Ada 2 hutang yang tidak mungkin bisa saya lunasi lagi kepada mantan
anggota DPRD Sumut Ir Marasal Hutasoit (Alm). Hutang yang saya
kategorikan sebagai simbol kebanggaan tatkala mengenang saat-saat
bersama secara pribadi maupun ketika menjalankan tugas-tugas
jurnalistik.
Sebelum menjelaskan ke-2 hutang tersebut, ada
baiknya perkenalan dengan Marasal Hutasoit saya beberkan sedikit. Sekira
awal tahun 2010, salah satu harian tempat saya menulis memutuskan
memindahkan pos peliputan saya dari Bandara Polonia Medan ke gedung DPRD
Sumut. Memulai debut di satu tempat baru bagi saya bukanlah asing
disebabkan tipikal pembawaan diri yang gemar bergaul dengan semua
lapisan tanpa terkecuali. Beberapa hari memulai aktivitas di DPRD Sumut,
dengan mudah pula saya mengamati segelintir orang yang memang ikhlas
menjalankan tugas-tugas wartawan, sekelompok orang lagi yang mengaku
wartawan tapi berorientasi mengejar kompensasi keuntungan, segerombolan
lagi yang mengaku wartawan dan sering terlihat memfoto/meliput tapi
tanpa hasil tulisan kecuali mengejar-ngejar tamu/anggota DPRD Sumut
untuk urusan uang tunai dan terakhir sekelompok orang yang memang
wartawan gadungan namun kerjanya nongkrong menunggu kesempatan untuk
ikut ‘merampok’ dengan cara-cara tidak terhormat. Di sisi lain, saya
juga melihat 100 orang anggota DPRD Sumut dengan segudang gaya, pola,
perilaku dan penampilan masing-masing.
Bagi saya yang paling penting ketika hadir di DPRD Sumut adalah bagaimana membuka komunikasi seluas-luasnya dengan sumber utama berita, yaitu si anggota Dewan. Dan bagi saya juga selama 20 tahun menyandang profesi jurnalis, teknik memperkenalkan diri atau untuk bisa dikenali sumber-sumber berita bukanlah hal yang sulit-sulit amat. Sebab saya terbiasa menjalankan profesi ini berbasis etika profesional dengan jalan membedah pemikiran narasumber melalui wawancara-wawancara. Dari setiap peliputan dan wawancara sekecil apapun, selanjutnya saya menuangkan pertanggungjawaban dalam bentuk tulisan/pemberitaan. Itu saja, lain tidak. Suatu waktu saya pernah ditanya seseorang yang tidak saya kenal namanya namun mengaku wartawan salah satu media online dan kerap nongkrong di DPRD Sumut. “Kenapa lae bisa akrab dengan banyak anggota Dewan”? Gara-gara saya cuma mengenali wajahnya selama ini, saya pun menjawabnya dengan senyum sambil melihat wajahnya. Pada kesempatan lain Komandan Security DPRD Sumut Sugeng Herianto juga pernah mempertanyakan hal serupa terkait fleksibilitas bergaul dengan mayoritas anggota DPRD Sumut. Kali ini jawaban saya kepada Sugeng sederhana saja: pembawaan badan yang senang bergaul yang dilandasi kecintaan diri terhadap sekecil apapun tugas-tugas jurnalistik yang diemban.
Kembali ke situasi saat saya mengawali peliputan di DPRD Sumut. Karena waktu itu belum 1 pun anggota DPRD Sumut bisa saya kenali secara pribadi, maka langkah saya adalah mencari tahu siapa mereka. Lalu saya mendatangi beberapa staf DPRD Sumut seraya meminta data resmi nama, jabatan hingga no telepon. Setelah data-data valid terkumpul, selanjutnya saya mulai mengembangkan isu-isu lokal, nasional sampai internasional untuk dijadikan content berita. Sosok-sosok penting seperti Ketua Dewan, wakil ketua, ketua komisi, anggota komisi sampai ketua fraksi, tak ada yang luput dari catatan saya. Satu per satu saya telepon dalam waktu-waktu tertentu dengan cara-cara yang terhormat. Memang, ada yang menjawab seenaknya, menolak dan mencueki panggilan saya. Wajar saja mengingat saya dan mereka belum saling kenal. Tapi tidak sedikit pula yang kooperatif membuka diri untuk mau wawancara telepon.
Komunikasi Pertama dengan Marasal
Nah, berangkat dari aktivitas melakukan wawancara telepon itu
akhirnya saya bisa berkomunikasi langsung dengan sosok Marasal
Hutasoit, yang merupakan anggota Komisi A membidangi hukum/pemerintahan.
Waktu itu, Marasal sedang berada di Jakarta untuk satu urusan dinas
Komisi A. Suara Marasal terdengar elegan menyambut telepon. Dia menjawab
santai angel berita saya menyangkut persoalan judi yang mulai
marak di Sumut. Dari wawancara pertama, terbersit kagum terhadap sosok
Marasal Hutasoit yang welcome menyahuti kehadiran Pers. Marasal
menampakkan sikap peduli dan memahami urgensitas wawancara dalam
tugas-tugas seorang jurnalis. Tak sampai di situ. Beberapa hari kemudian
saya masih saja ‘gatal’ menulis berita tentang topik yang membutuhkan
respon seorang Komisi A. Lagi-lagi Marasal menjawab dan bersedia
meluangkan waktu wawancara bertajuk apapun. Bahkan bila dia tidak
berkesempatan menjawab, maka tidak enggan berinisiatif menyarankan
mewawancarai anggota Komisi A lain demi menguatkan news value
(nilai berita). Dan nama Oloan Simbolon, ST, kala itu, adalah figur
anggota Dewan yang pernah dilontarkan Marasal. Tanpa terasa hubungan
antara jurnalis dan narasumber terajut indah kurun waktu 3 minggu. Saya
merasakan kepuasan tak ternilai atas setiap wawancara/berita, sementara
Marasal sendiri selalu memberikan respon positif karena merasakan
kehadiran saya di telepon dipenuhi aura berbasis kompetensi/etika
profesional. Pada minggu IV atau 1 bulan berikutnya saya melakukan
wawancara telepon lagi. Kali ini Marasal menolak wawancara telepon namun
meminta wawancara langsung di gedung DPRD Sumut. Selama 3 minggu
wawancara via telepon ternyata Marasal mengaku terkesan dengan
geliat ngotot saya selaku jurnalis dan tak bisa membendung hatinya ingin
melihat sosok saya secara fisik. “Tolong datang ya, bawa juga 7
publikasi berita koran selama kita wawancara,” kira-kira begitu ucapan
Marasal. Saya terkejut. Ternyata dia mengingat jumlah wawancara yang
pernah kami lakukan. Mau tak mau saya meminta penjaga gudang koran di
kantor untuk mencari ke-7 koran ‘lama’ tersebut.
Singkat cerita, setelah membawa 7 koran yang dimintanya, saya pun
menemui Marasal ke ruang Fraksi PDS (masih di gedung lama DPRD Sumut).
Pertemuan langsung terjadi dalam nuansa akrab yang sulit terlupakan
hingga kini. Dari pertemuan pertama itu hubungan pribadi dan profesional
pekerjaan kami semakin terjalin baik. Marasal kerap meminta diberitakan
tentang sesuatu sedangkan saya juga rajin mengembangkan isu dan meminta
opininya. Ketika kami duduk berdua, tidak jarang dia memuji-muji hasil
tulisan serta sikap saya yang diistilahkannya mengedepankan etika
profesional. “Teruslah berkarya, kau lain dibanding yang lain saya
tengok. Saya bukan memujimu tapi itu fakta yang saya lihat dan kami
sesama anggota Dewan juga sering berbicara tentang kalian wartawan itu.
Etika dan komunikasimu baik. Kau bisa menempatkan dirimu dengan situasi
apapun. Banyak di sini yang mengaku wartawan tapi orientasinya aneh-aneh
sementara tugas utama menulis saja mereka gak sanggup. Tulisanmu enak
saya baca, bertutur dan kritis,” kata Marasal dengan logat Bataknya,
suatu waktu.
Tawaran Staf Ahli
Setelah
semakin dekat dengan Marasal kurun waktu panjang, pada bulan November
2011 Marasal menelepon saya ke ruang kerjanya di Fraksi PDS (sudah di
gedung baru). Saya datang dan selanjutnya bisa ditebak kami pun terlibat
banyak topik percakapan sambil makan siang dan minum kopi. Pada saat
itulah Marasal menyampaikan satu permintaan yang tidak pernah saya duga
sebelumnya. “Bila Tuhan menghendaki, fraksi PDS mempercayakan saya Ketua
Komisi C mulai Januari 2012. Apa Budiman mau jadi staf ahli saya,”
tanya Marasal, sembari memandangi. Saya tersentak namun tidak mampu
menjawab. Entah kenapa, saat itu saya langsung mengalihkan topik
pembicaraan.
Selang 2 bulan berikut, permintaan serupa kembali dilontarkan Marasal
kepada saya di ruang kerja Komisi C. Untuk diketahui, pada bulan
Januari 2012 saya sudah bergabung di Media Online MartabeSumut
karena harian tempat saya menulis diputuskan pemiliknya tutup dan
Marasal mengetahui fakta miris tersebut. “Jadi staf ahli saya saja ya
Budiman di Komisi C. Kau menulis bagus, pribadimu menarik dalam sikap
dan konsep berfikirmu kritis. Cocok dengan cara saya,” akunya. Saat itu
saya kembali harus menelan ludah sendiri. Permintaan sama yang
disampaikan Marasal 2 bulan lalu itu tak saya sangka akan muncul lagi
dari bibirnya. Apa jawaban saya? Ternyata saya hanya bisa diam
lalu berkata pelan: “Terimakasih Pak Marasal, tapi saya sangat mencintai
pekerjaan dan profesi jurnalis ini”. Ya, cuma kalimat itu saja. Saya
tidak meng-iya-kan dan tidak pula menolak. Walau sebenarnya ada
ketertarikan namun kata hati saya yang paling dalam membisikkan rasa
berat meninggalkan profesi jurnalis. Marasal langsung mengerti kalimat
saya dan terlihat terdiam beberapa saat.
Ajakan Reses
Sebelumnya
pada akhir tahun 2010, untuk pertama kali Marasal mengajak saya reses
ke Dapilnya di Kab Asahan, Kab Batubara dan Kota Tanjungbalai. Tapi
sayang, waktu itu orangtua saya dalam kondisi kurang sehat di rumah
sehingga terpaksa menolak tawaran tersebut. Reses berikutnya dilakukan
pada pertengahan tahun 2011. Marasal tetap ‘ngotot’ mengajak saya namun
lantaran sebelumnya saya telah menyetujui ajakan reses dari angota DPRD
Sumut Tohonan Silalahi, maka Marasal kembali menelan kekecewaan.
Terakhir pada hari Kamis 24 Mei 2012 sekira pukul 12.00 WIB, tepatnya 37
hari lalu sebelum dia meninggal dunia, Marasal menelepon dan memanggil
saya ke ruangannya di Komisi C. Di hadapan Sekretaris Komisi C Effendi
Napitupulu yang kebetulan duduk bersamanya siang itu, secara terbuka
Marasal meminta saya mendampinginya reses yang akan dmulai tanggal 29
Mei – 1 Juni 2012. “Budiman ikut saya reses ke Asahan ya,” ajaknya,
sambil menampakkan tatapan seorang bapak. Saya terkejut sekali. Bukan
apa-apa, permintaan yang tiba-tiba itu membuat saya sulit menjawab
dikarenakan 1 hari sebelumnya, pada hari Rabu siang 23 Mei 2012, anggota
DPRD Sumut Richard EM Lingga, SE, telah ‘membooking’ saya reses ke
Dairi dan saya menyanggupinya. Saya tak berani menatap Marasal karena
permintaan itu adalah yang ke-3 kalinya gagal saya penuhi. Lalu saya
mendekat ke kursi kerja Marasal seraya memegangi tangannya dan berkata
pelan. “Aduh Pak Marasal, cemanalah mau kubilang ya. Berat kali
menjawabnya sebab semalam ajakan reses Bang Richard Lingga sudah aku
terima. Maaf ya Pak, maaf ya Pak”. Marasal Hutasoit terdiam dan terlihat
kecil hati walau mencoba keras menyembunyikannya. Dia tampak tak
menduga jawaban saya karena permintaan yang disampaikan 5 hari sebelum
reses mulai (29 Mei 2012) juga berujung kegagalan. Saya terbeban
merasakan situasi tersebut sehingga buru-buru permisi kepada Marasal dan
Effendi Napitupulu yang masih duduk berhadap-hadapan. Pertemuan
terakhir secara fisik dengan Marasal Hutasoit terjadi pada Kamis 7 Juni
2012, tepatnya 23 hari lalu sebelum dia meninggal dunia, dan saat Garis Bawah ini
saya tuliskan. Pada sore pukul 15.00 WIB, saya sengaja bertandang ke
ruang kerjanya di Komisi C DPRDSU dengan tujuan menyerahkan Kartu Pers Media Online MartabeSumut sebabdirinya masuk dalam jajaran Pembina.
Makna 2 Hutang
Kini
Marasal Hutasoit telah pergi untuk selama-lamanya. Ketua Komisi C DPRD
Sumut yang juga anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) itu
meninggal dunia pada hari Rabu siang (20/6) di Penang Malaysia
disebabkan sakit jantung kronis dan kanker hati. Ketika pertama kali
mendapat kabar duka itu pada pukul 14.00 WIB melalui staf Fraksi PDS
Elvi Sianipar, saya hanya bisa mengeluarkan jeritan ‘apa’. Ya, hanya 1
kata ‘apa’ yang bisa saya suarakan dari ponsel kepada Elvi Sianipar.
Usai menerima kabar telepon tersebut saya terdiam. Badan lesu
seolah-olah ada yang hilang. Saat itu saya langsung teringat, ketika
hubungan kami sudah semakin dekat, Marasal selalu mengangkat wawancara
telepon saya dengan kalimat “aha i bo?” (satu logat/tanda akrab dalam bahasa Batak yang berarti “apa itu kawan?”).
Permintaan menjadi staf ahli dan beberapa rencana reses yang kerap
gagal saya penuhi menjadi hutang yang tidak mungkin terlunasi lagi
secara lahiriah. Namun benak saya menggarisbawahi, 2 hutang yang belum
terbayar itu mengisyaratkan bahwa Marasal Hutasoit bukanlah seorang
manusia yang sekadar saya kenal sebatas nama atau kebetulan berstatus
anggota legislatif. Melainkan lebih dari itu. Marasal Hutasoit ternyata
menyelipkan juga penilaian tersendiri kepada pribadi saya berdasarkan
memori kebersamaan awal hingga terakhir kali bertemu pada 7 Juni 2012.
Dua hutang saya itu membuktikan kalau Marasal adalah teman yang baik dan
sahabat yang tidak menjengkelkan. Bapak yang mengayomi terhadap
anak-anak hingga figur guru yang memacu gairah baru. Sosoknya terasa
sulit dilupakan dengan karakteristik elegan, tenang, familiar, penuh
penilaian diam-diam terhadap siapapun dan sangat memahami geliat para
pekerja Pers.
Pada sisi lain, 2 hutang dalam tulisan ini sebenarnya ingin memberitahukan kepada publik dunia bahwa ada benang biru khusus
selama mengenal beliau. Banyak melahirkan motivasi berharga dan
mendukung tugas-tugas jurnalistik. Itu harus saya akui karena selain
banyak mendorong, Marasal juga rajin memberi semangat untuk karya-karya
yang digolongkannya harus ikhlas dan bermanfaat bagi orang banyak. Saya
juga mau mengatakan, 2 hutang yang belum lunas menyimpan rasa duka atas
kehilangan sosok orang yang banyak menyisakan emosional kebersamaan.
Misalnya saja, kalau saya memiliki waktu luang, saya tidak pernah ragu
melangkahkan kaki ke ruang kerjanya cuma untuk memberi ucapan/sapaan
hormat atau menyalami tangannya. Dan bila suatu saat dia yang sedang
tidak memiliki jadwal atau menunggu RDP lanjutan pada siang/sore hari,
maka tidak sungkan pula dia bertelepon memanggil saya. Semata-mata hanya
untuk mengajak minum kopi dan makan siang bersama. Artinya, hampir 3
tahun mengenal sosok Marasal di gedung DPRD Sumut, hal-hal strategis
dirinya saat menghadapi orang lain berhasil pula saya tangkap.
Diantaranya; tetap lembut bicara walau sudah marah dan sejauh mana
kedekatan psikologi hubungan dirinya dengan sesama anggota Dewan,
kelembagaan Setwan, staf pegawai hingga orang per orang insan Pers
sekalipun.
Tapi semua itu tinggal sebatas kenangan. Saya adalah orang yang tidak berhasil melunasi 2 hutang kepada Marasal Hutasoit sampai ajalnya meninggalkan raga. Marasal tidak akan pernah lagi menagih hutang saya dalam bentuk tawaran staf ahli atau ajakan mendampingi reses. Namun sebagai teman, sahabat, guru dan anggota Dewan yang terhormat, saya memberikan penghormatan terakhir mendalam kepada Marasal Hutasoit melalui pemberitaan total, penggalangan iklan duka cita, penjemputan peti mati di Bandara Polonia, persemayaman jenazah di DPRD Sumut hingga pelepasan jasadnya ke liang lahat pada Jumat sore (22/6) di pemakaman Gajah Mada Medan. Logika hutang yang tidak mungkin terlunasi juga merupakan cermin perasaan bangga yang bukan dibuat-buat. Bukti lainnya bisa diamati tatkala dia tampil menjadi aktor utama pengusung hak Interpelasi DPRD Sumut bersama 16 anggota Dewan pada bulan Juli 2011. Saya sulit melupakannya mengingat pada tangggal 22 Juli 2011 dia meminta saya dengan sangat serius, sekali lagi, dengan sangat serius, untuk mengonsep dasar pemikiran/aturan terkait pengajuan hak Interpelasi Fraksi PDS/DPRD Sumut terhadap Plt Gubsu untuk dikirimkan ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDS di Jakarta. Ya, itu diminta Marasal dengan sangat serius pada saya setelah sebelumnya membandingkan hasil/isi berita dari semua media cetak terbitan Medan berdasarkan Konferensi Pers yang digelarnya, sebelumnya. Tapi sudahlah, Semua telah berlalu dan memang tinggal kenangan. Kendati Ir Marasal Hutasoit telah pergi, tapi 2 hutang yang tidak bisa terlunasi akan menjadi motivasi besar mengenang beliau. Selanjutnya menerjemahkan spiritnya kepada saya dalam berbagai kesempatan semasa hidup agar gigih melahirkan karya-karya jurnalistik yang bertanggungjawab, kritis dan bermanfaat bagi publik/orang banyak.Selamat jalan Pak Marasal, tenanglah di sisiNya. Amin.