MartabeSumut, Medan
Anggota Fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Hardi Mulyono mensinyalir, gara-gara pimpinan DPRDSU dan Badan Anggaran (Banggar) berkinerja lemah, maka tidak sedikit dana Bantuan Daerah Bawahan (BDB) terindikasi jadi ajang konspirasi suap atau korupsi.
Menurut dia, ada aktor intelektual di balik persoalan hukum yang menjerat Bupati Mandailing Natal (Madina) Hidayat Batubara terkait dana BDB. Hardi mengatakan, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebaiknya tidak berhenti melakukan pengusutan meskipun saat ini lembaga ‘super body’ itu telah berhasil meringkus 3 orang tersangka dari kasus tersebut yakni Bupati Madina, Plt Kadis PU dan investor. “Saya yakin ada aktor intelektual di balik persoalan itu. Karena diduga BDB memang sudah bermasalah dari mulai proses penetapan angka yang akan disalurkan ke kabupaten/kota. Kita yakin dalam proses penetapan juga telah ada praktik suap dan sarat dengan muatan politis,” ujarnya kepada Pers di gedung Dewan, kemarin.
Anggota Komisi B DPRDSU ini membeberkan, dari Rp. 8.6 Triliun lebih dana APBD Sumut, sebanyak Rp. 2.4 Triliun merupakan anggaran untuk BDB. Namun penetapan alokasi dana BDB ke kabupaten/kota disebut dia mengundang kecurigaan terkait diskriminasi pembagian. “Sebab ada kabupaten yang cukup signifikan mendapat jatah BDB sedangkan kabupaten/kota lain mendapat bagian anggaran yang minim, ungkapnya. Hardi Mulyono menjelaskan, DPRDSU khususnya pimpinan Dewan dan Panitia Anggaran merupakan instansi yang paling bertanggungjawab apabila terjadi kesalahan dalam penetapan distribusi dana BDB ke kabupaten/kota tersebut. “Jika nanti terbukti terjadi kesalahan dalam penetapan dan distribusi dana BDB, tentunya pimpinan maupun panitia anggaran DPRDSU yang patut dipersalahkan. Karena BDB sebelumnya dibahas di instansi legislatif,” akunya.
Pada sisi lain, kata Hardi, pimpinan maupun anggota banggar DPRDSU kurang kritis dan terkesan lemah dalam memahami proses rincian penetapan alokasi jumlah anggaran BDB ke kabupaten/kota di Sumut. Hardi bahkan menilai rincian BDB tidak mengacu berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk dan indeks pembangunan daerah kabupaten/kota. “BDB ditetapkan hanya berdasar fikiran subyektif gubernur pribadi. Sehingga mengundang kecurigaan yang sarat muatan politis apalagi disusun menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),” sindirnya. Ironisnya lagi, imbuh Hardi, proses penyusunan BDB hanya ditetapkan melalui Peraturan Gubernur dan tidak menggunakan Peraturan Daerah (Perda). “Jadi kita curiga ada permainan sejak masih dalam proses penetapan. Kita harap KPK turun dan terus mengusut persoalan BDB di Sumut ini sampai tuntas,” imbaunya.
Tidak Ada Formulasi Baku
Di tempat terpisah, Ketua Komisi C DPRDSU Zulkarnain, berpendapat, persoalan alokasi dana BDB ke kabupaten/kota mencuat akibat tidak adanya formulasi aturan yang baku dalam penetapan distribusi anggaran tersebut. “Kriteria dalam penetapan BDB murni berdasarkan komunikasi antar kepala daerah dengan Pemprov dan DPRDSU,” kata Zulkarnain. Lebih lanjut dikatakannya, apabila kepala daerah kurang komunikasi kepada Pemprov dan DPRDSU, maka menjadi salah satu penyebab kecilnya anggaran BDB yang distribusikan ke masing-masing kabupaten/kota tersebut.
Mencermati kondisi itu, politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyatakan pihaknya di Komisi C DPRDSU segera menggelar rapat di internal komisi. “DPRD Sumut harus segera membuat formulasi baku tentang penetapan BDB guna memenuhi rasa keadilan dalam penyaluran BDB,” katanya. Informasi dihimpun MartabeSumut di gedung DPRDSU, persoalan ketidakadilan dalam distribusi dana BDB ke kabupaten/kota di Sumut yang disalurkan oleh Pemprovsu, sebelumnya memang telah mengundang kasak-kusuk di internal wakil rakyat DPRDSU. Beberapa anggota DPRDSU mengeluh karena di kabupaten/kota yang menjadi daerah pemilihan (dapil), justru mendapatkan porsi BDB yang sangat kecil. Sedangkan pada daerah lainnya tidak sedikit yang mendapatkan alokasi dengan jumlah yang signifikan.
Persoalan BDB di Sumut semakin mencuat menyusul ditangkapnya Bupati Madina Hidayat Batubara dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh penyidik KPK terkait kasus suap proyek alokasi BDB Tahun Anggaran 2013. Penyidik KPK juga turut membawa Surung Panjaitan (kontraktor) dan Plt Kadis PU Khairil Anwar yang diduga ikut terjerat kasus tersebut setelah memberikan suap sebesar Rp. 1 Milliar ke Hidayat. Sementara itu, sebagaimana diketahui, Kabupaten Madina mendapat porsi BDB cukup besar senilai Rp79,975 Miliar.
Ini Dia Jatah Dana BDB untuk 33 kab/kota di Sumut TA 2013
Berdasarkan data dari APBD Sumut TA 2013, pembagian dana BDB di 33 Kabupaten/Kota di Sumut disinyalir telah bermuatan diskriminasi. Ada Kabupaten yang sangat kecil mendapatkan alokasi BDB dan ada daerah yang mendapat anggaran yang cukup signifikan. Faktanya bisa dilihat sesuai data berikut. Kabupaten Nias Barat hanya memperoleh Rp. 1,321 Miliar, Kabupaten Nias Rp. 2,986 Miliar, Kabupaten Samosir Rp. 3,673 Miliar.
Sementara daerah yang paling besar memperoleh dana BDB meliputil; Kabupaten Asahan Rp. 425,662 Miliar, Kabupaten Labura (Labuhan Batu Utara) Rp. 211,838 Miliar, Tapteng Rp. 197,339 Miliar, Paluta (Padang Lawas Utara) Rp. 169,888 Miliar, Tobasa Rp. 167,846 Miliar, Batubara Rp. 151,851 Miliar, Sergai (Serdang Bedagai) Rp. 101,343 Miliar lebih, Langkat Rp. 100,689 miliar. Kemudian Kotamadya Medan hanya memperoleh Rp. 10,728 Miliar. Padahal selama ini Medan memperoleh dana BDB terbesar dari 33 Kabupaten/Kota di Sumut karena memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sangat signifikan. Selanjutnya Kabupaten Gunung Sitoli Rp. 11,728 Miliar, Deliserdang Rp. 14,427 Miliar, Pakpak Bharat Rp. 19,867 Miliar dan Dairi Rp. 21,068 Miliar.
Sedangkan Kabupaten Nias Utara memperoleh Rp. 25,761 Miliar, Pematang Siantar Rp. 36,420 Miliar, Humbahas (Humbang Hasundutan) Rp. 45,328 Miliar, Sibolga Rp. 50,781 Miliar, Nias Selatan Rp. 52,120 Miliar, Palas (Padang Lawas) Rp. 55,811 Miliar, Padangsidempuan Rp. 58,204 Miliar. Selanjutnya Kab Labusel memperoleh Rp. 61,284 Miliar, Simalungun Rp. 70,493 Miliar, Tanah Karo Rp. 76,374 Miliar, Taput Rp. 78,252 Miliar, Madina Rp. 79,975 Miliar, Tanjung Balai Rp. 85,534 Miliar, Tapsel Rp. 89,291 Miliar, Tebing Tinggi Rp. 90,734 Miliar, Labuhanbatu Rp. 91,523 Miliar dan Kota Binjai Rp. 92,929 Miliar. (MS/Rel/GOLFRID)