Pada Selasa malam 5 Maret 2013 saya kedatangan seorang tamu. Pria ini saya kenal sebagai warga sekitar dimana saya tinggal dan merupakan ‘kaki tangan’ Kepala Lingkungan (Kepling). Tujuannya datang pun sudah bisa saya tebak; memberikan formulir C6 atau undangan memilih dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 7 Maret 2013.
Karena mengaku terburu-buru dengan alasan beberapa undangan belum didistribusikan, orang tersebut langsung bergegas pulang. Namun dia masih sempat melepaskan beberapa kalimat menarik tatkala saya iringi sampai ke pintu gerbang. “Abang milih siapa? Kalo aku Golput ajalah atau mencoblos semua calon di TPS. Sampai sekarang gak ada uang mereka yang jelas aku rasakan,” cetusnya enteng. Sembari menghidupkan sepeda motor yang sudah ditunggangi, sang tamu menahan diri untuk menunggu jawaban. Saya pun tersenyum sambil berkata: “Aku pilih yang menang. Tapi jangan Golput”.
Kendati sejak 1 minggu lalu saya berfikir keras mencari topik tulisan menarik untuk rubrik Garis Bawah terkait ajang besar Pilgubsu 2013, toh angle tulisan baru saya peroleh berkat kehadiran sang tamu yang membagikan undangan. Beberapa penggal kalimat apatis namun bernuansa menuntut berhasil menghadirkan inspirasi. Saya pun terkenang hasil wawancara jurnalistik menyangkut Pilgubsu 7 Maret 2013 beberapa waktu lalu. Intinya adalah 3 kerawanan: Pertama, sebelum kampanye dan saat kampanye dimulai 18 Februari 2013 sampai 3 Maret 2013 aktivitas money politics (politik uang) sangat tinggi di Sumut. Semua tim sukses maupun ke-5 pasangan Calon Gubernur Sumut (Cagubsu) dan Cawagubsu terindikasi kuat melakukan pelanggaran money politics. Kedua, indikasi sikap apatis atau Golput. Masalah ini dipandang serius sehingga perlu diantisipasi karena menyangkut penyadaran hak politik warga untuk memilih/dipilih. Kegiatan penyadaran rakyat dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan khususnya Pilgubsu 2013 disebut-sebut harus terus disosialisasikan. Tingkat Golput yang tinggi dalam satu Pemilu dipastikan sebagai cermin buruk atas rendahnya partisipasi politik warga. Ketiga, kerawanan anarkis/kekerasan. Menjadi tindakan pelanggaran hukum yang dikhawatirkan muncul dari kontestan pemilu, tim sukses maupun masyarakat pendukung. Baik itu saat kampanye, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara akhir hingga pengumuman pemenang.
Jangan Golput
Kembali pada perkataan tamu saya yang mengantar undangan C6 tadi. Pada waktu dia mengatakan akan Golput atau mencoblos semua calon di bilik suara saat Pilgubsu 7 Maret 2013 digelar, saya menangkap 1 masalah prinsip terkait pertanggungjawaban diri sebagai warga negara yang tinggal di Provinsi Sumut. Dan pada saat saya menjawab ‘jangan Golput’, saya sebenarnya ingin mengingatkan dia bahwa masa depan daerah Sumut juga tergantung hak politik yang disalurkan masyarakat. Bagi saya, Golput sama saja tidak menunjukkan sikap jelas seseorang atas situasi terkini daerah dan kondisi 5 tahun kedepan. Perilaku apatis seperti itu memang sah-sah saja dan tidak melanggar hukum. Namun tanpa disadari, secara perlahan tapi pasti telah merusak sendi-sendi kehidupan berdemokrasi. Kenapa saya bilang merusak? Sebab bagi saya juga, keputusan untuk Golput ibarat hidup seorang manusia yang tidak mau tahu dengan keadaan diri sendiri, keluarga, teman dan lingkungan terdekat. Sebab andaikan mahluk bernama manusia itu diilustrasikan lagi benar-benar tidak mau tahu atau tidak peduli saat melihat kondisi orangtuanya yang sedang sakit, misalnya, maka sama saja membuktikan perilaku aneh dan apatis alias Golput memenuhi tanggungjawab pribadi sebagai seorang anak. Orang tersebut saya rasa perlu secepatnya dibawa ke psikiater untuk pemeriksaan kejiwaan. Saya berkeyakinan, ketika Golput masuk 1 kategori kerawanan dalam Pilgubsu 2013 di 33 kab/kota, maka imbauan jangan Golput menjadi sangat masuk akal kepada 10.310.872 orang warga yang tercatat di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Artinya, warga yang sudah terdaftar sebaiknya tidak berencana memutuskan Golput semenjak dini pasca Pilgubsu yang tinggal 2 hari lagi. Anda jangan mau Golput kalau menolak dikatakan manusia aneh, atau tidak ingin dibawa ke Psikiater. Tapi bila Anda tetap saja tidak sepakat, ya paling tidak saya yang setuju dengan pendapat ini.
Jangan Anarkis
Banyak fakta mengungkapkan pesta demokrasi semisal Pilkada pada 33 provinsi di Indonesia menyisakan kerugian materil dan moral yang besar. Hal itu tidak terlepas dari aksi anarkis/kekerasan yang dilakukan kontestan Pemilu, tim sukses, Parpol pendukung hingga masyarakat luas selaku simpatisan. Kekerasan umumnya mulai tampak saat kampanye berlangsung, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara akhir bahkan ketika pengumuman pemenang dilakukan KPU. Untuk Provinsi Sumatera Utara, dari 33 kab/kota yang ada, kasus anarkis dan kekerasan juga terjadi pada sebagian wilayah kab/kota yang melaksanakan Pilkada. Tapi puji Tuhan, syukur Alhamdulillah, sejauh ini proses menyambut Pilgubsu 2013 tidak menampakkan tanda-tanda anarkis. Sebagian tahapan telah berjalan aman, baik, damai dan tinggal menunggu tahapan pemungutan suara serta pengumuman pemenang nantinya. Pun demikian, 2 tahapan yang belum terjadi itu tetap saja wajib diwaspadai. Dalam Garis Bawah ini saya mau mengatakan, ke-5 pasang Cagubsu/Cawagubsu menjadi pihak pertama yang paling bertanggungjawab untuk dipersalahkan bila terjadi kekerasaan dalam 2 tahapan Pilgubsu yang segera dilaksanakan. Kenapa saya bilang paling bertanggungjawab menanggung beban kesalahan? Karena hanya merekalah yang harus memulai sikap sportif terlebih dahulu di hadapan publik Sumut atas ekses apapun yang belum terjadi. Cara lain juga bisa diterapkan. Sebanyak 26.452 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 33 kab/kota jangan diposisikan sebagai arena memicu kerusuhan tapi sebagai mesin demokrasi memproduksi persaingan sehat. Sehingga kontestan tidak lagi memposisikan saksi-saksi, tim sukses atau parpol pendukung sebagai destroyer di TPS-TPS tatkala mengetahui hasil perhitungan kecil nantinya. Jangan anarkis dan jauhkan kekerasan adalah 1 kalimat sederhana untuk diwujudkan 5 kontestan Pilgubsu dalam menghadirkan emosional sportivitas bersama. Di lain pihak, harus disadari pula, pemicu aksi anarkisme, kekerasan dan kerusuhan pasca Pilkada tidaklah terlalu sulit untuk dianalisa. Akar masalahnya juga tidak rumit diidentifikasi karena memang bukan ranah masyarakat pemilih melainkan milik kontestan Pemilu. Bila semua kontestan Pemilu mau sportif mengakui kebesaran/kelebihan orang lain dan jujur menerima kekurangan diri, niscaya hasil apapun dalam Pilkada akan dihadapi dengan kelapangan hati. Kemudian bersikap tegas menolak semua bentuk aksi kekerasan yang kemungkinan besar muncul dari kelompok sendiri atau provokasi pihak ketiga yang sengaja memanas-manasi. Inilah poin dari wujud pertanggungjawaban sejati pertama yang harus dipegang teguh oleh semua kontestan Pilgubsu 2013, untuk selanjutnya wajib dilaporkan kepada warga Sumut maupun Tuhan Yang Maha Esa setelah pelaksanaan Pilgubsu. Apakah nantinya mereka sportif menempuh jalur hukum bila merasa dicurangi, atau ternyata sengaja mencari-cari alasan untuk menciptakan kerusuhan ketika kalah dalam penghitungan suara. Jangan anarkis ! Karena kami akan tahu siapa pemicunya. Jauhkan kekerasan ! Karena kami juga bakal paham bentuk laporan pertanggungjawaban Anda setelah menyadari kemenangan maupun kekalahan.
Jangan Money Politics
Money politics atau politik uang merupakan satu peristiwa yang sebenarnya tidak perlu terlalu ditakutkan lagi dalam pentas Pemilu. Pasalnya, belakangan muncul anomali (efek ganjil berseberangan) dalam fakta empiris kekinian masyarakat. Money politics mulai ditangkal dengan kalimat seperti : ‘ambil uangnya, jangan pilih orangnya’. Realita ini jelas memberi kejutan besar bagi pihak-pihak yang kerap mengandalkan kekuatan money politics pada pentas Pemilu maupun berbagai urusan kepentingan tertentu. Walau terkadang politik uang sulit dibuktikan, toh instrumen masyarakat, aparat, pejabat, konglomerat, birokrat sampai penjahat tetap saja menjadi sasaran empuk setiap saat. Bahasa sederhananya; kasih uang habis perkara (KUHP) atau semua urusan mesti uang tunai (SUMUT). Saya menggarisbawahi lagi, politik uang menjadi sangat rawan dan patut ditakutkan pasca agenda suksesi semisal Pilpres, Pileg dan Pilkada. Karena apapun ceritanya, politik uang akan serta merta membentuk tradisi pembusukan budaya dari lapisan bawah sampai tingkat atas. Baik itu pembusukan budaya yang merusak mental masyarakat luas hingga pembusukan budaya yang memunculkan secara pintas sosok-sosok pemimpin kacangan. Pada sisi lain, pelanggaran pidana politik uang juga harus disepakati sejajar dengan kejahatan luar biasa seperti korupsi dan Narkoba. Oleh sebab itu, dalam konteks Pilgubsu 2013, ranah money politics menjadi urgen untuk diperangi bersama karena bersentuhan langsung dengan mental masyarakat pemilih, persaingan sehat kontestan Pemilu dan kesejahteraan rakyat di masa depan. Kepada masyarakat Sumut saya tegaskan, jangan pernah meniru sikap dan perkataan tamu saya di atas tadi yang berencana Golput dan sengaja mencoblos semua tanda gambar kandidat gara-gara belum diberi uang. Begitu juga anomali “ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya” tak pantas dijadikan pegangan. Seruan ganjil tersebut tetap saja melanggar etika moral walau tidak banyak yang tahu. Dengan mengambil uang berarti kita menerima beban moral dan membiarkan perampasan hak politik terjadi. Keputusan menerima uang calon tertentu akan membuat kita tidak berbeda dengan mereka, kita akan terjebak praktik penyuburan tradisi pembusukan budaya di Republik ini. Kepada masyarakat Sumut saya ingatkan juga, jangan mau memilih pemimpin yang mengandalkan kekuatan uang. Jangan memutuskan menerima uang sogokan memilih karena merasa yakin keindahan visi misi mereka. Sekarang ini visi misi cuma menarik di atas kertas tapi realitanya sering tidak seindah janji dan apa-apa yang dituliskan. Saran saya yang paling masuk akal bila Anda kesulitan atau gamang menetapkan suara hati: berdoalah sesuai keyakinan Anda sebelum berangkat ke TPS. Tanya dan mintalah petunjuk Tuhan agar digerakkan mencoblos calon pemimpin yang dikehendaki Tuhan.
Sedangkan untuk ke-5 kontestan, saya meminta Anda belajar maju dengan cara-cara terhormat. Hentikan tradisi pembusukan budaya, menghalalkan segala cara dan menjadi pemimpin dengan pola-pola murahan seperti money politics. Sebab saya mendengar akan ada gerakan senyap ‘menabur’ uang kepada masyarakat di TPS terkait ajakan memilih calon tertentu. Bila itu benar direncanakan dan terjadi tanggal 7 Maret 2013, maka melalui garis bawah ini saya mendoakan semoga Tuhan memaafkan dan berharap Anda segera dikembalikan ke ‘habitat’. Uang yang Anda siapkan untuk aksi money politics di TPS saya sarankan diberikan saja kepada anak yatim piatu, orang jompo, fakir miskin serta panti-panti sosial. Pasti pahala melanda Anda dan lebih bermanfaat bagi orang-orang di Provinsi Sumut yang masih banyak ‘kesepian di tengah-tengah keramaian’. Akhirnya, saya mengucapkan selamat mengikuti Pesta Demokrasi Rakyat Sumut pada hari Kamis 7 Maret 2013. Biarlah kehendak Tuhan Yang Maha Esa yang jadi tentang sosok terbaik memajukan kesejahteraan rakyat dan siapa sebenarnya paling mampu mempercepat pembangunan Sumatera Utara. Apakah Gus Irawan Pasaribu-Soekirman (nomor urut 1), Effendi MS Simbolon-Jumiran Abdi (nomor urut 2), Chairuman Harahap-Fadly Nurzal Tanjung (nomor urut 3), Amri Tambunan-RE Nainggolan (nomor urut 4) atau Gatot Pujo Nugroho-HT Erry Nuradi (nomor urut 5) ? Kita tunggu laporan pertanggungjawaban ke-5 pasangan, apakah kelak sudah benar-benar siap kalah dan siap menang. God Bless North Sumatera Province, Happy Election Day of Pilgubsu 7 Maret 2013 !