Bagi saya, Tumpal Sihite, SH, adalah sosok guru yang banyak
mengajarkan bermacam-macam ilmu, pengetahuan dan teknik mengelola
organisasi. Khususnya sekira tahun 1990 saat saya memulai derap
aktivitas di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pekanbaru.
Selain guru, dia juga termasuk teman yang baik dan sahabat yang tidak
menjengkelkan. Tidak pelit mengeluarkan tenaga untuk ‘mendorong’ saya
manakala lambat bergerak, atau segera berinisiatif ‘merem’ bila langkah
ini terlalu cepat. Ketika tahun 1993-1995 saya dipercaya menjadi
fungsionaris Badan Pengurus Cabang (BPC) GMKI Pekanbaru, Tumpal
merupakan
perpanjangan tangan Pengurus Pusat (PP) GMKI di Jakarta berkapasitas
‘panglima daerah’ atau Koordinator Wilayah (Korwil) I Pengurus
Pusat (PP) GMKI, yang secara organisatoris bertanggungjawab atas geliat
GMKI di wilayah Aceh, Sumut, Sumbar dan Riau. Banyak sekali kegiatan
vertikal GMKI Pekanbaru, kala itu, yang mengharuskan Tumpal datang ke
Pekanbaru untuk memberikan supervisi, konseling atau pengarahan.
Dari
sekian banyak kegiatan, saya mencoba mengingat-ingat dan membuka satu
kenangan khusus bersama Tumpal Sihite. Diantaranya tatkala menyukseskan
momentum strategis GMKI Pekanbaru dalam ajang Konperensi Cabang
(Konpercab) pada tahun 1995. Secara kebetulan, saya dipercaya memimpin
kepanitiaan Konpercab yang tugas intinya melaksanakan pesta demokrasi 3
tahunan. Dalam keseharian sebagai mahasiswa, otomatis waktu saya banyak
tersita untuk persiapan teknis kegiatan. Berbagai persoalan dan
pergumulan pun tidak sedikit muncul diluar perkiraan. Wajar, mengingat GMKI
adalah organisasi kader yang mayoritas anggotanya terbiasa bebas berimprovisasi, bebas
berkreasi, bebas berinovasi, memiliki idealisme moral force dan intelektual force serta bangga bersifat amatir (terbatas dana/fasilitas namun tetap militan). Nadi organisasi yang cenderung mengajak, membina,
mempersatukan, membentuk, mengarahkan perilaku orang per orang,
mengelola waktu pribadi, menggerakkan administrasi, menggali
sumber-sumber dana, mengelola konflik, memimpin rapat, melakukan
audiensi kepada aparat/pejabat/senior/tokoh masyarakat, mencari
narasumber, merumuskan rancangan program hingga mencetak stempel atau
kop surat sekalipun, menjadi sesuatu yang jamak diperdebatkan.
Hal-hal seperti itu bukanlah aktivitas aneh
bagi kader-kader GMKI di penjuru Tanah Air. Karena sudah menjadi
‘makanan’ sehari-hari dan memang merupakan kurikulum pendidikan formal semenjak dini
manakala diterima sebagai anggota. Pun demikian, kendati begitu kuatnya
pengkaderan GMKI yang pernah saya pelajari bertahun-tahun, toh 3 hari menjelang hari ‘H’ Konpercab, sebagai Ketua Panitia saya tidak luput dari hantaman perasaan down (putus asa). Pasalnya, dana yang dikumpulkan panitia selama 1 bulan
ternyata sangat minim sementara biaya besar untuk tempat dan konsumsi
menuntut pembayaran 50 persen di depan. Saat-saat down seperti
itu, Tumpal, yang telah beberapa hari bertandang ke Pekanbaru dan saya
harapkan berinisiatif, awalnya justru tidak ambil pusing. Dia memang sengaja menunggu saya panik sambil hilir mudik
bercerita tak tentu arah sambil ‘ngopi’ seenaknya di sekretariat panitia
Jalan Thamrin 17 B Gobah Pekanbaru. Saya benar-benar melihat Tumpal
tidak terbeban sehingga memunculkan kekesalan memuncak dan akhirnya
melepaskan pernyataan pengunduran pelaksanaan kegiatan karena panitia
tak bisa mengumpulkan dana secara maksimal.
Bukannya Tumpal
terlihat berempati dengan keluhan saya, dia malah enteng tersenyum kecil
sambil optimis mengatakan; “Bud, dalam perguruan Shao Lin, tak ada yang
tak bisa
kecuali tak mau”. Saya pun makin ‘gemes’ mendapati
jawaban Tumpal. Singkat cerita, Tumpal akhirnya menerjemahkan definisi
‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau’. Sigap memposisikan diri sebagai
teman yang baik dan sahabat yang tidak menjengkelkan. Kemudian meminta
saya
menginventarisir keperluan mendesak panitia tanpa memusingkan dana yang
tersedia di kas bendahara. Saya kembali bingung dibuatnya. Namun Tumpal
kembali menyederhanakan; “bila kita mau, niscaya semua bisa dilakukan”.
Sikap ‘pede’ Tumpal tersebut tiba-tiba memotivasi adrenalin saya.
Masalah
proposal belum terjawab, atau dana minim, sementara waktu pelaksanaan
sudah ‘mepet’, bagi Tumpal sepele dan bisa dicarikan jalan keluarnya
melalui upaya
pengajuan ‘natura’. Artinya, Tumpal membawa saya pada tataran pemikiran
permintaan bantuan ‘natura’ yang bermakna ditanggung oleh orang-orang
tertentu. Saran Tumpal langsung saya aminkan. Dalam tempo 1 hari saya
sudah bisa mencari ‘orang-orang tertentu’ berkompeten yang jauh-jauh
hari saya anggap
memiliki hubungan emosional/komunikasi baik. Apa yang dikatakan Tumpal
ternyata tidak isapan jempol belaka. Membuahkan
hasil karena ‘orang-orang tertentu’ yang saya konfirmasi berkenan
menanggung biaya konsumsi makan,
snack, hingga sewa tempat kegiatan. Konpercab
akhirnya sukses terselenggara dengan menghasilkan kepengurusan baru.
Menariknya, sampai tulisan ini Anda baca dan sengaja saya dedikasikan
untuk mengenang Tumpal Sihite, lubuk hati yang paling dalam kesulitan
menyembunyikan kekaguman terhadap wejangan ‘tak ada yang tak bisa
kecuali tak mau’. Tumpal telah mendorong saya melahirkan inspirasi luar
biasa yang menuntun pada sikap improvisasi taktis menanggapi situasi
sulit.
Selamat Tinggal 2011
Tanpa terasa tahun
2011 sudah terlewati. Seperti sekilas rasanya atau baru saja menolehkan
leher melihat ke belakang. Padahal, cukup panjang pergumulan hidup
mengiringi perjalanan waktu selama 365 hari yang menorehkan suka, duka,
derita, ceria, masalah, bahkan kerisauan. Kini tahun 2012 ada di
hadapan. Kalau tahun 2011 mempunyai masalahnya sendiri, sudah barang
tentu tahun 2012 juga memiliki situasi lain yang sulit diprediksi. Namun
pengalaman pribadi bersama Tumpal Sihite, sang guru, senior dan
sekaligus sahabat, yang pada tahun 1999 telah pergi untuk selama-lamanya
karena sakit mendadak, adalah nyata dan tidak mungkin lekang dari
ingatan. Tumpal meninggalkan kenangan manis tanpa ikut lagi merasakan
kehidupan 2012. Namun yang perlu digarisbawahi, dia berhasil menyisakan
semangat/motivasi yang masih mengkristal kuat dan pantas dituliskan
untuk bahan refleksi berlalunya 2011 serta bekal resolusi menapaki 2012.
Setidaknya,
bila ditarik dari pesan moral cerita di atas dan sisi kekinian
masyarakat secara pribadi lepas pribadi, apa yang ditinggalkan Tumpal
Sihite teramat sakral dijadikan landasan untuk menembus
tantangan/rintangan hidup tahun 2012, yang kemungkinan lebih kompleks
dibanding 2011. Berbagai hal positif sederhana yang belum bisa atau
tidak mau dilakukan pada tahun 2011, seyogyanya menuntun kelahiran
kesadaran di tahun 2012. Sebut saja, mulai bisa belajar tersenyum manis
di sekitar orang lain walau kondisi sulit, bisa berlatih bersabar agar
bijak menanggapi masalah, mau berbagi/menebarkan kasih sehingga bisa
mengerti arti kehidupan di sekitar dan berperilaku jujur supaya bisa
merajut kebahagiaan. Itu masih sebagian contoh kecil saja. Mungkin jadi
masih banyak kata-kata ‘bisa’ lain yang belum terbilangkan tapi sangat
sering kita ganti dengan kata ‘tak mau’. Saya mau memgatakan, kata bisa
sebenarnya tepat sekali dipakai untuk menghapus kebebalan perilaku alias
‘ketidakmauan’ yang membelenggu semasa tahun 2011.
Sementara
pada sisi lain, semangat ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau’ patut
pula diarahkan untuk mencermati geliat aparat, pejabat dan birokrat
pemerintah di daerah maupun pusat. Sangat masuk akal ! Lihat saja
maraknya keluhan rakyat di penjuru Tanah Air terkait jebloknya kinerja
pemerintah. Logikanya, hingga kini rakyat menunggu kemauan serius pemerintah untuk
bisa ‘meletakkan kaki di sepatu orang lain’. Tentu saja kaki ‘mereka’
tidak bakal cocok disandingkan dengan sepatu milik rakyat jelata. Tapi
harus dipahami, alangkah indahnya bila tahun 2012 ini ‘mereka’ mau
mencoba memasukkan kakinya di sepatu orang lain, merasakan ketidakcocokan, untuk
selanjutnya menanyakan diri sendiri apakah perlu berempati atas perasaan
orang lain yang dizolimi saat berkuasa/menerapkan kebijakan-kebijakan
sesat, kolusi, korupsi hingga perampasan hak-hak. Sehingga hal-hal
prinsip yang dirindukan masyarakat selama ini dan berkorelasi erat
dengan disiplin kerja, pelayanan administrasi wajar, penegakan
hukum/HAM, pemberian rasa keadilan, perwujudan perdamaian tanpa
diskriminasi, pengawalan keutuhan-ciptaan bahkan penghentian
mental-mental korup bernuansa pembusukan budaya, bisa dilakukan serentak
oleh aparat, pejabat dan birokrat pada tahun 2012.
Bukan apa-apa, teramat bijak rasanya bila komponen aparat/birokrat/pengambil kebijakan dan pejabat mau sadar serta merenungkan sejenak kalimat-kalimat di bawah ini untuk diterapkan dalam keragaman aktivitas/rutinitas masing-masing; Ketika selama ini rakyat harus ‘keringat darah’ mengurus KTP, maka sudah saatnya ‘saya’ mempermudah urusan masyarakat. Ketika selama ini ‘saya’ bisa dengan mudah mengatur semua urusan mesti uang tunai, maka saatnya ‘saya’ membuat semua urusan mesti untuk tuntas. Ketika selama ini ‘saya’ gemar mempersulit pelayanan administrasi publik, maka saatnya ‘saya’ tidak lagi berbelit-belit. Ketika tahun 2011 ‘saya’ bisa tidak punya rasa malu menggerogoti harta negara atau memeras hak-hak rakyat, maka tahun 2012 ‘saya’ harus mau menghidupkan urat malu karena berakibat fatal menjustivikasi rezeki haram untuk darah daging anak/keturunan. Dan terakhir, ketika ‘saya’ selama ini bisa sangat senang menuntut amplop dalam setiap pengurusan administrasi publik, maka kedepannya ‘saya’ harus mau dengan lantang mengatakan bahwa ‘apa yang saya kerjakan sudah menjadi tanggungjawab saya dan negara membayar saya untuk semua itu’. Lagi-lagi itu masih sebagian kecil yang terlihat kasat mata dalam proses pembusukan budaya pemerintahan kita. Karena saya pribadi sangat berkeyakinan, secuil catatan kritis yang tertuang ini akan disambut koor merdu pembenaran fakta dari rakyat Indonesia dan tidak mungkin diingkari oleh sebagian besar ‘mereka-mereka’ yang kebetulan mendapat amanah sebagai aparat/pejabat/birokrat dan pengambil kebijakan, yang sebenarnya adalah pelayan rakyat.
Akhirnya, kita semua pantas mencatat kalimat-kalimat arif dari orang-orang pintar ; ketika pekerjaan kita tidak dihargai, maka saat itu kita harus bisa belajar tentang ketulusan, ketika usaha kita dinilai tidak penting, saat itu kita bisa belajar keikhlasan, ketika hati kita terluka sangat dalam, maka saat itu kita bisa belajar memaafkan, ketika kita lelah/kecewa, maka saat itu kita bisa belajar arti kesungguhan dan bahkan ketika kita merasa kesepian atau sendiri, sebenarnya saat itu kita bisa berlatih ketangguhan. Pertanyaannya, apakah kita mau? Tetap semangat, tetap bersyukur, tetap bersabar, tetap tersenyum dan teruslah belajar. Songsong 2012 dengan aksi saling memaafkan kesalahan dan memohon maaf atas segala kekurangan. Mari mengatakan bisa sebab ‘tak ada yang tak bisa kecuali tak mau..!’ SELAMAT TAHUN BARU 2012.