18 Kali Longsor di Jembatan Sidua-dua Simalungun, DPRDSU Marah & Gebrak Meja

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) membahas 18 musibah longsor yang melanda Jembatan Kembar Sidua-dua Kec Girsang Sipanganbolon Kab Simalungun, Selasa (29/1/2019) pukul 10.30 WIB di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan. Dalam kesempatan itu, salah 1 anggota Dewan sempat marah besar sambil gebrak meja lantaran menuntut tanggungjawab berbagai instansi terkait pemerintah.

Pantauan www.MartabeSumut.com, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin Sekretaris Komisi D Burhanuddin Siregar. Tampak anggota Komisi D seperti Aripay Tambunan, Arfan Maksum Nasution dan Layari Sinukaban. Sedangkan pihak eksternal hadir E Ritonga dan RM Sipayung dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) II di Medan, Fauzi Ibsa selaku Ka UPT PKA Parapat Danau Toba Dinas LH Sumut, Efendi Pane dan Djonner ED Sipahutar mewakili Dinas Kehutanan Sumut, Kadishub Simalungun Ramadhani Purba serta Kabid Tata Lingkungan Dinas LH Pemkab Simalungun M Sirait. Sedangkan pejabat Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II Medan tidak datang. Usai mendengar paparan berbagai pihak, Sekretaris Komisi D Burhanuddin Siregar menyampaikan 3 rekomendasi. Diantaranya: mengembalikan status lahan di atas lokasi longsor sebagai kawasan hutan, BWSS II Medan jadi leading sector membenahi inti persoalan dan secepatnya menjadwal ulang RDP lanjutan dengan memanggil BWSS II Medan.

Habitat Kawasan Hutan Tidak Stabil

Anggota Komisi D Arfan Maksum Nasution menegaskan, habitat hutan di atas lokasi longsor terindikasi tidak stabil lantaran ada usaha galian C, banyak bangunan bahkan masyarakat setempat melakukan aktivitas pertanian/perkebunan. “Anak SD pun tahu kondisi hutan kita sekarang. Ekosistem hutan yang rusak berdampak pada keretakan tebing di sana,” ucapnya. Arfan Maksum meyakini, jarak 700 Meter dari kawasan hutan dan lokasi longsor bukan jauh tapi sangat dekat sekali. Sehingga berkorelasi erat terhadap daya dukung lingkungan sekitar. “Janganlah kita buang badan lagi.  Longsor di Jembatan Sidua-dua ini sudah 18 kali sejak Desember 2018 hingga Januari 2019. Semua instansi terkait wajib proaktif cari solusi,” geram politisi Partai Demokrat ini dengan nada tinggi. Hal senada disampaikan Aripay Tambunan. Bagi politisi PAN tersebut, kendati penduduk di Bangun Dolok cuma bertani/berkebun atau tidak menetap di sana, bukan mustahil ikut memicu kerusakan ekosistem hutan. Apalagi ada usaha galian C di atas perbukitan.  “BWSS II Medan perlu kita tanya tapi mereka gak hadir. Apa sebenarnya masalah utama di hulu ?  Kalo sudah 18 kali longsor, maka jangan main-main kita,” imbaunya. Aripay pun mengusulkan agar status Area Penggunaan Lain (APL) dikembalikan jadi kawasan hutan lindung. Pemkab juga dimintanya serius menutup usaha galian C di atas bukit. “Tolong Pemkab Simalungun membuat edaran menghentikan operasi galian C. Jangan lagi ada cerita galian C. Sebatang ranting dan pohon tak boleh diambil dari sana. Kita bersyukur ada sumber air di atas bukit tapi kita malah tak bisa kelola. Kembalikan jadi kawasan hutan,” cetusnya.

Gebrak Meja

Sikap lebih keras ditunjukkan Layari Sinukaban. Bukan apa-apa, tepat pukul 12.05 WIB, Layari menggebrak meja sambil bicara dengan kemarahan tinggi menatap semua pejabat yang hadir. “Saya sungguh-sungguh prihatin. Sedemikian banyak instansi namun mana tanggungjawab kalian ? Tanggungjawab itu adalah gaji yang bapak-bapak terima. Prakk……,” cetus Layari sembari memukul meja dan berdiri. Politisi Partai Demokrat itu menegaskan, masalah keutuhan habitat hutan menyangkut masa depan generasi milenial bangsa yang patut dijaga melalui tanggungjawab nyata. Khususnya Pemkab Simalungun sebagai pemerintah daerah. Layari berharap, semua unsur pemerintah berkoordinasi mengatasi kerusakan yang menimbulkan musibah longsor. “Jangan biarkan longsor terjadi terus akibat daya dukung hutan hancur dan tebing perbukitan retak-retak. Jadi berita buruk bagi Sumut dan kawasan wisata Danau Toba. Rugi kita semua,” akunya. Layari juga meminta pejabat Pemkab Simalungun menyampaikan kemarahannya kepada Bupati Simalungun JR Saragih. “Bilang sama Pak JR Saragih ya, bilang saya Layari Sinukaban. Jangan bikin malu Pemkab Simalungun. Kalian yang punya otoritas. Sedemikian pentingnya masalah ini demi keselamatan generasi. Tutup saja rapat kita ini. Tanggungjawab kalian atas musibah longsor itu,” jerit Layari.

Boleh Dijadikan Kawasan Hutan

Masih pengamatan www.MartabeSumut.com, menanggapi kekesalan legislator, pejabat Dinas Kehutanan Sumut Efendi Pane menyatakan, lokasi longsor bukan kawasan hutan. “Tidak pernah lokasi itu dijadikan kawasan hutan,” katanya. Namun karena kawasan tergolong sudah lama, Efendi tidak mengingkari bisa saja ada aktivitas dan hak keperdataan warga lokal. Dia pun menerima usulan menjadikan areal sebagai kawasan hutan lindung. “Tapi harus ada proses. Pemkab Simalungun perlu lihat RTRW dulu supaya bisa dikunci. Kami siap kalo memang DPRDSU meminta dijadikan kawasan hutan,” ucap Efendi. Sementara, Fauzi Ka UPT Parapat Dinas LH Sumut, mengaku sudah naik ke atas melihat situasi kawasan hutan. “Memang terjadi retakan tanah. Banyaknya musibah longsor di Jembatan Sidua-dua itu sangat berpengaruh pada kualitas air Danau Toba. Kami sudah koordinasi dengan Pemkab Simalungun. Kami lihat ada galian C di atas. Banyak retakan di atas,” ungkap Fauzi. Kabid Tata Lingkungan Dinas LH Pemkab Simalungun, M Sirait, membenarkan pemicu longsor dari atas bukit. Bila yang di atas tidak ditangani, Sirait memastikan sia-sia saja penanganan di bawah. “Titik persoalan longsor dari atas. Area di sana harus diperketat tingkat konservasinya. Aktivitas penduduk sedikit di sana lantaran merupakan area tangkapan air. Kondisinya memang banyak pohon tumbang,” terangnya. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here