www.MartabeSumut.com, Medan
Forum Musda X Partai Golkar Sumatera Utara (Sumut) telah mulus menetapkan aklamasi Yasyir Ridho Lubis sebagai Ketua Partai Golkar Sumut masa bakti 2020-2025, Senin (24/2/2020) di Hotel JW Marriot Jalan Putri Hijau Medan. Anehnya, hasil Musda langsung di-complain pengurus DPP Partai Golkar Azis Syamsuddin dan Meutya Hafid. Musda bahkan dianggap cacat hukum oleh Waketum DPP Partai Golkar Azis Syamsuddin lantaran merasa “ditelikung”. Azis kekeh menyatakan mandat membuka Musda diberikan Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto kepada dirinya dan bukan untuk koleganya Ahmad Doli Kurnia Tanjung (Waketum DPP Partai Golkar).
BACA LAGI: Walau DPP Complain, Forum Musda X Partai Golkar Sumut Muluskan Yasyir Ridho Lubis Aklamasi
Keanehan berikut, sesuai informasi dihimpun www.MartabeSumut.com dari beberapa peserta Musda X Partai Golkar Sumut, Senin siang (24/2/2020) di Hotel JW Marriot Medan, memang tak 1 pun mengakui melihat, mendengar dan mengetahui surat mandat resmi 3 fungsionaris DPP Partai Golkar yang menghadiri Musda (Waketum Ahmad Doli Kurnia Tanjung dan Wasekjen Mustafa Raja). “Tiga DPP yang datang gak memberitahukan dan tidak menunjukkan surat mandat DPP Partai Golkar. Mau kita tanya kan gak etis, harusnya ya disampaikan terbuka sejak awal. Gitu etikanya,” beber seorang peserta di arena Musda, kemarin, sembari meminta namanya tidak ditulis.
Tiga Persoalan Musda X Golkar Sumut
Menanggapi dinamika itu, akademisi USU Medan Dr Faisal Akbar Nasution membedah 3 persoalan seputar Musda X Partai Golkar Sumut. Diantaranya, pertama, belum ada sikap tegas DPP Partai Golkar melalui Ketum Airlangga Hartarto terkait legalitas Musda X Partai Golkar Sumut berikut produk keputusannya. Kedua, kegagalan DPP Partai Golkar dan DPD Partai Golkar Sumut menghadirkan beberapa kader internal dalam suksesi Musda X Partai Golkar Sumut karena sosok aklamasi tidak mencerminkan demokratisasi Parpol. Ketiga, kegamangan Partai Golkar menyahuti kemunculan outsider (pendatang) Wagubsu Musa Rajekshah alias Ijeck yang dikabarkan berujung “konflik” internal atas keluarnya diskresi (kebijakan) Ketum DPP Partai Golkar.
Kepada www.MartabeSumut.com, Selasa siang (25/2/2020), Dr Faisal menjelaskan, Musda merupakan forum demokrasi tertinggi Partai Golkar Sumut yang memiliki rujukan hirarki dari DPP Partai Golkar. Pelaksanaan Musda Provinsi hingga pengesahan produk Musda disebutnya terikat aturan dan disiplin organisasi pada level atas. Kalau mandat 3 DPP yang datang tidak jelas, Dr Faisal menganggapnya aneh sekali dan harus diklarifikasi. “Kan Golkar Parpol paling lama berdiri dibanding Parpol lain ? Sejak 1973 udah ikut Pemilu. Masak memberi contoh kehidupan organisasi (surat mandat) tanpa jenjang yang jelas ? Apakah boleh siapa saja membuka Musda ? Kan jadi liar,” heran Dr Faisal melalui saluran telepon. Dosen Fakultas Hukum ini mengatakan, jika benar 3 fungsionaris DPP Partai Golkar yang hadir bukan penerima mandat DPP Partai Golkar untuk membuka agenda Musda X Partai Golkar Sumut, maka secara politik etis Musda X Partai Golkar Sumut tidak sah. “Hemat saya ya tidak sah. Kan tidak ada representasi DPP secara resmi ? DPP kan banyak ? Yang buka Musda harus jelas dan tegas. Siapa sebenarnya diutus DPP Partai Golkar ? Kalo Ketum gak bisa, diutus dong orang yang dipercaya sesuai struktur organisasi,” terangnya. Dr Faisal mempertanyakan pula mekanisme Musda yang tergolong penting namun justru diabaikan DPP sehingga memicu polemik. Ketum DPP Partai Golkar disarankannya tegas sebab unsur DPP seyogianya menyatu dan bukan terkotak-kotak. Kendati ada rekayasa untuk pencapaian tujuan tertentu, toh dia memastikan mekanisme dan tahapan organisasi wajib merujuk AD/ART dan peraturan organisasi Parpol. “Musda X Partai Golkar Sumut memang telah usai. Tapi Ketum Partai Golkar harus menyatakan apakah Musda itu legal atau ilegal ? Supaya produknya tidak dianggap cacat hukum,” ingat Dr Faisal.
BACA LAGI: Pilkada Asahan 2020, Nurhajizah Marpaung & Hendri Siregar Daftar ke Golkar
Aklamasi, Kegagalan Musda Golkar Sumut
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU ini melanjutkan, 1 sosok aklamasi hasil Musda X Partai Golkar Sumut tetap boleh-boleh saja walau sebenarnya cermin kegagalan. Menurut Dr Faisal, pengalaman Partai Golkar melahirkan pimpinan Parpol dan pemimpin daerah ternyata belum cukup mumpuni dalam menepis dampak negatif kompetisi internal yang rentan perpecahan tatkala gagal bersaing. Dia pun mencontohkan kontestasi nasional Partai Golkar saat Edy Sudrajat kalah melawan Akbar Tanjung. Edy Sudrajat malah kabur mendirikan PKPI. Begitu pula ketika Surya Paloh kalah dari Aburizal Bakrie. Lagi-lagi Surya Paloh lengser meninggalkan Golkar dan mendirikan Partai NasDem. Termasuk persaingan antara Bamsoet dengan Airlangga Hartarto yang berujung negosiasi politis aklamasi demi keutuhan Golkar kedepan. Artinya, timpal Dr Faisal lagi, realitas tersebut harusnya tidak jadi pembusukan budaya kekhawatiran parah (perpecahan) dalam setiap ajang suksesi Partai Golkar pada aras lokal maupun nasional. Andaikan sosok aklamasi dilegitimasi sebagai alat propaganda mengantisipasi perpecahan barisan sakit hati internal partai (yang kalah), Dr Faisal menyarankan kader Partai Golkar mutlak belajar bersikap dewasa, legowo usai kontestasi serta siap dirangkul oleh struktur pemenang. Bukan malah “recok” diluar struktur dan mulai bergerak kalau muncul cantolan kuat di jajaran pusat atau daerah. Biasanya, merujuk fakta empiris, Dr Faisal mengaku melihat figur-figur Partai Golkar yang tidak legowo itu dominan hijrah ke “habitat” 3 organisasi pendiri (Tri Karya) MKGR, SOKSI dan Kosgoro. Selanjutnya aktif memantau-mantau dari luar Partai Golkar sembari menunggu kesempatan tepat masuk kembali. “Saya rasa contoh beginian kurang baik ya. Apalagi kalo kita berani menyebut Golkar sebagai partai kader dan modern. Sosok aklamasi memang memungkinkan untuk menjaga tak muncul perpecahan dan menguatkan kondusifitas. Tapi saya lebih yakin bila cuma 1 sosok muncul dalam suksesi besar semisal Musda, jelas sekali elite Partai Golkar pusat dan daerah gagal melakukan kaderisasi, pendidikan politik sehat bahkan rekrutmen kepemimpinan. Kader-kadernya juga kurang dewasa berpolitik. Kalah menang kan biasa. Itulah kedewasaan berpolitik di Parpol,” tegasnya.
Sikapi Outsider, Jangan Latah Diskresi
Menyinggung kemunculan outsider Wagubsu Musa Rajekshah (Ijeck) yang sempat disebut-sebut akan mendaftar Ketua Partai Golkar Sumut dan menunggu diskresi Ketum DPP Partai Golkar, Dr Faisal menyerukan setiap Parpol sebaiknya tidak latah bicara diskresi karena istilah itu hanya ranah lembaga eksekutif. Lalu, bagaimana pendapat Anda bila elite dan kader Partai Golkar di Sumut menolak outsider (Ijeck) untuk jabatan strategis ketua karena melangkahi ketentuan jenjang formal ? Dr Faisal terdiam sejenak. Bagi dia, latar belakang politik Ijeck sangat masuk akal demi memperkuat posisi jabatan yang diemban saat ini. Istilah diskresi dianggapnya cukup kental muatan kepentingan akibat performance Ijeck bukan kader dan tak pernah menjabat pengurus Partai Golkar Sumut. “Mungkin orang daerah ingin internal Partai Golkar Sumut yang jadi ketua. Tapi normal juga ketika elite DPP Golkar atau sebagian elite Golkar Sumut “memaksa” menggolkan Ijeck berdasarkan kapasitas/kapabilitasnya Wagubsu. Dulu pun dia jadi Wagubsu kan didukung Golkar ? Pamannya Ajib Shah juga mantan Ketua Partai Golkar Sumut,” singkapnya.
Semenjak dini, simpul Dr Faisal, sikap gamang DPP Partai Golkar menyahuti outsider bisa dilatarbelakangi kematangan organisasi memetakan aroma untung dan rugi. Kendati demikian dia percaya, setiap Parpol dan Ormas kader patut konsisten menerapkan model rekrutmen kepemimpinan sesuai roh ketentuan, peraturan organisasi serta AD/ART masing-masing. Sebab akan janggal rasanya hanya gara-gara mengakomodir seorang calon ketua (outsider) dalam Musda, berimbas pada perpecahan, pelanggaran AD/ART bahkan perubahan aturan organisasi secara suka-suka. “Kan baru kemarin Munas Partai Golkar ? Ikuti aja aturan hasil Munas. Mohon dicatat ya, istilah diskresi hanya dalam pemerintahan. Bukan Parpol atau Ormas. Gak ada wibawa Parpol Golkar nanti jika bicara diskresi. Jangan jadi bias dibawa kemana-mana semau hati. Istilah itu sakral. Legislatif dan judikatif aja tak pakai istilah diskresi. Namanya saja kebijakan pemerintahan diluar peraturan per-UU. Kalo pun hakim gunakan satu putusan diluar per-UU, itu disebut yurisprudensi. Menurut saya latah istilah diskresi dipakai karena bermotif kepentingan politis,” tutup dosen yang juga mengajar di Fakultas Hukum UDA Medan tersebut.
Yasyir Ridho Lubis PHP
Terpisah, Ketua terpilih hasil Musda X Partai Golkar Sumut, Yasyir Ridho Lubis, saat dikonfirmasi www.MartabeSumut.com, Selasa siang (25/2/2020), awalnya menyatakan setuju untuk diwawancarai. Tapi ternyata Yasyir Ridho Lubis tergolong pemberi harapan palsu (PHP). “Nantilah ya, saya lagi mau ke kamar mandi ini. Kira-kira setengah jam lagi telepon ya,” jawab Ridho. Setelah 30 menit berlalu, www.MartabeSumut.com kembali menghubungi Ridho. Namun 3 kali ponselnya dihubungi, yang terdengar hanya nada panggil. Yasyir Ridho Lubis tidak mengangkat telepon lagi. (MS/BUD)