www.MartabeSumut.com, Medan
Pemilihan kepala daerah (KDh) serentak 2020 memasuki tahap persiapan pendaftaran pasangan calon (Paslon) gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota di 270 daerah. Yakni 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota se-Indonesia. Menurut UU No. 10 Tahun 2016, Pilkada serentak telah dimulai sejak tahun 2015, 2016, 2017 dan 2018. Kemudian disusul tahun 2020. Sedangkan Pilkada serentak 2024 akan diikuti seluruh daerah pada tahun 2020, 2022 dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada serentak 2020 hanya menjabat empat (4) tahun saja.
Baca juga: Maju Pilkada ASN & Legislator Wajib Berhenti, Dosen UMSU Sebut Indonesia Krisis Kepemimpinan
Penjelasan tersebut disampaikan pengamat sosial politik asal Sumut Drs Thomson Huasoit (foto) kepada www.MartabeSumut.com, kemarin. Menurut Thomson, terkait Pilkada 2022 dan 2023, akan dipilih pejabat KDh untuk mengisi kekosongan jabatan sambil menunggu Pilkada serentak 2024. Sehingga Pilkada serentak 2024 bakal memunculkan beberapa situasi yang tergolong mengejutkan. Diantaranya: terjadi pemangkasan masa jabatan serta berlaku sistem kompensasi atas pemangkasan masa jabatan periode 2020-2025 selama 1 tahun. Alasannya, terang Thomson, Pilkada serentak dilaksanakan tahun 2024. Artinya, KDh yang seyogianya melaksanakan Pilkada pada tahun 2022 dan 2023 berimplikasi atas penunjukan pejabat kepala daerah hingga Pilkada serentak 2024 digelar. “Hal ini tentu perlu dipahami secara paripurna oleh Paslon kepala daerah agar benar-benar mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Apalagi, konsekuensi perubahan Pilkada serentak sangat mempengaruhi kewenangan dan keuangan KDh bersangkutan,” terangnya, via saluran WhatsApp.
Baca juga: Ada Ribuan Tenaga Honor di Pemprovsu, Dosen UMSU Medan Sebut 5 Masalah Serius & Kegagalan Pemprovsu
Pemotongan Jabatan tak Bikin Happy KDh
Thomson memperkirakan, sudah jadi rahasia umum, gaji KDh sangatlah minim tapi kewenangannya amatlah besar. Karena itu, pemotongan masa jabatan tentu saja tidak membuat happy kepala daerah. Dari berbagai data dan fakta empirik, ungkap Thomson lagi, terjeratnya KDh ke penjara dalam kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana diberitakan media massa cetak, elektronik maupun media sosial (medsos), tidak bisa dipungkiri akibat aneka penyelewengan jabatan, bancakan APBD, komisi proyek, suap pengangkatan jabatan struktural, penerbitan ijin menyimpang serta beragam penyelewengan kekuasaan lain. Realitas itu membuktikan bahwa KDh tidak mengharapkan besaran gaji semata tatkala mengejar jabatan.
Baca juga: Sujamrat Tsk Sirkuit Tartan, DPRDSU Pertanyakan Pengawasan Kadispora Sumut Baharuddin Siagian
Thomson meyakini, bercermin pada kasus tindak pidana korupsi KDh di Indonesia, maka Pilkada serentak 2020 seharusnya dijadikan pelajaran berharga untuk “menghadirkan pemimpin daerah selaku pelayan rakyat” yang andal dan mumpuni. “Kepala daerah adalah pelayan atau “parhobas” untuk rakyat. Bukan malah merasa penguasa yang komandonya harus dihormati dan diagung-agungkan. Rakyat-lah pemegang kedaulatan negeri ini. Paradigma pemerintahan Pamong Praja adalah pemimpin pelayan atau “parhobas” buat rakyat. Amat sangat keliru besar dan sesat pikir bila masih ada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota memposisikan diri sebagai penguasa di hadapan rakyatnya,” ingat Thomson dengan nada tinggi. Rakyat Pemilih Patut Selektif Oleh sebab itu, semenjak dini, sebagai pemegang kedaulatan hak pilih, Thomson mengimbau rakyat benar-benar selektif memilih dan memilah Paslon KDh berdasarkan rekam jejak kinerja (track record). Jeli menelisik rekam jejak setiap Paslon KDh mulai dari bersih, jujur, berani, kompeten, mumpuni, kredibel, profesional, visioner, inovatif, kreatif, akuntabel, demokratis, berintegritas, menjaga Pancasila/NKRI serta mempersatukan kemajemukan rakyat.
Bagi Thomson, memahami rekam jejak dan penelusuran karakter masa lalu seorang kandidat KDh sungguh amat sangat diperlukan. “Menurut Stephen P Robbins (2009), prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu. Hal itu pula yang membuat napi korupsi tidak pantas diusung/didukung jadi kandidat KDh sekalipun UU tidak melarang. Pasalnya, jika kelak Paslon KDh terpilih, maka mereka harus tampil sebagai pelayan rakyat. Bukan pamer berseragam sosok penguasa,” tutup Thomson Hutasoit blak-blakan. (MS/DEKS)