www.MartabeSumut.com, Aceh
Pendataan rumah dan bangunan akibat gempa 6,5 SR di Aceh terus dilakukan. Verifikasi tingkat kerusakan juga dioptimalkan agar dapat diklasifikasikan tingkat rusaknya yaitu rusak berat, rusak sedang atau rusak ringan. Hingga Sabtu (17/12/2016) tercatat kerusakan meliputi masjid 65, meunasah 160, ruko 357, kantor pemerintahan 30, sekolah 139, pasar 11, jembatan 83 dan jalan 88,5 Km.
Penjelasan tersebut diperoleh www.MartabeSumut.com dari Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Sabtu sore (17/12/2016). Menurut Sutopo, gempa susulan masih berlangsung hingga 120 kali sejak 7/12/2016. Namun tren gempa susulan terus mengecil. Berdasarkan catatan sejarah gempa yang berdampak pada Kabupaten Pidie Jaya, Pidie dan Bireun, lanjutnya, hal serupa pernah terjadi tahun 1940-an. Sehingga kemungkinan siklus itu muncul 70-an tahun. “Kemungkinan terjadi gempa besar lagi tidak mungkin. Masyarakat jangan kuatir karena periode ulangan gempa mungkin akan berlangsung sangat lama. Tetapi gempa-gempa kecil mungkin tetap terjadi,” terang Sutopo, mengutip Wahyu Triyoso seorang ahli gempa bumi dari ITB.
Dia yakin, sekarang yang perlu jadi perhatian adalah penilaian atau pengecekan ulang
kondisi perumahan masyarakat apakah ada kemungkinan masih bisa dipakai
atau tidak. Hal ini tentu saja harus melibatkan orang-orang yang ahli
dalam konstruksi bangunan. Diharapkan setelah ada pengecekan masyarakat yang rumahnya masih dapat ditempati bisa segera kembali
ke rumah masing-masing. “Masyarakat dapat melakukan pengecekan
mandiri secara sederhana. Cek bangunan pondasi apakah ada penurunan atau
tidak, ketegakan kolom, retakan bangunan, benda yang jatuh dibersihkan.
Bangunan lebih dari satu lantai lihat kerusakan struktural masih bagus
atau tidak. Namun disarankan pengecekan dilakukan oleh ahli agar
mendapatkan rekomendasi yang akurat,” ingatnya.
Kerusakan Akibat Banyak Faktor
Sutopo
mengatakan, kerusakan bangunan baik
pasar, rumah, masjid maupun jenis lainnya terjadi kerena banyak faktor.
Mulai dari sStruktur bangunan yang salah, besi yang tidak memenuhi
standar, tidak
ada tulangan geser hingga faktor tertentu. Faktor kualitas mutu bangunan
disebutnya bisa diketahui dari bahan kerikil yang bulat bukan batu
pecah, besi tulangan polos bukan ulir yang
menyebabkan bangunan rusak,” tegasnya sambil mengutip keterangan
Sutarji dari Kemen PU Pera di posko
utama Pidie Jaya. Dia menjelaskan, bangunan mesjid yang roboh setelah
diinspeksi
terjadi karena beban kubah yang sangat berat dan tidak ditopang pondasi
bagus. Sehingga getaran gempa mengakibatkan pondasi tidak
mampu menahan kubah yang berakibat robohnya bangunan masjid. Sutopo
mengutip pula keterangan Mansyur Insyam dari Ikatan Ahli
Kebencanaan Indonesia. Penjelasan menyangkut konsep
rumah tumbuh yang memberikan kontribusi terhadap banyaknya rumah
hancur. Pondasi dan tulangan yang di desain untuk satu tingkat, ternyata
dikembangkan oleh masyarakat hingga 2-3 tingkat. Beban ini yang tidak
dipikirkan untuk mampu ditopang oleh konstruksi yang dibangun.
Sementara percepatan getaran gempa yang telah diukur dan dianalisa oleh
BMKG
membuktikan bahwa, percepatan maksimal terjadi pada bangunan 2-3 lantai.
“Percepatan puncak terjadi pada bangun 2-3 lantai. Percepatan mencapai 5
kali dibandingkan pada pondasi,” ungkapnya.
Oleh sebab
itu, imbuh Sutopo lagi, izin pendirian bangunan yang tahan gempa
perlu mendapatkan perhatian secara khusus agar gempa yang mungkin
terjadi kelak dapat diminimalkan dampak dan korbannya. Apalagi geologi
lokasi gempa
sebagian besar adalah sedimen pasir sehingga jika terjadi gempa pasir
akan memadat menekan air dan air menekan balik yang berujung keluarnya
lumpur pada
rekahan gempa seperti yang terjadi di beberapa tempat. “Korban bukan
disebabkan gempa bumi. Tapi lantaran bangunan yang roboh tidak mampu
merespon getaran gempa,” ujarnya. (MS/RED)