2012, Tak Ada yang Tak Bisa Kecuali Tak Mau..!

Bagikan Berita :

Bagi saya, Tumpal Sihite, SH, adalah sosok guru yang banyak mengajarkan bermacam-macam ilmu, pengetahuan dan teknik mengelola organisasi. Khususnya sekira tahun 1990 saat saya memulai derap aktivitas di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pekanbaru. Selain guru, dia juga termasuk teman yang baik dan sahabat yang tidak menjengkelkan. Tidak pelit mengeluarkan tenaga untuk ‘mendorong’ saya manakala lambat bergerak, atau segera berinisiatif ‘merem’ bila langkah ini terlalu cepat. Ketika tahun 1993-1995 saya dipercaya menjadi fungsionaris Badan Pengurus Cabang (BPC) GMKI Pekanbaru, Tumpal merupakan perpanjangan tangan Pengurus Pusat (PP) GMKI di Jakarta berkapasitas ‘panglima daerah’ atau Koordinator Wilayah (Korwil) I Pengurus Pusat (PP) GMKI, yang secara organisatoris bertanggungjawab atas geliat GMKI di wilayah Aceh,  Sumut, Sumbar dan Riau. Banyak sekali kegiatan vertikal GMKI Pekanbaru, kala itu, yang mengharuskan Tumpal datang ke Pekanbaru untuk memberikan supervisi, konseling atau pengarahan.

Dari sekian banyak kegiatan, saya mencoba mengingat-ingat dan membuka satu kenangan khusus bersama Tumpal Sihite. Diantaranya tatkala menyukseskan momentum strategis GMKI Pekanbaru dalam ajang Konperensi Cabang (Konpercab) pada tahun 1995. Secara kebetulan, saya dipercaya memimpin kepanitiaan Konpercab yang tugas intinya melaksanakan pesta demokrasi 3 tahunan. Dalam keseharian sebagai mahasiswa, otomatis waktu saya banyak tersita untuk persiapan teknis kegiatan. Berbagai persoalan dan pergumulan pun tidak sedikit muncul diluar perkiraan. Wajar, mengingat GMKI adalah organisasi kader yang mayoritas anggotanya terbiasa bebas berimprovisasi, bebas berkreasi, bebas berinovasi, memiliki idealisme moral force dan intelektual force serta bangga bersifat amatir (terbatas dana/fasilitas namun tetap militan). Nadi organisasi yang cenderung mengajak, membina, mempersatukan, membentuk, mengarahkan perilaku orang per orang, mengelola waktu pribadi, menggerakkan administrasi, menggali sumber-sumber dana, mengelola konflik, memimpin rapat, melakukan audiensi kepada aparat/pejabat/senior/tokoh masyarakat, mencari narasumber, merumuskan rancangan program hingga mencetak stempel atau kop surat sekalipun, menjadi sesuatu yang jamak diperdebatkan.

Hal-hal seperti itu bukanlah aktivitas aneh bagi kader-kader GMKI di penjuru Tanah Air. Karena sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari dan memang merupakan kurikulum pendidikan formal semenjak dini manakala diterima sebagai anggota. Pun demikian, kendati begitu kuatnya pengkaderan GMKI yang pernah saya pelajari bertahun-tahun, toh 3 hari menjelang hari ‘H’ Konpercab, sebagai Ketua Panitia saya tidak luput dari hantaman perasaan down (putus asa). Pasalnya, dana yang dikumpulkan panitia selama 1 bulan ternyata sangat minim sementara biaya besar untuk tempat dan konsumsi menuntut pembayaran 50 persen di depan. Saat-saat down seperti itu, Tumpal, yang telah beberapa hari bertandang ke Pekanbaru dan saya harapkan berinisiatif, awalnya justru tidak ambil pusing. Dia memang sengaja menunggu saya panik sambil hilir mudik bercerita tak tentu arah sambil ‘ngopi’ seenaknya di sekretariat panitia Jalan Thamrin 17 B Gobah Pekanbaru. Saya benar-benar melihat Tumpal tidak terbeban sehingga memunculkan kekesalan memuncak dan akhirnya melepaskan pernyataan pengunduran pelaksanaan kegiatan karena panitia tak bisa mengumpulkan dana secara maksimal.

Bukannya Tumpal terlihat berempati dengan keluhan saya, dia malah enteng tersenyum kecil sambil optimis mengatakan; “Bud, dalam perguruan Shao Lin, tak ada yang tak bisa kecuali tak mau”. Saya pun makin ‘gemes’ mendapati jawaban Tumpal. Singkat cerita, Tumpal akhirnya menerjemahkan definisi ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau’. Sigap memposisikan diri sebagai teman yang baik dan sahabat yang tidak menjengkelkan. Kemudian meminta saya menginventarisir keperluan mendesak panitia tanpa memusingkan dana yang tersedia di kas bendahara. Saya kembali bingung dibuatnya. Namun Tumpal kembali menyederhanakan; “bila kita mau, niscaya semua bisa dilakukan”. Sikap ‘pede’ Tumpal tersebut tiba-tiba memotivasi adrenalin saya. Masalah proposal belum terjawab, atau dana minim, sementara waktu pelaksanaan sudah ‘mepet’, bagi Tumpal sepele dan bisa dicarikan jalan keluarnya melalui upaya pengajuan ‘natura’. Artinya, Tumpal membawa saya pada tataran pemikiran permintaan bantuan ‘natura’ yang bermakna ditanggung oleh orang-orang tertentu. Saran Tumpal langsung saya aminkan. Dalam tempo 1 hari saya sudah bisa mencari ‘orang-orang tertentu’ berkompeten yang jauh-jauh hari saya anggap memiliki hubungan emosional/komunikasi baik. Apa yang dikatakan Tumpal ternyata tidak isapan jempol belaka. Membuahkan hasil karena ‘orang-orang tertentu’ yang saya konfirmasi berkenan menanggung biaya konsumsi makan, snack, hingga sewa tempat kegiatan. Konpercab akhirnya sukses terselenggara dengan menghasilkan kepengurusan baru. Menariknya, sampai tulisan ini Anda baca dan sengaja saya dedikasikan untuk mengenang Tumpal Sihite, lubuk hati yang paling dalam kesulitan menyembunyikan kekaguman terhadap wejangan ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau’. Tumpal telah mendorong saya melahirkan inspirasi luar biasa yang menuntun pada sikap improvisasi taktis menanggapi situasi sulit.


Selamat Tinggal 2011

Tanpa terasa tahun 2011 sudah terlewati. Seperti sekilas rasanya atau baru saja menolehkan leher melihat ke belakang. Padahal, cukup panjang pergumulan hidup mengiringi perjalanan waktu selama 365 hari yang menorehkan suka, duka, derita, ceria, masalah, bahkan kerisauan. Kini tahun 2012 ada di hadapan. Kalau tahun 2011 mempunyai masalahnya sendiri, sudah barang tentu tahun 2012 juga memiliki situasi lain yang sulit diprediksi. Namun pengalaman pribadi bersama Tumpal Sihite, sang guru, senior dan sekaligus sahabat, yang pada tahun 1999 telah pergi untuk selama-lamanya karena sakit mendadak, adalah nyata dan tidak mungkin lekang dari ingatan. Tumpal meninggalkan kenangan manis tanpa ikut lagi merasakan kehidupan 2012. Namun yang perlu digarisbawahi, dia berhasil menyisakan semangat/motivasi yang masih mengkristal kuat dan pantas dituliskan untuk bahan refleksi berlalunya 2011 serta bekal resolusi menapaki 2012.

Setidaknya, bila ditarik dari pesan moral cerita di atas dan sisi kekinian masyarakat secara pribadi lepas pribadi, apa yang ditinggalkan Tumpal Sihite teramat sakral dijadikan landasan untuk menembus tantangan/rintangan hidup tahun 2012, yang kemungkinan lebih kompleks dibanding 2011. Berbagai hal positif sederhana yang belum bisa atau tidak mau dilakukan pada tahun 2011, seyogyanya menuntun kelahiran kesadaran di tahun 2012. Sebut saja, mulai bisa belajar tersenyum manis di sekitar orang lain walau kondisi sulit, bisa berlatih bersabar agar bijak menanggapi masalah, mau berbagi/menebarkan kasih sehingga bisa mengerti arti kehidupan di sekitar dan berperilaku jujur supaya bisa merajut kebahagiaan. Itu masih sebagian contoh kecil saja. Mungkin jadi masih banyak kata-kata ‘bisa’ lain yang belum terbilangkan tapi sangat sering kita ganti dengan kata ‘tak mau’. Saya mau memgatakan, kata bisa sebenarnya tepat sekali dipakai untuk menghapus kebebalan perilaku alias ‘ketidakmauan’ yang membelenggu semasa tahun 2011. 

Sementara pada sisi lain, semangat ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau’ patut pula diarahkan untuk mencermati geliat aparat, pejabat dan birokrat pemerintah di daerah maupun pusat. Sangat masuk akal ! Lihat saja maraknya keluhan rakyat di penjuru Tanah Air terkait jebloknya kinerja pemerintah. Logikanya, hingga kini rakyat menunggu kemauan serius pemerintah untuk bisa ‘meletakkan kaki di sepatu orang lain’. Tentu saja kaki ‘mereka’ tidak bakal cocok disandingkan dengan sepatu milik rakyat jelata. Tapi harus dipahami, alangkah indahnya bila tahun 2012 ini ‘mereka’ mau mencoba memasukkan kakinya di sepatu orang lain, merasakan ketidakcocokan, untuk selanjutnya menanyakan diri sendiri apakah perlu berempati atas perasaan orang lain yang dizolimi saat berkuasa/menerapkan kebijakan-kebijakan sesat, kolusi, korupsi hingga perampasan hak-hak. Sehingga hal-hal prinsip yang dirindukan masyarakat selama ini dan berkorelasi erat dengan disiplin kerja, pelayanan administrasi wajar, penegakan hukum/HAM, pemberian rasa keadilan, perwujudan perdamaian tanpa diskriminasi, pengawalan keutuhan-ciptaan bahkan penghentian mental-mental korup bernuansa pembusukan budaya, bisa dilakukan serentak oleh aparat, pejabat dan birokrat pada tahun 2012.

Bukan apa-apa, teramat bijak rasanya bila komponen aparat/birokrat/pengambil kebijakan dan pejabat mau sadar serta merenungkan sejenak kalimat-kalimat di bawah ini untuk diterapkan dalam keragaman aktivitas/rutinitas masing-masing; Ketika selama ini rakyat harus ‘keringat darah’ mengurus KTP, maka sudah saatnya ‘saya’ mempermudah urusan masyarakat. Ketika selama ini ‘saya’ bisa dengan mudah mengatur semua urusan mesti uang tunai, maka saatnya ‘saya’ membuat semua urusan mesti untuk tuntas. Ketika selama ini ‘saya’ gemar mempersulit pelayanan administrasi publik, maka saatnya ‘saya’ tidak lagi berbelit-belit. Ketika tahun 2011 ‘saya’ bisa tidak punya rasa malu menggerogoti harta negara atau memeras hak-hak rakyat, maka tahun 2012 ‘saya’ harus mau menghidupkan urat malu karena berakibat fatal menjustivikasi rezeki haram untuk darah daging anak/keturunan. Dan terakhir, ketika ‘saya’ selama ini bisa sangat senang menuntut amplop dalam setiap pengurusan administrasi publik, maka kedepannya ‘saya’ harus mau dengan lantang mengatakan bahwa ‘apa yang saya kerjakan sudah menjadi tanggungjawab saya dan negara membayar saya untuk semua itu’. Lagi-lagi itu masih sebagian kecil yang terlihat kasat mata dalam proses pembusukan budaya pemerintahan kita. Karena saya pribadi sangat berkeyakinan, secuil catatan kritis yang tertuang ini akan disambut koor merdu pembenaran fakta dari rakyat Indonesia dan tidak mungkin diingkari oleh sebagian besar ‘mereka-mereka’ yang kebetulan mendapat amanah sebagai aparat/pejabat/birokrat dan pengambil kebijakan, yang sebenarnya adalah pelayan rakyat.

Akhirnya, kita semua pantas mencatat kalimat-kalimat arif dari orang-orang pintar ; ketika pekerjaan kita tidak dihargai, maka saat itu kita harus bisa belajar tentang ketulusan, ketika usaha kita dinilai tidak penting, saat itu kita bisa belajar keikhlasan, ketika hati kita terluka sangat dalam, maka saat itu kita bisa belajar memaafkan, ketika kita lelah/kecewa, maka saat itu kita bisa belajar arti kesungguhan dan bahkan ketika kita merasa kesepian atau sendiri, sebenarnya saat itu kita bisa berlatih ketangguhan. Pertanyaannya, apakah kita mau? Tetap semangat, tetap bersyukur, tetap bersabar, tetap tersenyum dan teruslah belajar. Songsong 2012 dengan aksi saling memaafkan kesalahan dan memohon maaf atas segala kekurangan. Mari mengatakan bisa sebab ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau..!’ SELAMAT TAHUN BARU 2012.

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here