Administrator Negara Feodalis, Pelayanan Publik Terkikis (Refleksi HUT Sumut ke-64)

Bagikan Berita :

Administrator Negara Feodalis, Pelayanan Publik Terkikis

(Studi Kasus: pembusukan budaya dan ketidakpedulian oknum pejabat Sumut memberi wawasan pemberdayaan masyarakat)

Secara harfiah administrasi bermakna segala bentuk aktivitas yang diproses tersistem untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ilmu Administrasi Negara, upaya pencapaian tujuan Negara diproses jajaran aparat/pejabat pusat dan daerah pada level tinggi sampai rendah yang jamak disebut Administrator Negara. 

Saya punya 3 kebanggan tatkala menuliskan karya ini untuk dijadikan garis bawah penting dalam memberikan masukan konstruktif tentang kekinian pelayanan publik lembaga pemerintah di Sumatera Utara. Pertama, rasa bangga karena terkenang keterlibatan pribadi pada Desember 2011 lalu dalam kepanitiaan Seminar/Diskusi Kesadaran Hukum (Kadarkum) generasi muda bertajuk bahaya penyalahgunaan Narkoba, mental tertib berlalu lintas dan dampak negatif praktik seks bebas. Kedua, bangga karena memiliki semangat tulus dan keinginan meng-create kegiatan Kadarkum yang semata-mata diarahkan sebagai media pemberdayaan wawasan peserta SMU, mahasiswa dan organisasi kepemudaan. Dan ketiga, bangga memperoleh hikmah tatkala panitia Kadarkum justru menyaksikan model pelayanan administrasi publik di Sumut dengan segudang carut marutnya. 

Mengacu 3 kebanggaan di atas saya pun bermaksud membagi hikmah yang ada atas potret buram pelayanan publik Administrator Negara terhadap masyarakat luas, khususnya kepanitiaan Kadarkum. Perlu diketahui, pada Desember 2011 salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Medan mempercayakan saya mengurus kesediaan penceramah untuk berbicara di hadapan sekira 300 peserta. Satu bulan sebelum acara, persisnya 5 November 2011, surat permohonan kepada pembicara dilayangkan panitia kepada 13 calon narasumber. Menyadari betul kalau para pejabat adalah sosok ‘sibuk’ namun diharapkan tampil memberikan ceramah, panitia mengantisipasinya dengan bukti ekspedisi surat, redaksional tenggat waktu pengambilan materi tertulis hingga kepastian pejabat yang bakal berbicara. Saat menyerahkan surat permohonan kepada staf di beberapa instansi pemerintah, saya berulangkali mengingatkan akan poin penting pengambilan materi tertulis dan kepastian pejabat. Kemudian menerangkan bahwa pada 5 Desember 2011 (5 hari sebelum hari H) panitia harus sudah menerima materi tertulis untuk digandakan kepada peserta, berikut kepastian figur pembicara. Tak lupa saya tinggalkan nomor telepon dengan harapan bisa dihubungi bila materi yang dipersiapkan lebih cepat rampung. Menariknya, semua pegawai pemerintah (bagian umum/administrasi) yang menerima surat menyanggupi meneruskan kepada pimpinan. Kendati ada beberapa instansi yang menyarankan melakukan follow up perkembangan antara 1 atau 2 minggu kedepan, toh saya dan panitia bisa memaklumi, untuk selanjutnya melakukan ceking berkesinambungan hari per hari ke beberapa lembaga penting pemerintah daerah seperti kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu), Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Pengadilan Tinggi di Medan, kantor Walikota Medan, Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan, Pengadilan Negeri (PN) Medan dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan.

Fakta Ironis

Tenggat 1 bulan akhirnya berlalu. Beberapa proses yang dimaksimalkan panitia sejak awal surat masuk sampai batas akhir 5 Desember 2011 ternyata membuahkan fakta ironis pelayanan publik Administrasi Negara. Pasalnya, pegawai di kantor Gubsu, Poldasu, Kejatisu, Pengadilan Tinggi di Medan, kantor Walikota Medan, Polresta Medan, PN Medan dan Kejari Medan terlihat gagal memberi jawaban. Bahkan lucunya, staf di instansi Kejatisu yang ditagih pada 5 Desember 2011 menyatakan enteng kehilangan surat panitia. Walau kesal karena sudah 6 kali secara berkesinambungan mengunjungi Kejatisu sebelum tenggat waktu, tapi mau tak mau terpaksa membesarkan jiwa dengan menerobos bagian Humas untuk memastikan ‘batu yang saya lemparkan jatuh kemana’. Benak saya berfikir, kalau memang pejabat bersangkutan kesulitan waktu luang, ya tidak ada masalah. Namun di benak lain berdenyut keras, belum lagi ada respon/jawaban resmi malah surat disebutkan hilang. Anehnya setelah ditekan dengan sedikit ‘kemarahan’, Kasi Penkum/Humas Kejatisu Marcos Simaremare memberikan materi tertulis dan menyampaikan bahwa yang ceramah akan diwakilkan Asisten Jampidum dengan alasan Kajatisu ke luar daerah. Saya dan panitia menerima penjelasan tersebut karena intinya sudah ada kepastian mewakili Kajatisu. Sedangkan dari kantor Gubsu, Poldasu, Pengadilan Tinggi di Medan, kantor Walikota Medan, Polresta Medan, PN Medan hingga Kejari Medan, tetap santai menjawab belum ada disposisi pimpinan. Paling celakanya lagi, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan yang telah menerima audiensi panitia pada 2 Desember 2011, bisa-bisanya melayangkan surat penolakan menjadi narasumber. Berbeda sekali saat menerima audiensi panitia. Kala itu Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Medan menyatakan tegas kalau pihaknya siap merekomendasi pejabat lain di jajaran bila Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan.

Singkat cerita, saat seminar Kadarkum digelar 10 Desember 2011 di Convention Hall Suara Nafiri Medan, Gubsu yang diundang menjadikeynote speaker malah tidak ‘nongol’. Padahal 1 hari sebelumnya, Kepala Bagian Protokol Pemprovsu, Zakaria, yang saya temui langsung, memastikan sosok Kepala Biro Hukum Setdaprovsu Abdul Jalil, SH, yang bakal hadir. Namun apa yang dikatakan Zakaria tidak terbukti hingga kegiatan Kadarkum ditutup. “Ya, nanti Pak Kepala Biro Hukum yang mewakili Gubsu sebagai keynote speaker,” katanya, seraya menanyakan siapa yang membuka acara. Manakala disampaikan yang membuka acara adalah Ketua Dewan Pembina Organisasi yang juga anggota DPRD Sumut, Ramli, nada suara Zakaria terdengar kecewa. “Nanti staf saya menghubungi bapak lagi ya,” tutupnya. Apa yang disampaikan Zakaria terjadi 10 menit kemudian. Salah satu staf kantor Gubsu menelepon saya dan kembali mempertanyakan siapa yang akan membuka kegiatan Kadarkum. Ketika jawaban serupa saya lontarkan, staf tersebut berusaha mengarahkan agar pembukaan kegiatan dilakukan Gubsu melalui Kepala Biro Hukum. Itulah cerita sebenarnya dari kantor Gubsu. Fakta ironis serupa terungkap pula dari institusi yuridis PN Medan, Kejari Medan dan Kejatisu. Tidak satupun batang hidung pejabat berwenang di bidang penegakan hukum itu hadir saat acara digelar.  Tidak ada pula informasi apalagi penjelasan resmi. Sedangkan materi Kajatisu yang sudah diberikan Kasi Penkum/ Humas Kejatisu Sumut Marcos Simaremare kepada saya 5 hari sebelum kegiatan, hingga kini memunculkan segudang pertanyaan besar manakala penceramah mewakili Kajatisu tidak muncul berbicara. Sementara narasumber dari Poldasu diwakili Kasubdit Reserse Umum Poldasu AKBP Jidin Siagian, SH, MH, Polresta Medan diwakili Kasat Binmas Polresta Medan Kompol A Hutauruk dan Walikota Medan diwakili Staf Ahli HM Rasyid, SH. Ketiganya hadir dan berbicara dalam kegiatan Kadarkum namun proses surat masyarakat (panitia Kadarkum) yang meminta materi tertulis tidak pernah dijawab. Penceramah baru membawa materi ketika akan berbicara sehingga tidak bisa digandakan panitia untuk dibaca para peserta. Bahkan Kasat Binmas Polresta Medan Kompol A Hutauruk mengakui secara terbuka kepada saya bahwa dirinya baru mendapat penugasan dari Kapolresta Medan pada hari itu juga. Sedangkan Kasubdit Reserse Umum Poldasu AKBP Jidin Siagian, SH, MH, yang semula kesal saat ditanya panitia materi tertulisnya, langsung meminta maaf setelah mengontak ponsel staf Poldasu dan mendengar sendiri bahwa pihak Poldasu yang lalai menjawab surat permintaan materi tertulis panitia Kadarkum.

Administrator Negara

Tulisan ini memang sengaja ‘menggugat’ kapasitas Administrator Negara didasari fungsi vital menyangkut rakyat dan negara. Berbicara mengenai Administrator Negara, tentu saja memerlukan keseragaman bahasa awal terhadap defenisi baku. Dalam kalimat pembuka telah dijelaskan bahwa administrasi merupakan proses yang dilakukan suatu sistem secara keseluruhan untuk mencapai tujuan. Nah, bila menyangkut tujuan negara, maka pejabat/aparat/PNS/birokrat merupakan sosok-sosok Administrator Negara yang berperan strategis menggerakkan roda organisasi institusi pemerintahan dalam menggapai tujuan. Sosok-sosok tersebut berkewajiban memproses pencapaian kepentingan daerah pluscita-cita Negara. Tidak terkecuali kepentingan internal struktural/fungsional pemerintahan atau eksternal pelayanan masyarakat secara universal. Tidak persoalan pula jika sosok Administrator Negara itu sebatas pelaksana keputusan atau berada pada level pengambil kebijakan.

Administrator Negara Feodalis

Pemahaman awal akan defenisi Administrator Negara menjadi masuk akal bila dihubungkan dengan keberadaan sosok Administrator Negara Feodalis. Timbul lagi pertanyaan, kenapa disebut Administrator Negara Feodalis? Jawabannya tidak lain disebabkan kiprahnya yang berperan ganda dalam struktur Administrasi Negara. Bermental ganda karena subjektif menjalankan roda administrasi pemerintahan, mengedepankan sikap pemilah-milahan (diskriminasi) pelayanan, membagi strata sosial masyarakat kelas besar (penguasa/tuan tanah/pejabat/pembesar) dan kelas sosial kecil (pekerja/para budak/rakyat) serta mengutamakan pelayanan dengan melihat untung, rugi bahkan targetvested interest (kepentingan tersembunyi). Administrator Negara Feodalis tidak pernah sungkan memamerkan rekomendasi kebijakan bernuansaabuse of power (penyalahgunaan wewenang). Ketika tuntutan pelayanan datang dari masyarakat kecil, sang Administrator Negara Feodalis lebih suka menyingkirkannya ke tong sampah. Dianggap tidak memberi keuntungan, merugikan dan cuma buang-buang waktu saja. Namun saat tuntutan pelayanan datang dari penguasa/pembesar, jangan heran bila reaksinya benar-benar luar biasa. Celakanya, saking bermental feodal, oknum Administrator Negara itu mampu dengan mudah mematikan nurani hati tanpa mau memikirkan kepentingan masyarakat yang lebih luas kedepan. Apa yang dirasakan panitia seminar Kadarkum di atas besar kemungkinan terjadi pada banyak lembaga kemasyarakatan lain. Tapi besar kemungkinan pula mereka ragu mengungkapkan ke permukaan dengan alasan capek melihat mental busuk pejabat negara. Umumnya merasa malas mempersoalkan apalagi harus complain. Entah disebabkan pemahaman minim kalau sebenarnya masyarakat punya hak mendapat pelayanan publik, atau memang kekeliruan penilaian bahwa pelayanan publik adalah totalitas hak pribadi seorang Administrator Negara. 

Saya telah mengatakan bangga bisa terlibat kepanitiaan Kadarkum dalam proses permintaan narasumber kepada para Administrator Negara di Sumut. Kebanggan yang semata-mata muncul karena mendapat hikmah dari rentetan berbagai fakta (baca: masalah) serupa. Hikmah yang menurut istilah saya keberhasilan mengidentifikasi gelagat usang Administrator Negara Feodalis yang senang melihat masyarakat resah dan resah melihat masyarakat senang. Realita itu semakin diperkuat bila mengacu proses administrasi surat sederhana kepanitiaan Kadarkum yang tak kunjung mendapat respon. Para pelayan publik pemerintah di tingkat bawah sampai atas cenderung mengaminkan pembusukan budaya dengan konsepsi ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’. Lalu seenaknya menempatkan diri/posisi/jabatan sebagai penguasa, tuan tanah bahkan pembesar, yang orientasi pelayanan harus berdasarkan untung rugi semata dan tidak pantas diminta atau ‘diperintah’ rakyat. Administrator Negara Feodalis membentuk justivikasi (pembenaran) kepentingan sesat dan ekspektasi sesaat. Kalau yang meminta berbicara (narasumber) bukan kelas atasan, penguasa, tuan tanah atau pembesar melainkan para pekerja alias budak (baca:rakyat), sikapnya berujung nol pelayanan publik. Mempraktikkan benih-benih kepemimpinan perekonomian berpaham feodalis Eropa yang diadopsi dari Romawi pasca runtuh pada abad ke-3. Padahal sistem tersebut seharusnya sudah ‘wafat’ abad ke-14 masa Renaisance sebab bertentangan dengan hak asasi/ kemanusiaan.

Pelayanan Publik Terkikis

Boleh jadi 1 jenis pelayanan pubik Administrator Negara yang dirasakan terkikis oleh Panitia Kadarkum menambah deretan jumlah pelayanan publik di Indonesia, bila mengamati 276 jenis layanan publik dalam website http://diskominfo.sumutprov.go.id milik Dinas Kominfo Sumut. Pertanyaannya sekarang, apakah ke-276 jenis pelayanan publik itu disikapi tebal atau dikikis para Administrator Negara di lingkungan kerja ? Retoris sekali menjawabnya. Tapi berdasarkan fakta empiris yang dialami panitia seminar Kadarkum, ratusan peserta siswa SMU dan Mahasiswa di Medan adalah contoh korban sistematis pembodohan rakyat yang tidak sengaja terungkap. Bukan apa-apa, semangat mereka menghadiri acara dan perasaan berhak mendapat pemberdayaan wawasan hukum justru disambut pelayanan publik pemerintah yang terkikis. Mereka pun sempat mempertanyakan kepada saya penyebab ketidakhadiran sosok Administrator Negara seperti Gubsu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Ketua Pengadilan Negeri Medan dan Kepala Kejaksaan Negeri Medan. Saya sempat kelabakan, tersentak dan kesulitan memberi jawaban. Namun secara spontan saya mengatakan bahwa administrasi surat panitia lengkap tapi berbuah ketidakpedulian pejabat negara. Bahkan selaku Moderator Seminar, kepada ratusan peserta saya tegaskan kalau sepertinya rakyat di Indonesia sudah dianggap budak belian yang tidak pantas meminta apalagi menuntut hak pelayanan pemberdayaan dari sang majikan (Administrator Negara). Setuju tak setuju, itulah salah satu fakta terkikisnya pelayanan publik. Sebab kendati suatu bentuk kegiatan sudah dikelola secara swadaya oleh masyarakat berikut penggalian dana pas-pasan, ternyata harapan untuk mendapat pelayanan publik menjadi harga mahal yang dipatok tinggi oleh sosok-sosok Administrator Negara bermental penguasa, tuan tanah atau pembesar (feodalis).     

Pada situasi lain mari kita jujur membeberkan kekesalan jutaan warga tatkala mengurus identitas diri seperti KTP, KK, surat izin atau keterangan tertentu. Di sekeliling sana bisa terlihat jelas bahwa mayoritas warga kerap dibuat pusing 7 keliling walau syarat yang dibawa lebih dari lengkap. Lagi-lagi para Administrator Negara pelayan publik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, kotamadya sampai provinsi, selalu berwatak pamrih dengan sejuta dalih. Bersinetron dengan lakon inilah, lakon itulah hingga hantu blau pun bisa dibawa-bawa. Kemudian mencuci otak masyarakat dengan budaya busuk bahwa ‘semua urusan mesti uang tunai’ (SUMUT). Ketika masyarakat yang menuntut pelayanan tidak mengenal istilah ‘SUMUT’ atau dianggap status tidak jelas (STJ), maka jangan heran bila sang Administrator Negara lebih memilih mengikis habis pelayanan (tidak malu menyuguhkan sikap ‘buang badan’) ketimbang melihat rakyat tersenyum puas. Mengerikan sekali ! Warga yang hafal mati tradisi tabiat tersebut mau tak mau terpaksa selalu mengelus dada. Kualitas pelayanan yang seharusnya menjadi barang mewah untuk dikawal ketat, hancur berantakan disela-sela sikap pelayan publik yang justru pura-pura bloon. Tidak mau tahu namun akrab dengan fikiran sesat/sesaat:‘memang siapa yang butuh’?Hampir semua jenis aktivitas pelayanan publik akhirnya dinilai rakyat tidak kredibel kendati tahu persis bahwa prosesnya sudah dibayar Negara setiap bulan. Rakyat merasa pasrah, tapi sebenarnya tidak rela dijadikan ajang ‘ATM berjalan’. Pelayanan publik pun terus terkikis habis dalam wujud pembusukan sistem/budaya di seluruh sendi kehidupan Negara yang korup. Makanya, pada semua sektor pelayanan publik, para calo tidak bakal pernah dapat dikikis. Lihat saja di kantor pelayanan Imigrasi. Calo-calo yang gentayangan terindikasi ‘suruhan’ para pelayan publik demi mengamankan modus operandi pungutan liar. Rakyat yang butuh pelayanan paspor diposisikan sapi perah dan dianggap pasrah dalam posisi kalah. 

Korelasi Administrator Feodalis dan Pelayanan Publik Terkikis 

Menguji peta pelayanan publik Administrator Negara sebenarnya dapat diukur dengan mudah dari tingkat kepuasan masyarakat. Bersifat relatif namun tetap tidak bisa ditutup-tutupi mengingat realisasi administratif yang diberikan. Tulisan ini pun tidak tertarik menyibak sejauh mana kepuasan rakyat selama ini sebab 2 masalah sepele pelayanan publik tak kunjung dipahami mayoritas Administrator Negara hingga kini. Pertama, sosok pemberi layanan (Administrator Negara). Dalam memberi layanan publik, unsur mengeluarkan nota, respon bahkan jawaban menjadi kepatutan terhadap setiap tuntutan masuk. Pemberi layanan bertanggungjawab penuh merealisasikan segala permintaan yang berhubungam dengan tugas pokok dan fungsi. Apakah akhirnya menolak atau menyetujui. Kedua, penuntut layanan (masyarakat/rakyat). Sebagai pihak yang menyalurkan permohonan, masyarakat berhak mengharap kepastian atas layanan tertentu yang disampaikan. Penuntut layanan tidak mengenal jawaban belum adanya disposisi pimpinan (kurun waktu sangat lama) atau alasan arsip dokumentasi hilang. Artinya, kasus surat panitia Kadarkum yang hilang di kantor Kejaksaan Tinggi Sumut merupakan bukti sah dan meyakinkan bahwa sebenarnya para pemberi layanan publik tidak memenuhi penuntut layanan. Saya mau memperingatkan, tidak adanya jawaban terhadap panitia Kadarkum terkait permintaan materi tertulis kepada Gubsu, Kapoldasu, Kapolresta Medan, Walikota Medan, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Ketua PN Medan, Kepala Kejari Medan dan beberapa instansi lain) di Sumut, merupakan hubungan kausal negatif yang tidak terbantahkan atas sikap Administrator Negara Feodalis. Saya juga mau memastikan, sikap Gubsu, Kajatisu, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Ketua PN Medan dan Kepala Kejari Medan, sebenarnya berkorelasi erat dengan kebijakan pembodohan rakyat yang dilakukan secara sistematis manakala tak hadir memberikan pemberdayaan wawasan generasi muda.

Administrator Negara Feodalis terindikasi menempatkan jabatan untuk merusak tujuan Administrasi Negara dalam perspektif pelayanan publik. Perilaku Administrator Negara Feodalis yang mengikis pelayanan publik ibarat ‘bom waktu’ yang dibiarkan merajalela jauh-jauh hari dan akan meledak setiap saat. Terkikisnya pelayanan publik bisa pula menjadi bencana kemarahan rakyat yang bukan mustahil datang tiba-tiba. Apabila harapan untuk dilayani secara wajar saja tidak diperoleh, maka terjebaklah masyarakat dalam genggaman masalah baru yang tidak berujung. Korelasi inilah yang wajib disadari Administrator Negara berwatak Feodalis. Sebab, celakalah mereka yang bermental feodalis melayani rakyat sedangkan kepentingan publik lebih luas diseret-seret terlantar. 

Kesimpulan dan Saran

Terkikisnya pelayanan publik di Sumut harus jujur diakui masih marak terjadi. Berlangsung sistematis dalam proses pembusukan budaya pada berbagai institusi pemerintah yang melibatkan oknum Administrator Negara. Rakyat yang membutuhkan pelayanan standard merindukan sosok-sosok PNS, birokrat, aparat, pegawai, pejabat dan pamong yang sadar menjalankan fungsi tanpa unsur subjektivitas/diskriminatif. Sorotan kasus panitia Kadarkum (masyarakat) bisa dijadikan dasar untuk memberantas geliat Administrator Negara Feodalis yang suka mengikis habis pelayanan publik. Koordinasi lintas struktural/fungsional internal pemerintahan juga pantas ditata ulang mengingat terlalu seringnya gelagat oknum yang mempermainkan arus tuntutan rakyat.

Menurut hemat saya, ada 2 hal urgen yang harus dilakukan Administrator Negara di Sumut ini bila tidak ingin dicap feodalis dan menghindari pengikisan pelayanan publik. Pertama, mengakui jabatan/posisi adalah amanah. Konsepsi ini sepertinya terdengar usang mengingat terlalu sering dilontarkan para Administrator Negara dalam berbagai seremonial formal pemerintahan. Tapi menjadi teramat penting digugat realitasnya karena apa yang begitu mudah dilontarkan bibir ‘mereka’ malah dengan gampang pula untuk dilanggar. Saya mau mengatakan, pengakuan jabatan/posisi sebagai amanah berimplikasi pada sikap pelayanan tulus. Tulus berarti tanpa pamrih. Entah ini suatu keniscayaan atau hanya sebatas angan-angan di benak Administrator Negara, tapi mari kita cerahkan ‘mereka’ dengan makna hakiki amanah bak keseharian seorang pelayan restoran. Seorang pelayan restoran sudah barang tentu menaburkan sikap ramah melayani tamu (masyarakat), melakukan semua perintah/ permintaan (amanah) dan memastikan sudah terpenuhinya rasa kepuasan atas pelayanan (hasil akhir/tujuan). Bagaimana dengan layanan publik pemerintah Sumut atas seminar Kadarkum di atas? Adakah sosok, atau sanggupkah aparat Negara berperilaku bak pelayan restoran? Sekarang saya jadi tersenyum-senyum sendiri saat mengurai tulisan ini. 

Pada satu sisi, suka atau tidak suka, sikap Gubsu, Kapoldasu, Kajatisu, Walikota Medan, Kapolresta Medan, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Kepala Kejaksaan Negeri Medan, Ketua Pengadilan Negeri Medan atau mungkin pejabat publik lain, terbukti masih gemar mematok masyarakat dalam kelas sosial penguasa/tuan tanah/pembesar dan kelas pekerja/para budak (rakyat). Maaf, saya tidak bermaksud mendiskreditkan pihak manapun. Tapi fakta rilnya, Administrator Negara bermental Feodalis yang gentayangan di pemerintahan Sumut ini tidak merespon wajar kegiatan Kadarkum yang diciptakan oleh lembaga masyarakat untuk peningkatan wawasan generasi muda. Pelayanan publik sudah dirasakan terkikis sejak menyampaikan permohonan, tidak jelasnya jawaban penyediaan materi hingga kealpaan tanpa kabar perwakilan penceramah. 

Pada sisi lain, perilaku organisasi Administrator Negara Feodalis tertangkap kuat tatkala pembukaan acara Kadarkum diarahkan harus atas nama Gubsu. Sedangkan seminar Kadarkum itu merupakan agenda internal biasa organisasi yang bukan berskala Nasional. Dalam artian, ketidakhadiran Gubsu, Kajatisu, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Kepala Kejaksaan Negeri Medan dan Ketua Pengadilan Negeri Medan, menandakan betapa terkikisnya sifat amanah pelayanan publik dalam praktik kepemimpinan Administrasi Negara. Saya berkeyakinan, mereka-mereka yang feodalis itu baru hanya berkenan hadir/mengambil keputusan  manakala melihat unsur subjektif siapa yang melaksanakan, siapa membuka acara, siapa yang datang, siapa yang meminta atau siapa yang diuntungkan. Sekali lagi, Administrator Negara yang baik dan amanah wajib memposisikan diri dan institusi bak seorang pelayan restoran yang mempersilahkan tamu masuk, menanyakan pesanan, menjawab panggilan serta menghadirkan permintaan. Tapi bisa saya pastikan hal itu bakal berat dan mustahil ‘mereka’ terapkan. Pejabat Negara dan aparat kita sudah terbiasa arogan dengan jargon pembesar/kekuasaan sehingga berani membenarkan hal-hal salah sekalipun dalam tugasnya. Melalui tulisan ini, paling tidak, saya menyarankan para Administrator Negara untuk berperilaku standard melayani publik. Jangan ‘membambu’ seperti batang pohon bambu yang tetap tegak lurus sebelum dipatahkan atau pura-pura bego menyikapi ‘kebutuhan’ rakyat. Melainkan lihatlah/ikuti semua ‘batu’ jatuh kemana (hasil) saat dilemparkan dari dalam (institusi) dan ikuti juga ‘batu-batu’ yang dilemparkan dari luar (masyarakat) tanpa diskriminatif.

Kedua, peduli sistem di lingkungan terkecil. Peduli disini tidak bermakna sempit. Melainkan cepat tanggap menindaklanjuti masalah sekecil apapun dan bukan membiarkan melebar hingga berujung STJ. Pelayanan publik Administrator Negara dalam konteks seminar Kadarkum bisa jadi bahan refleksi serius semua pihak berkompeten di daerah ini. Menggelikan sekali mengetahui surat sederhana berperihal penyediaan bahan materi tidak mampu direalisasikan Administrator Negara kurun waktu 1 bulan. Adalah ‘celaka 13’ pula rasanya bila dari sekian banyak staf di lingkungan terkecil sang pejabat/Administrator Negara tidak satupun bisa diarahkan ‘nongol’ melayani masyarakat dalam ajang pemberdayaan wawasan generasi muda. Satu realita miris terkikisnya pelayanan publik, yang bila saja kita masih mau berterus terang, menunjukkan; kesombongan jabatan, keangkuhan sosok penguasa, ketidakmautahuan kebutuhan rakyat, ketidakpedulian urusan kelas bawah dan ketidaktidakbecusan tanggungjawab menata sistem kerja lingkungan sendiri. Mari kita bandingkan sejenak dengan model pelayanan publik di negara barat sana. Ketika seorang aparat pemerintah berhasil menuntaskan pelayanan terhadap warganya, maka secara blak-blakan mereka langsung menolak saat mendengar ucapan terimakasih. Kenapa? Sebab mereka berpegang teguh, bahwa apa yang dikerjakan merupakan tanggungjawab tugas dan negara sudah membayar dirinya melakukan hal tersebut. Memangnya bagaimana dengan Administrator Negara di Indonesia? Faktaterkikisnya pelayanan pubik terhadap panitia Kadarkum menjadi 1 kasus yang bisa disimpulkan melanda 276 jenis layanan publik di penjuru Tanah Air. Andai saja sekira 220 juta rakyat Indonesia ditanya satu persatu, niscaya yang bukan Administrator Negara akan serentak mengungkapkan galau dan risau. Resah dan gelisah menghadapi gelagat Administrator Negara yang tidak bertanggungjawab, melalaikan tugas dan selalu senang mengikis pelayanan publik. Walau pun kemungkinan besar masih ada yang benar-benar menjalankan tugas pelayanan, namun pembusukan budaya di sektor pelayanan publik sudah teramat kental merasuki semua sistem. Sekali lagi saya mohon maaf bila harus mengatakan; sebenarnya mereka bukan tidak bertanggungjawab, bukan melalaikan tugas atau bukan pula ‘membambu’ tegak lurus seperti pohon bambu. Tapi semata-mata karena kesengajaan yang dilatarbelakangi unsur subjektif dan memang feodalis ! 

Oleh sebab itu, semenjak dini, pembusukan budaya dalam sektor pelayanan publik harus segera dihentikan. Rakyat di Republik ini sudah capek menunggu pelayanan publik yang wajar-wajar saja sesuai prosedur. Kedepan, saatnya Administrator Negara tegas melayani publik dengan menerapkan standard operating procedure (SOP) berpola jemput bola. Semua jajaran sistem dari yang tertinggi sampai terendah diberikan otoritas menuntaskan progress report (perkembangan) internal maupun eksternal. Tuntutan pelayanan yang datang dari rakyat patut diidentifikasi untuk selanjutnya memunculkan sikap pimpinan merespon balasan tanpa harus dikunjungi, dimohon, disembah, dituntut, dikeluhkan, dimarahi, disesalkan hingga dicacimaki. Sepele dan sangat sederhana. Tapi di era kekinian malah sudah sangat langka ditemukan dalam proses pelayanan publik di Sumut. 

Administrator Negara yang tidak feodalis menerapkan SOP sistem jemput dan kirim bola. Tidak menghentikan bola di kakinya namun menendang ke pihak lain untuk digolkan. Bila upaya menendang bola itu diwujudkan secara normal saja tanpa sikap subjektif, maka realita pembusukan budaya atas persoalan besar dalam pelayanan publik dapat dikikis. Rakyat senang, pemerintah pun tenang. Apa sekarang memang terlalu mahal harganya membuat rakyat senang ? Wallahualam…! Yang pasti, image buruk SUMUT : ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai’ atau  ‘kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah’, nyata mengkristal deras di penjuru Sumatera Utara. Orang-orang yang mengaku Administrator Negara pantas mulai peduli di lingkungan sistemnya dan membereskan 2 image buruk tersebut dengan memulai perilaku sportif mengatakan; ‘sudah tanggungjawabku, Negara memang membayarku melaksanakan tugas itu’. 

Akhirnya, Administrator Negara di Sumut harus sepakat untuk tetap sepakat mengakui bahwa pelayanan publik masih jauh dari harapan. Bobrok dan menjengkelkan. Mengabaikan 10 prinsip dasar good governance (pemerintahan baik) yang mengisyaratkan akuntabilitas, pengawasan, daya tanggap, profesionalisme, terselenggaranya pelayanan maksimal masyarakat, transparansi, kesetaraan, wawasan kedepan, partisipasi dan penegakan hukum. Belum lagi pengingkaran 8 Perintah Harian Gubsu yang dikeluarkan tanggal 17 Juni 2008 butir ke-4 yang berbunyi : tingkatkan kreativitas dan profesionalisme dalam melayani masyarakat serta butir ke-7 berisi : tingkatkan kemampuan teknologi informasi untuk mendukung transparansi/akuntabilitas dan kembangkan komunikasi yang tidak berjarak dengan masyarakat. Fakta empiris pelayanan administrator Negara terhadap panitia kegiatan Kadarkum nyata menorehkan perasaan iba terhadap hampir semua Administrator Negara di Sumut manakala terbukti mengabaikan 10 prinsip dasar good governance dan mengingkari 8 Perintah Harian Gubsu.Tapi sudahlah, belum terlambat bagi Administrator Negara untuk merefleksi peran struktural (lembaga) dan mental fungsional (pribadi) jajaran. Lalu menjadikannya momentum strategis dalam mengaktualisasikan berbagai program untuk mempertebal pelayanan publik. Tapi harus diingat, lakukan terpadu dan terbuka tanpa ego sektoral lembaga seraya menguji peta pelayanan publik masing-masing. Apakah pelayanan benar terkikis gara-gara kesalahan pimpinan (berjiwa feodal) atau memang bawahan yang tidak memproses secara standard. Sebab sangat tidak bijaksana rasanya bila kita masih saja membiarkan akuntabilitas lembaga publik dan kepentingan pelayanan masyarakat porak poranda hanya gara-gara segelintir oknum Administrator Negara bermental Feodal. Semua pelayan publik harus terus diingatkan supaya sadar bekerja melayani rakyat, sadar mendapat gaji/tunjangan dari negara dan sadar memiliki tanggungjawab terhadap masyarakat. Bila mereka sudah sadar 3 unsur sakral itu, niscaya keikhlasan mengabdi akan terpancar dalam mewujudkan potret Sumut yang bukan lagi ‘semua urusan mesti uang tunai’ melainkan ‘semua urusan mesti untuk tuntas’. Dirgahayu Sumut ke-64 tanggal 15 April 2012..!

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here