Setiap akhir tahun menjadi momen penting untuk mencatat dan menilai apa yang telah dilakukan dan dicapai sepanjang tahun. Demikian halnya dengan perjalanan Pemerintah Daerah Sumut. Pemerintahan Sumut yang kami maksudkan Pemerintahan Sumut secara keseluruhan. Namun yang menjadi sorotan utama adalah Pemerintah Propinsi Sumut dan Pemerintah Kota Medan. Keduanya menurut kami adalah pemerintahan yang bisa mencerminkan wajah Pemerintahan Sumut. Tahun 2011, secara khusus, menjadi tahun penting untuk dinilai karena di tahun ini menjadi waktu efektif berjalannya dua kepemimpinan politik baru di Sumut yakni, Gatot Pujo Nugroho yang ‘naik kelas’ dari Wakil Gubernur Sumut (Wagubsu) menjadi orang pertama di Sumut sebagai Plt Gubernur Sumut (Gubsu) sejak Maret 2011, dan Rahudman Harahap yang ‘naik kelas’ menjadi Walikota Medan lewat Pilkada Medan akhir tahun 2010.
Penilaian terhadap kinerja pemerintahan setiap tahun merupakan tradisi yang harus dikembangkan oleh setiap elemen masyarakat sipil, tentu saja menurut core issue-nya masing-masing, untuk menghindari monopoli informasi ‘keberhasilan’ pemerintah dan sekaligus menjadi media koreksi dan saran perbaikan. Apalagi kemudian, selama ini sorotan dan penilaian cenderung dilakukan terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta. Padahal penilaian kinerja pemerintahan lokal jauh lebih penting, karena mereka merupakan pemerintahan terdepan yang berhadapan dengan masyarakat. Metode Lazimnya penilaian kinerja pemerintahan yang berlaku universal, catatan akhir tahun 2010 ini menggunakan 5 instrumen sebagai ‘alat bantu’ mengukur dan menilai kinerja pemerintahan yakni;
A. Pelayanan Publik dan Korupsi
B. Infrastruktur
C. Kebijakan Publik
D. Birokrasi
E. Managemen Konflik
Kelima instrumen tersebut jugalah yang kami pakai menilai Pemerintah Daerah Sumut sepanjang 2011. Sebab kelima instrumen tersebut bukan hanya ‘alat bantu’ mengukur dan menilai, namun juga merupakan bagian dari dua tugas utama pemerintah daerah yakni, public service (pelayanan publik) dan mewujudkan good governance (pemerintahan bersih). Metode pengumpulan informasi yang kami lakukan adalah variasi dari pengumpulan dan pengolahan data yang dikeluarkan lembaga resmi, misalnya KPK yang membuat peringkat indeks layanan publik dan indeks integritas nasional dan informasi pemberitaan media dan tentu saja sampel pengamatan lapangan. Setiap instrumen informasi dan fakta yang kami peroleh kemudian kami klasifikasi dan olah menjadi fakta-fakta untuk kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Setiap instrumen mengambil sampel fakta sehingga mempermudah penilaian kami menggunakan perbandingan fakta tahun 2010 dan tahun 2011.
TEMUAN BAKUMSU
A. Pelayanan Publik dan Korupsi
Fakta di tahun 2010, Indeks layanan publik Medan versi KPK 5,00. Sedangkan tahun 2011 indeks layanan publik Medan versi KPK justru menurun atau semakin buruk dengan angka 3,66. Padahal nilai rata-rata ideal adalah 5. Medan bahkan di bawah kota Jayapura. Skor 3,66 mengindikasikan pelayanan publik masih tetap buruk dan tingkat korupsi masih tetap tinggi. Versi Kejaksaan Tinggi Sumut: Tercatat 33 kasus tindak pidana korupsi. Beberapa kasus besar antara lain: 1. Rahudman Harahap sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan tahun 2005 dengan kerugian negara Rp 13,8 miliar 2. Korupsi APBD Langkat 2000-2007 dengan kerugian negara Rp98.716.765.154, 3. Korupsi pembangunan kantor, rumah dinas pelayanan pajak bumi daan bangunan (PBB) dengan kerugian negara Rp686.397.327. 4. Korupsi pada dinas prasarana wilayah (Dinas Pekerjaan Umum Kota Binjai) tahun anggran 2007-2008 dengan kerugian negara Rp 2,5 miliar. Lalu, 33 kasus tersebut, masih enam tersangka saja yang sudah divonis putusan pengadilan. Sementara tahun 2011 ada 19 kasus dugaan korupsi yang ditangani. Namun tidak satu pun yang telah memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap (incrahct). Hampir keseluruhan masih dalam tahap penyidikan. Berikut posisi akhir beberapa kasus korupsi di Kejatisu 1. Kasus Rahudman tidak jelas penanganannya Meski dalam gelar ekspos di Kejagung, Rahudman terindikasi korupsi APBD Tapsel Rp13,8 miliar 2. Tersangka korupsi APBD Langkat 2000/2007, Buyung Ritonga. Baru ditetapkan sebagai terdakwa. 3. Tersangka korupsi Pembangunan kantor, rumah dinas pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Ir Dharma Husada masih dalam proses pemberkasan 4. 16 tersangka korupsi di Dinas Pekerjaan Umum Kota Binjai, masih dalam tahap penyidikan.
B. Infrastruktur
Fakta tahun 2010: 1.PLTA Asahan 3 sudah harus beroperasi tahun 2014 2.Pembangunan fisik bandara seluas 1.365 Ha ini harus terealisasi sebesar 78, 45 % 3. Terjadi kerusakan jalan di sepanjang kabupaten/kota di Sumut. Fakta tahun 2011: 1. Pengoperasian PLTA Asahan 3 tertunda beroperasi sampai tahun 2015, bahkan izin lokasi tetap mengambang dan terkatung-katung. 2. Realisasi meleset sekitar 1,98% dari rencana. Hingga 9 Agustus 2011 baru terealisasi sekitar 76% secara keseluruhan. 3. Kerusakan jalan justru semakin bertambah. Titiknya ditemui di setiap kabupaten/kota di Sumut. Jalan-jalan yang rusak rusak parah antara lain di Medan dengan 24 titik, Kabupaten Tapanuli Utara 14 titik, Mandailing Natal 9 titik , Tanah Karo 5 titik, Pakpak Bharat 3 titik, Tebing Tinggi 2 titik, Dairi 2 titik, Tapanuli Tengah 2 titik, dan Simalungun 2 titik. Sementara Tanjung Balai, Labuhan Batu, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, dan Toba Samosir masing-masing satu titik. (Dinas Perhubungan Sumut).
C. Kebijakan Publik
Fakta tahun 2010: 1. Program Legislasi Daerah (Prolegda) Sumut 2010 berjumlah 15 Ranperda, terdiri dari 11 Ranperda baru dan 4 Ranperda yang tertunda di 2009. 2. Secara umum Struktur APBD 2010 di Sumut lebih besar ‘ongkos tukang’ daripada belanja pekerjaanya. 3. Ada 238 peraturan daerah (perda) di Sumatra Utara (Sumut) yang dievaluasi Departemen Dalam Negeri, sebanyak 106 dinyatakan bermasalah dan harus dicabut.Pempropsu berjanji akan mengkoordinasikan pemkab/pemko untuk segera mencabut perda bermalasah tersebut. Fakta tahun 2011: 1. Dari 15 Prolegda 2010 pemerintah Sumut hanya mampu menyelesaikan lima Perda saja, dimana dua Perda diantaranya merupakan perda rutin. Fungsi legislasi DPRD jelas gagal, bukan hanya dari segi jumlah tetapi juga dari sisi kwalitas karena Prolegda hanya diisi Ranperda normatif (retribusi, anggaran, dlsb). Tidak ada Ranperda yang visoner untuk mengatasi permasalahan di masyarakat. 2. Secara umum Struktur APBD 2011 di Sumut tak berubah, masih tetap lebih besar ‘ongkos tukang’ daripada belanja pekerjaanya. Ada 12 kabupaten di Sumut yang 12 kabupaten kota yang porsi belanja pegawai (ongkos tukang) berkisar antara 57-72% dari APBD-nya. 3. Tidak ada informasi resmi apakah ke-106 Perda yang ada di Sumut sekarang sudah dicabut atau belum. Patut diduga Perda bermasalah di Sumut tidak diatasi dengan serius. 4. Kebijakan makin pro investasi dan ekspansi perkebunan sawit. Itu terlihat dari proteksi politik dan kemanan terhadap korporasi yang terbilang bermasalah seperti PT SMM di Madina dan PT TPL di Humbang serta pemberian rekomendasi izin konversi hutan menjadi kawasan kebun sawit.
D. Birokrasi
Fakta tahun 2010 membuktikan: Perilaku birokrat dan wakil rakyat yang kebut-kebutan anggaran di akhir tahun anggaran masih jamak terjadi. Sampai dengan Desember 2010 serapan APBD Sumut hanya 70,40%. Fakta 2011: Walau kerap diwacanakan untuk diperbaiki, kenyataannya ritual kebut-kebutan anggaran di akhir tahun justru kembali diritualkan. Sampai Desember 2011 serapan APBD Sumut masih 71,23%. Hanya terjadi peningkatan sedikit. Ini menunjukkan tak ada komitmen serius untuk mengatasi masalah yang rawan dengan praktek korupsi ini.
E. Manajemen Konflik
Fakta 2010: 1. Konflik elite (eksekutif versus legislatif Sumut) relatif mulai muncul seiring dengan ditangkapnya Syamsul Arifin oleh KPK, namun masih tertutup. 2. Konflik tanah antara rakyat dengan korporasi perkebunan milik negara (PTPN II, III dan IV) dan perkebunan Swasta (PT Lonsum dll), korporasi pertambangan (PT SMM di Madina, PT DPM di Dairi), korporasi pengusahaan hutan tanaman Industri (HTI) (PT TPL yang mempunyai areal hutan di 11 kabupaten Sumut). Disebut ada karena lebih kurang 700 kasus konflik tanah di Sumut. Fakta 2011: 1. Konflik antar elit makin terbuka dan memuncak seiring dengan kebijakan Gatot melakukan mutasi pejabat eseleon II dan eselon III di Pempropsu. Ironisnya konflik, termasuk usulan penggunaan hak interpelasi DPRD, kandas tanpa alasan dan penjelasan yang terbuka kepada publik.Bukannya melakukan menerapkan manegemen konflik elit justru mempraktekkan ‘gertak sambal’ politik yang tak mencerdaskan rakyat. 2. Tidak adal resolusi konflik tanah yang dilakukan Pemerintah Sumut. Jumlah dan eskalasi konflik justru makin meningkat dan meluas. Versi komisi A DPRDSU, konflik tanah yang berjumlah 700 kasus tidak satupun yang terselesaikan tahun ini.
Analisis dan Kesimpulan
Terlihat terang benderang betapa Pemimpin, birokrat, dan politisi di Sumut nyaris tidak melakukan apapun sepanjang tahun 2011. Pemerintahan Sumut bisa dikatakan berjalan di tempat alias tidur. Fakta-fakta yang terdata di tahun 2010 sama sekali tidak menunjukkan perubahan perbaikan di tahun 2011. Malah tak berlebihan kalau disebut pemimpin, birokrat, dan politisi Sumut masa bodoh dengan berbagai fakta buram Sumut sepanjang tahun 2010 sehingga tidak melakukan agenda aksi serius memperbaikinya di tahun 2011. Di lapis bawah, kondisi ekonomi, sosial, dan politik masyarakat Sumut sepanjang tahun 2011 adalah getir dan kian melarat. Daya tahan masyarakat semakin sulit secara ekonomis. Mereka juga makin sulit mengakses sumber daya ekonomi politik (tanah, pekerjaan, pendidikan, rumah, dan layanan kesehatan) dan skeptis terhadap hukum yang sering diperjualbelikan dan menghianati rasa keadilan masyarakat. Secara statistik jumlah kemiskinan disebut menurun. Namun fakta menggetirkan adalah bahwa selama tahun 2011 jumlah penderita gizi buruk di Kota Medan ditemukan sebanyak 124 anak dan 1.896 anak mengalami gizi kurang. Jumlah anak yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang ini terdapat di 14 kelurahan yang dikatagorikan rawan pangan dengan jumlah keluarga miskin mencapai 2.599 kepala keluarga. Total rumah tangga rawan pangan di Kota Medan sebanyak 79.136 kepala keluarga (KK) atau 22,93% dari 345.127 KK. Kelurahan yang memiliki KK miskin adalah Kelurahan Sidomolyo, Ladang Bambu, Namo Gajah (Medan Tuntungan), Kelurahan Belawan Bahagia, Belawan Bahari, Belawan-I, Belawan II, Bagan Deli, Pulau Sicanang (Medan Belawan), Kelurahan Terjun, Paya Pasir, Labuhan Deli (Medan Marelan), dan Kelurahan Pekan Labuhan, Nelayan Indah di Kecamatan Medan Labuhan (ANALISA 27/10/11).
Fakta buruk dan kondisi mengenaskan tersebut seharusnya membutuhkan penanganan dan sentuhan ekstrim, fundamental, dan serius dari birokrat dan elit di Sumut. Dengan kata lain pemimpin, birokrat, dan politisi Sumut seharusnya melakukan sesuatu yang bersifat ‘emergency’ atau darurat untuk mengatasi hal tersebut. Kenyataannya, pemimpin, birokrat dan politisi Sumut sepanjang 2011 hanya menjalankan ritual aktivitas rutin, seremoni, dan kegiatan tebar pesona yang cenderung memanipulasi rakyat. Perubahan kepemimpinan di level propinsi, dan munculnya kepala daerah baru hasil Pilkada sepanjang 2009-2011 ternyata tidak memberi kontribusi positif terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Pemerintahan Sumut, khususnya di bawah kepemimpinan Gatot Pujo Nugroho, yang berjalan di tempat, alias tidur disebabkan oleh sejumlah hal.
Pertama, mata, hati, dan telinga pemimpin, birokrat, dan politisi di Sumut umumnya sudah buta dan tuli dengan penderitaan rakyat. Makin terlihat bahwa mereka sepertinya terjangkit penyakit bebalisme. Berulangkali didemo, diteriaki, dan dikritik namun tetap tak bergeming. Mereka tetap hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya daripada mementingkan kepentingan rakyat Sumut.
Kedua, lembaga politik formal, seperti parpol dan DPRD gagal menjalankan, bahkan bisa disebut, menghianati tugas dan fungsi utamanya melakukan agregasi, artikulasi, dan kontrol terhadap kekuasaan. Alih-alih menjalankan fungsinya secara optimal, parpol justru cenderung justru menjadi bagian dari kekuasaan yang manipulatif, dengan berperan dan terlibat sebagai kaki tangan dari kekuasaan atau bumper dari para politisinya yang bermasalah. Alih-alih menjalankan fungsi legislasi; dengan melahirkan produk Perda yang responsif dengan persoalan masyarakat, melindungi HAM, dan menyelesaikan konflik SDA, khususnya konflik tanah; menjalankan fungsi pengawasan pemerintahan yang berbobot dan berhasil guna; dan menjalankan fungsi budgeting yang lebih pro poor, DPRD justru mandul dalam legislasi, mengawasi dengan gertak sambal, dan menjadi agensi dan makelar dari proyek-proyek pembangunan. Ironisnya walau prestasinya jeblok, dan rakyat getir dan melarat, DPRD Sumut justru bergelimang ‘kemewahan’ di tahun 2011 ini. Setelah menempati gedung baru senilai ± Rp 185 miliar, anggota DPRD Sumut juga dimanjakan kemewahan mobil dinas baru bagi 60 anggotanya yang menguras uang rakyat ± Rp 15 miliar.
Ketiga, organ-organ akademik/intelektual dan lembaga agama di Sumut, yang seharusnya menjadi kekuatan moral yang independen untuk mengoreksi kekuasaan yang majal, dan menyuarakan ‘jeritan’ rakyat, ternyata juga tidur dan asyik dengan aktivitas domestiknya sendiri. Bahkan sebagian justru menjadi alat dan simbol justifikasi bagi pemimpin, birokrat, dan politisi.
Catatan Perbaikan
Sepanjang tahun 2011 apa yang disebut dengan pemerintahan yang benar dan bersih sesungguhnya absen alias tidak hadir dalam kehidupan masyarakat Sumut. Kalaupun ada, ‘kehadiran’ tersebut adalah kehadiran minimalis yang populistik seremonial untuk pencitraan, bukan kehadiran sepenuh hati dan jiwa untuk mentransformasi dan mereformasi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hukum di Sumut yang lebih adil, sejahtera, beradab, dan damai. Demokrasi lokal Sumut sedang terancam. Bukan oleh rakyat tetapi oleh elit yang memanipulasi demokrasi untuk kepentingannya. Syukurnya masyarakat Sumut bisa bertahan dan tidak terjebak ke dalam anarki dan frustrasi sosial. Hal itu disebabkan kedewasaan dan toleransi yang dimiliki masyarakat Sumut.
Kemampuan mereka untuk bertahan hidup dan bermasyarakat dengan damai, dalam iklim perilaku elit yang narsis, manipulatif, dan menjengkelkan, semata-mata ditopang oleh modal sosial yang masih dimiliki masyarakat yakni, kekeluargaan, saling menghormati, dan daya juang untuk mempertahankan hidup! Modal sosial tersebut diperkuat oleh kehadiran media massa, yang menjadi salah satu kanal sosial alternatif, bagi masyarakat meneriakkan jeritannya dan berkomunikasi melampiaskan amarahnya kepada kekuasaan. Namun daya tahan tersebut tentu saja terbatas. Selama pemimpin, birokrat, dan elite politik Sumut tidak melakukan perubahan fundamental dalam pola kepemimpinan, kinerja, dan komitmen konstitusional mereka, maka hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang.
Pertama, potensi laten ‘kemarahan’ sosial politik, seperti terjadi di Papua, Mesuji, dan Bima, tinggal menunggu waktu saja tanpa kita tahu kapan terjadi. Kedua, karena tak kunjung menghadirka keadilan dan perbaikan, politik dan hukum di Sumut akan tiba pada titik jenuh. Semua pihak pada akhirnya akan mencemooh demokrasi dan berpaling kepada kekuatan dan pola pikir anti demokrasi, apakah itu kekuatan berbasis suku/etnis, kekuatan agama/keyakinan, atau kekuatan pasar (modal).
Kami berpandangan, mengharapkan perubahan hanya pada elit di Sumut bukanlah pikiran yang cerdas. Dalam banyak hal, pemimpin, birokrat, dan elit politik di Sumut sudah bebal dan sulit untuk berubah. Namun begitu, kita masih meberi harapan agar mereka, khususnya yang memegang otoritas politik dan hukum di Sumut, segera melakukan perbaikan mendasar dalam kelima instrumen di atas. Di luar itu, menurut kami, hal lain yang tak kalah penting dan mendesak dilakukan adalah memperkuat gerakan masyarakat sipil. Agar mereka memiliki kekuatan untuk meraih, memperjuangkan, dan mempertahankan hak-haknya dan untuk menghindari anarki dan pelemahan demokrasi. Kami mendorong elemen masyarakat sipil Sumut untuk bersatu bergandengan tangan dalam solidaritas dan keberpihakan untuk keadilan, kesejahteraan, dan keberadaban Sumut. Jangan biarkan Sumut dikuasai dan dikendalikan oleh pemimpin, birokrat, dan politisi tidur alias jalan di tempat, yang membuat demokrasi semakin tekor! (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Bakumsu)