. Kondisi saya baru diketahui setelah menetap di asrama dan mereka tak bisa berbuat apa-apa selain terharu,” tutur pria bergolongan darah B pengguna parfum Gaultfer itu pelan.

Angkatan 1977 & Karir Militer

Setelah dinyatakan lulus Akabri AD tahun 1974, A.Y. Nasution mengikuti masa pendidikan militer selama 4 tahun. Cita-cita kuat menjadi jenderal menghantarkan pecinta warna hitam, biru, coklat dan jenis gelap-gelap ini lulus sebagai alumnus angkatan 1977 dengan pangkat Letnan Dua (Letda). Karir militer dan penugasan pertama dijalani A.Y. Nasution di Batalyon 521 Jatim Kota Kediri tahun 1978. Selanjutnya A.Y. Nasution mengikuti Kursus Dasar Kecabangan Infanteri selama 6 bulan. Berbekal pelatihan tersebut dia pun mendapat kepercayaan sebagai Komandan Pleton (Danton). Namun beberapa bulan menjabat Danton di Batalyon 521 Jatim Kota Kediri, A.Y. Nasution sudah mendapat tugas baru ke daerah operasi Timtim. Selama 1 tahun A.Y. Nasution diharuskan mengamankan keadaan wilayah yang tergolong rawan dengan pasukan berjumlah 30 orang. Berkat keuletan dan kegigihan menjalani misi, penugasan di Timtim berakhir dan A.Y. Nasution kembali ke Batalyon 521 Jatim tahun 1980 dengan promosi baru sebagai Komandan Kompi (Danki).

Disela-sela rutinitas tugas sebagai Danki, tahun 1981 A.Y. Nasution ‘mencuri’ waktu pulang ke Medan. Ternyata dia memutuskan mengakhiri masa kesendirian. A.Y. Nasution mempersunting belahan jiwanya Hanum Siregar yang sudah dikenal sedari kecil sebagai tetangga. Kemudian pada tahun 1982 A.Y. Nasution memboyong sang istri ke Pulau Madura dengan jabatan Danki di Batalyon Inf 516 Surabaya. “Salah satu kompinya ada di pulau Madura, terpisah dari induk batalyon,” terang pemakai celana nomor 35 dan sepatu nomor 40 ini. Setahun di Pulau Madura, lanjut A.Y. Nasution, dirinya pindah lagi ke Batalyon Inf 516 Surabaya dengan jabatan Kepala Seksi (Kasi) Intelijen. Lalu mendapat mutasi ke Bandung sebagai pelatih Infanteri Pusat Kesenjataan sejak 1983-1987.

Cinta Tentara

A.Y. Nasution memang tergolong sosok yang benar-benar haus ilmu dan cinta tentara. Hasrat meraih jenderal membuat dia tidak sudi berhenti belajar apalagi berdiam diri. Lihat saja, syarat kenaikan pangkat prajurit TNI menuntun hati A.Y. Nasution mengikuti Sekolah Lanjutan Perwira (Suslapa). Hasilnya? Bukan isapan jempol belaka. A.Y. Nasution resmi menyandang pangkat Mayor pada tahun 1984. Mengawali pangkat itu, A.Y. Nasution mendapat tugas ke Pulau Sumbawa sebagai Kepala Staf Distrik Militer (Kasdim) Kodim 1607 di lingkungan Kodam IX Udayana (dulu Kodam XVI Udayana-Red) hingga tahun 1985. Empat tahun menjabat Kasdim, selanjutnya A.Y. Nasution diserahi posisi Wakil Komandan Batalyon 741 Singaraja di Bali sampai tahun 1989. Masih di kota yang sama, tahun 1990 A.Y. Nasution pindah ke Kodim 1609 Singaraja Bali, untuk selanjutnya dipercaya lagi memegang posisi Kasdim di Kodim tersebut pada tahun 1991.

Orang bijak mengatakan; ‘intan akan tetap jadi intan walau di dalam lumpur sekalipun’. Kalimat ini sepertinya tepat disandingkan untuk A.Y. Nasution bila mencermati semangat belajar, sinar karir dan dedikasi pengabdian tinggi saat ditugaskan kemana saja. Bukan apa-apa, tahun 1991 A.Y. Nasution kembali mencoba peruntungan karir tentara dengan mengikuti tes Asisten Atase Pertahanan (Athan) militer di luar negeri. Lagi-lagi dia berhasil lulus dan mendapat arahan dinas ke Jepang sedari tahun 1991-1994. Hampir 3 tahun lamanya penggemar olahraga joging itu memboyong keluarga ke Jepang mengingat kapasitas sebagai intelijen terbuka. Di akhir tahun 1994, A.Y. Nasution menimba ilmu lagi melalui Sekolah Staf Komando AD (Seskoad). Selesai studi dari Seskoad, dia pun diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri 515 Jatim di Kota Jember. Karir militer A.Y. Nasution benar-benar bersinar. Tahun 1996 dia dipercaya sebagai Kepala Staf Brigade Infanteri (Brigif) – 9,  untuk 1 tahun kemudian menjabat Asisten Operasi Divisi -2 Kostrad di Malang. A.Y. Nasution tetap saja belum mau berhenti menambah pengetahuan. Pada tahun 1998 dia mengikuti Sesko ABRI dan setelah itu pindah ke Medan sebagai Asisten Operasi Kodam I BB hingga tahun 2000. Dua tahun bertugas di Medan, A.Y. Nasution yang sudah berpangkat Kolonel akhirnya ditarik ke Jakarta dengan jabatan Asisten Operasi Kostrad.

Cita-cita Jenderal Terwujud

Tidak terlalu lama bertugas di Jakarta, ‘penggila’ makanan keripik singkong ini pindah ke Aceh pada tahun 2003. Kurun waktu 3 tahun di Aceh, A.Y. Nasution dipercaya memegang jabatan strategis sebagai Komandan Resort Militer (Danrem) 011 Lilawangsa. Menariknya, aku A.Y. Nasution, dirinyalah yang menjadi Danrem terlama bertugas di sana. Dari Aceh pula cita-cita A.Y. Nasution meraih jenderal terwujud karena dianggap mampu berkomunikasi bersama rakyat di daerah-daerah seperti itu. Sukses bertugas di Aceh, A.Y. Nasution kembali ditarik ke Divisi Infanteri I Kostrad di Jakarta dan mendapat promosi kenaikan pangkat Brigadir Jenderal (bintang 1) dengan jabatan Kepala Staf dari tahun 2005 s.d medio 2006.

Tahun 2006 juga A.Y. Nasution mendapat tugas ke Poso Sulawesi Tenggara sebagai Wakil Panglima Operasi. Di daerah operasi ini A.Y. Nasution bekerjasama dengan polisi selama 6 bulan untuk memulihkan keamanan di daerah tersebut. Usai bertugas dari Poso, A.Y. Nasution dipercaya menjabat Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad di Malang tahun 2007. sekaligus mendapat kenaikan pangkat Mayor Jenderal (bintang 2), sembilan bulan sebagai Panglima Divisi 2 selanjutnya menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Cenderawasih di Papua kurun waktu 1,5 tahun. Tahun 2009-2010 A.Y. Nasution kembali diangkat menjadi Komandan Pusat Teritorial AD. Nah, sejak bulan Desember 2010-Juli 2011, A.Y. Nasution dipercaya memegang jabatan Asisten Teritorial TNI AD selama 7 bulan. Beberapa lama kemudian pundaknya disematkan lagi pangkat bintang 3 alias Letnan Jenderal tatkala ditetapkan sebagai Pangkostrad sejak 25 Juli 2011 sampai sekarang.

Prestasi Membanggakan

Apa prestasi militer paling membanggakan Anda ? Kakek 3 cucu ini justru tersenyum di kulum. Seraya memperbaiki cara duduk, A.Y. Nasution menegaskan kalau kebanggaan setiap prajurit TNI terlihat dari bintang-bintang jasa yang terpajang di seragam dinas. Bagi A.Y. Nasution, bintang jasa merupakan bentuk apresiasi tugas berdasarkan pengalaman khusus di daerah operasi. “Saya 3 kali terjun di daerah operasi Timor-Timur. Tugas seperti itulah yang dikejar semua tentara. Saat Timtim bergejolak, saya mengemban tanggungjawab selama 3 tahun dan cukup banyak korban kita di sana. Tapi Alhamdulillah saya selamat. Prestasi tentara dibuktikan dari pengalaman di daerah operasi sehingga berhak atas bintang jasa. Apalagi prajurit yang terjun dari pesawat ke wilayah operasi. niscaya langsung dikasi bintang tanda merah padat adujannya, Alhamdulillah semua telah berlalu Tuhan Yang Maha Kuasa masih melindungi,” aku A.Y. Nasution bangga.

Bisa dicontohkan penugasan lain yang lebih terkesan ? A.Y. Nasution terlihat tak berhasil membendung kerut di kening. Mencoba mengingat beberapa penugasan penting yang pernah dijalani. Menurutnya, pengalaman di Aceh selama 3 tahun tergolong memiliki bekas tersendiri karena tidak terlalu banyak menggunakan kekerasan. Fakta empiris tersebut dianggapnya sangat istimewa tatkala menang bertempur tanpa memakai senjata secara maksimal melainkan memperebutkan hati rakyat. “Unik tugas di Aceh. Saya tidak meletuskan senjata tapi hanya menangkap hati dan fikiran mereka. Setelah itu saya mendapat promosi bintang 1. Saya ini adalah tentara paling senior di TNI sekarang,dilihat dari angkatan (1977) ” singkapnya.

Obsesi & Waktu untuk Keluarga

Lalu, bagaimana membagi waktu dengan keluarga selama jadi tentara dan apa obsesi kedepan ? Percakapan malah terhenti sejenak. Hj Hanum Siregar, mantan kekasih A.Y. Nasution, tiba-tiba datang dan duduk bergabung di ruang tamu. Sambil tersenyum Hanum mengatakan kalau peran keluarga besar sekali dalam perjalanan karir militer A.Y. Nasution. “Semangat bertugas bapak datang dan ada pada keluarga. Dorongan kami besar artinya. Saya dan anak-anak selalu mendampingi kecuali bapak tugas ke daerah operasi atau sedang tempur,” sebut Hanum. A.Y. Nasution tersenyum kecil mendengar istrinya ‘nimbrung’ bicara. “Tapi selama dinas saya memang tidak bisa diganggu. Kecuali saat libur, barulah saya membagi waktu semaksimal mungkin berkumpul dengan keluarga,” timpal A.Y. Nasution, yang disambut senyum anggukan Hanum. Setelah menjabat PangKostrad A.Y. Nasution juga menyampaikan kondisinya sama seperti dulu dan tidak ada yang berubah. Menjawab obsesi kedepan, A.Y. Nasution menyatakan tidak ada yang berlebihan selain mensyukuri rahmat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah diterima. “Kesimpulannya, cita-cita menjadi jenderal sudah tercapai dan kehidupan selanjutnya saya serahkan kepada Allah Swt,” tutup A.Y. Nasution, di akhir percakapan berdurasi 48 Menit. (Budiman Pardede/Foto: MartabeSumut/IKLAN PROFILE PARIWARA)

Berikut Wawancara Budiman Pardede Bersama Letjen TNI A.Y. Nasution dalam topik berbeda, Senin (26/9/2011).

Pangkostrad Letjen TNI A.Y. Nasution: Prajurit yang Baik itu Dekat dengan Tuhannya !

Bercita-cita menjadi jenderal merupakan tekad Letjen TNI A.Y. Nasution yang terpatri semenjak dini. Hampir 35 tahun mengabdi sebagai prajurit, kini putra asal Sumut itu dipercaya memegang posisi puncak di Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Apa resep sukses yang dipakai selama bertugas hingga bisa meraih jabatan Pangkostrad ? Bagaimana pula pandangannya soal stabilitas ketahanan Nasional dan kondisi kekinian Sumut ? Berikut wawancara khusus Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede (BP) dengan Pangkostrad Letjen TNI A.Y. Nasution (Panglima/P), Senin (26/9/2011) pukul 08.45 WIB di kediaman Jalan Guru Sinomba IV Helvetia Timur Medan, usai kunjungan silaturrahmi Panglima ke berbagai elemen masyarakat Sumut. Petikannya :

Letjen TNI A.Y. Nasution bersama Jurnalis Budiman Pardede, usai wawancara khusus di kediaman Jalan Guru Sinomba IV Medan, Senin (26/9/2011).(Foto: MS/MartabeSumut).

BP: Panglima disebut-sebut salah satu jenderal religius di TNI ?

P : Hahahahahahaha….biasa aja. Saya sangat percaya prajurit yang baik itu adalah yang dekat dengan Tuhannya. Kalau dia dekat dan takut kepada Tuhannya, maka dia akan mengikuti aturan-aturan yang diberikan Tuhannya. Sehingga dalam bertugas disiplin, memenuhi ketentuan serta takut berbuat kesalahan. Prajurit itu manusia juga kok, tidak jauh berbeda. Perintah-perintah Panglima TNI dan Kasad selalu mengingatkan perlunya seorang prajurit untuk terus meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan YME.

BP : Sering sekali jabatan maupun status ekonomi membuat seseorang lupa diri. Enggan berbaur dan alergi dengan bawahan sendiri atau masyarakat kecil, pendapat Panglima ? 

P : Saya tidak mengenal itu. Saya tidak risih berhubungan dengan siapapun apalagi kepada jajaran anggota dan rakyat kecil. Semua manusia sama di mata Tuhan. Kalau di kedinasan saya sering bergabung shalat berjamaah dengan jajaran prajurit TNI dan mengarahkan mereka melalui komunikasi-komunikasi kecil. Kalau di rumah saya membina keluarga. Sebab posisi saya sekarang ini bisa sebagai komandan, orangtua, pembina, bapak bahkan guru. Posisi tersebut justru membuat saya berperan kompleks melalui fungsi yang harus berjalan seiring. Bukan berarti saya komandan lalu saya menyamaratakan semua orang dan kondisi. Di TNI saya cenderung berupaya meletakkan diri sebagai bapak, teman dan saudara-saudara bagi prajurit.

BP : Saat bersama prajurit TNI AD apa yang Panglima lakukan?

P : Begini ya, dengan berkomunikasi kita akan mengenal fikiran orang lain bahkan memahami jalan hidup mereka. Nah, saat bersama prajurit tentu saja saya menghubungkan keimanan dan ketaqwaan menjalankan agama masing-masing. Hal itu saya anggap prioritas demi kebaikan tugas-tugas hingga mengetahui sejauh mana mereka berhubungan dengan Tuhannya.

BP : Saya dengar Panglima Menghafal Alquran ?

P : Hahahahahahhaha….sebenarnya itu cita-cita keimanan diri. Saya selalu berusaha maksimal mencari waktu tepat. (Tanpa diduga-duga, Hanum Siregar, istri Pangkostrad A.Y. Nasution, nimbrung bicara). “Janganlah, jangan, biar itu urusan bapak sama Tuhan saja,” cetus Hanum tersenyum kecil.

BP : Apa resep jitu Panglima mempertahankan stabilitas keamanan Nasional saat bertugas di daerah operasi semisal Aceh, Poso dan Timtim ?

P : Tidak ada yang aneh-aneh. Seperti saya tegaskan di awal, dekat dengan rakyat dan   hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hubungan itu membuat saya tidak pernah takut terhadap apapun. Karena saya yakin Tuhan yang mengendalikan langkah hidup ini. Selama saya memohon terus pada Tuhan, gak bakal ada yang perlu saya khawatirkan. Ibarat catur, Dia pula yang menggerakkan. Kita minta melalui doa dan berdoa terus sepanjang masa. Sebab, satu kali saja salah bicara/perintah fatal bagi prajurit. Makanya saya selalu minta bimbingan Tuhan supaya diberi kebijakan dalam mengambil keputusan-keputusan.

BP : Bagaimana era kepemimpinan TNI sekarang dan apa urgensinya dengan prajurit ?

P : Saat ini jelas berbeda. Namun satu hal yang harus dijaga prajurit khususnya TNI AD adalah semangat mengikuti semua aturan yang benar saat bertugas, misalnya tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kadang-kadang posisi tentara itu dilematis. Pegang senjata tapi kondisi di lapangan susah. Dia harus menjaga HAM sedangkan lawan tidak dituntut mematuhi HAM. Contohnya seperti berhadapan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu maupun gerakan pemberontak yang masih ada di Papua sekarang. Logikanya, prajurit TNI masa kini diwajibkan berperang dengan aturan sementara lawan tidak. Tentara harus bertugas dengan cara-cara benar sesuai aturan internasional.

BP : Ada prinsip-prinsip yang dipakai Panglima hingga sukses meraih bintang 3 ?

P : Laksanakan aturan yang ada, patuhi atasan. Itulah prinsip utama saya. Tentara sudah jelas hirarki komandonya. Pada sisi lain, saya memang sudah bercita-cita sejak lama dan berangan-angan menjadi orang tertinggi di Kostrad. Untuk mencapai itu saya selalu memakai prinsip minta petunjuk Tuhan. Itu saja, lagian saya bukan tipikal yang suka bergantung pada orang lain. Beking saya cuma Allah Swt. Karena saya bertugas bukan untuk dilihat oang lain atau pimpinan, gak penting itu. Saya bertugas sesuai aturan dan ketentuan saja. Penilaian setelah itu saya serahkan pada Tuhan dan pimpinan. Terserah mau dinilai bagaimana.

BP : Berapa lama sisa dinas Panglima ?

P :  Kurang dari 1 tahun

BP : Program Panglima menjelang pensiun ?

P : Saya konsentrasi dulu membenahi tugas-tugas di Kostrad dan maksimal memberi warna baik. Saya belum berfikir kemana-mana. Saya mau meninggalkan Kostrad dengan kondisi yang betul-betul baik.

BP : Kalau pensiun ? 

P : Yang sudah jelas itu adalah menjadi sopir cucu-cucu saya. Karena kalu saya Panglima mareka itu Pang tujuh ha . . . . . ha . . . . Ada kemungkinan di Medan, Jakarta atau Bandung. Saya mau dekat dengan mereka.

BP : Rencana lain ?

P : Bila ada rejeki, saya ingin sekali mengabdikan diri dengan mendirikan sekolah, lembaga sosial keagamaan atau yayasan sosial yang bertujuan membentuk manusia Indonesia lebih baik lagi. Saya punya pengalaman membimbing manusia mulai dari 30 orang saat komandan peleton sampai 30 ribu orang prajurit. Itu saya lalui berjenjang mulai dari 30, 100, 600, 3.000, 10.000 dan naik terus jumlahnya hingga 30.000. Sejak 35 tahun lalu begitulah kehidupan saya di militer. Rencana lain bila pensiun dan Tuhan mengizinkan, saya dan istri ingin membuat pesantren. Memang ada keiginan hati kami agar tetap bermanfaat bagi rakyat Indonesia.

BP : Cita-cita di militer tercapai, Panglima masih ingin meraih bintang 4 ?

P : Saya serahkan pada Tuhan apapun yang akan diberikan.

BP: Pesan kepada prajurit TNI AD ?

P : Lakukan yang terbaik dan tetap semangat !!. Itu sekaligus motto saya, Lakukan tugas dengan benar sesuai aturan dan komando atas. Ikuti disiplin dan dekat dengan rakyat. Banyak masalah yang bakal dihadapi nanti tapi kuncinya adalah kebersamaan dengan rakyat, itu kekuatan TNI.

BP : Kepada warga Sumut ?

P : Jadilah warga yang baik, tertib, jangan cepat terpancing emosi walau apapun situasinya. Jaga kebersamaan dengan mengokohkan terus kemajemukan rakyat. Daerah Medan-Sumut kita tergolong multi etnis, tapi sejauh ini bisa terjaga baik. Tetap pertahankan kondusifitas wilayah. Kini Sumut sudah dinilai bagus dan menjadi contoh daerah lain yang harus dijaga bersama.

BP : Panglima punya kiat-kiat khusus ?

P : Sekali lagi, harus saling memahami, menghargai antara satu dan lainnya. Kita perlu belajar memahami orang lain setiap orang punya kekurangan. Kita tidak bisa menuntut terlalu banyak. Pemahaman kita pada orang lain itu sangat penting.

BP : Sebagai seorang putera asli Sumut, bagaimana bila ada yang meminta Panglima menjadi pemimpin daerah ? 

P : Kelihatannya belum tampak. Tapi kepedulian saya besar untuk memperbaiki daerah dan kehidupan masyarakat luas. Keprihatinan saya juga ada untuk memperbaiki pemahaman rakyat. Memang belum sampai ke sana, tapi kalau ada yang minta, kita lihat saja nanti. Masukan orang juga perlu didengar. Kan boleh-boleh saja orang berpendapat atau meminta. Namun saya akan membaca situasi lalu menganalisanya. (MS/Budiman Pardede)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here