Rakyat Tidak Yakin Suaranya Dihitung dalam Pemilu

Bagikan Berita :

MartabeSumut, Medan

Tepat 6 hari lagi pentas Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014 akan digelar di Indonesia. Namun ironisnya, tidak sedikit kalangan yang bersuara minor terhadap agenda 5 tahunan negara untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) itu. Umumnya menyatakan alasan sumbang semisal tidak yakin dengan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), siapapun yang dipilih keadaan tetap sama saja dan suara yang diberikan tidak bakal dihitung dalam Pemilu.

Beberapa sumber yang dikonfirmasi MartabeSumut, Selasa (1/4/2014), secara tegas menolak keikutsertaan untuk memberikan hak pilih di tempat pemungutan suara (TPS). “Gak ada gunanya memilih, situasi aku tetap gini-gini aja kok,” kata Boby (19), mahasiswa semester II Jurusan Teknik Sipil salah satu perguruan tinggi swasta di Medan. Selain apatis terhadap perubahan berarti, Boby berkeyakinan pula kalau kinerja KPU sangat dicurigai berpihak pada kekuatan Parpol tertentu sehingga suara rakyat cenderung dibuat tidak jelas. “Aku tak yakin suara aku dihitung secara benar dalam Pemilu. Banyak sekali contoh kalau suara diselewengkan oknum KPU dan pihak-pihak tertentu,” tegasnya, sembari mengungkapkan, tahun 2014 menjadi tahun ke-2 memutuskan tekad sebagai golongan putih (Golput). “Lebih baik gak milih, itukan hak politik warga negara yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun,” timpalnya lagi.

Hal senada dilontarkan Herman S (36), warga Jalan Bakti Medan. Bapak beranak 2 yang sehari-hari bekerja sebagi sopir, itu memastikan, dirinya tidak percaya sedikitpun dengan kelembagaan KPU selaku penyelenggara Pemilu. “Saya memang sopir. Tapi saya banyak belajar dari pemberitaan-pemberitaan media massa. Kalau orang-orang yang didudukkan di KPU saja merupakan titipan penguasa, ya sama saja Pemilu tidak pernah jujur, adil, langsung, bebas, rahasia dan demokratis,” sesalnya. Kendati mengakui tidak terlalu mengikuti perkembangan politik, namun Herman menyatakan bisa merasakan Pemilu yang dilaksanakan nanti sama saja dengan Pemilu sebelumnya. “Banyak kecurangan, permainan serta aksi tipu sana tipu sini. Rakyat dibodoh-bodohi terus dengan janji Parpol maupun Caleg-caleg yang sebatas mencari kekuasaan. Saya sangat meragukan suara saya dalam Pemilu disalurkan sesuai pilihan saya,” terang Herman, seraya menambahkan, sikap Golput atau tidak akan diputuskan pada saat Pemilu 9 April 2014 digelar.  Sedangkan Andre (18), siswa Kelas III salah satu SMU Negeri di Medan, menjelaskan tidak tertarik datang ke TPS pada 9 April 2014. “Mending tidur di rumah. Tak ada untungnya kok sama awak,” tegas Andre singkat.

Rakyat Tidak Yakin Suaranya Dihitung dalam Pemilu

Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerhati Sosial Politik (Sospol) Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, memastikan, fakta empiris membuktikan bahwa saat ini rakyat Indonesia tidak yakin suaranya dihitung dalam setiap pentas Pilkada, Pileg hingga Pilpres. Penyebabnya disebut Shohibul lantaran keberadaan Komisioner KPU pusat, provinsi dan kab/kota tidak bekerja seperti lembaga perbankan. Kemudian terindikasi dipengaruhi kekuasaan, tidak amanah dan tidak jujur dalam mempersiapkan penyelenggaraan pentas demokrasi. “KPU belum mampu memberi pembelajaran politik berharga bagi rakyat Indonesia. KPU tidak pula belajar bercermin kepada lembaga perbankan yang semua nasabahnya percaya kalau uangnya tersimpan melalui sistem yang akuntable. KPU masih sebatas membuat warga negara pusing sehingga rakyat semakin tidak pernah yakin bahwa “uangnya” (suara-Red) akan dihitung jujur dalam tabungan (Pemilu-Red). Kembalikan saja KPU seperti tahun 1955 dan 1999 yang penyelenggaran Pemilu dilakukan Parpol selaku anggota KPU,” imbau Shohibul.

KPU Lembaga Pura-pura Independen

Pada sisi lain, KPU yang ada saat ini dipercaya Shohibul hanyalah lembaga penyelenggara Pemilu yang pura-pura independen. Dosen Sosiologi Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan itu pun mencontohkan KPU tahun 1955 dan tahun 1999, sebagai penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang tergolong cukup demokratis tanpa berbagai indikasi kecurangan. Bagi Shohibul, Pemilu tahun 1955 dan tahun 1999 diselenggarakan KPU namun memiliki komisioner dari Parpol. “Selain tahun 1955 dan tahun 1999, keberadaan komisioner KPU telah disusupi unsur akademisi, peneliti dan birokrat, yang notabene personifikasi kepentingan penguasa,” yakinnya. Dijelaskan dia lagi, fungsi KPU semakin tidak jelas menyeruak deras sejak Pemilu 2004, 2009 dan bakal menimbulkan bencana pada Pemilu 2014. Makanya, sedari awal pemilihan dan pengangkatan Tim Seleksi (Timsel) KPU, Shohibul sudah melihat berbagai kekuatan tarik-menarik untuk mendudukkan anggotanya di Komisioner KPU. “Sekali lagi, KPU cuma lembaga pura-pura independen dengan menempatkan unsur akademisi, peneliti dan birokrat. Bagaimana mungkin KPU independen bila Timsel yang merekrut anggota KPU saja sudah dipengaruhi kekuasaan semenjak dini. Jadi tidak ada KPU yang independen kecuali pura-pura independen,” sindirnya tertawa-tawa, tatkala dikonfirmasi MartabeSumut via ponselnya.  

Komisioner KPU dari Parpol

Oleh sebab itu, semenjak dini, Shohibul menyarankan fungsi dan keberadaan komisioner KPU se-Indonesia dikembalikan seperti tahun 1955 dan tahun 1999 agar mampu berjalan konsisten serta tidak pura-pura independen. Bila Parpol menjadi komisioner KPU, imbuhnya lagi, tentulah sangat mustahil terjadi pencurian suara, tidak terjadi pergantian nama Daftar Calon Tetap (DCT) Caleg yang sudah disahkan, tidak ada penggelapan maupun manipulasi suara dan minus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak memenuhi syarat (TMS). “Ya siapa Parpol yang mau kalah? Pasti bacok-bacokan-lah mereka menjaga kepentingan masing-masing,” ujarnya. Baru-baru ini, timpal Shohibul lebih jauh, ada survei yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) dan beberapa pihak menyangkut netralitas penyelenggaran Pemilu di Indonesia. KPU Sumut sendiri dibeberkannya mendapat angka dibawah 50 dari nilai tertinggi 100. Sementara menyangkut kejujuran perhitungan suara, KPU Sumut cuma memperoleh angka 9 dari skor tertinggi 100. Pemilu tahun 2014 pun diduganya akan menjadi bencana nasional demokrasi Indonesia tatkala pihak pemerintah, Parpol, pemangku kepentingan dan stakeholder yang berkepentingan masih saja mempermainkan DPT, DCT Caleg atau enggan belajar dari “kekacauan” Pemilu tahun 2009. (MS/KARLISTON/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here