MartabeSumut, Medan

Pemilu 9 April 2014 diambang pintu. Upaya sosialisasi gencar terlihat seperti baliho besar di Kantor Diskominfo Sumut Jalan HM Said Medan. (Foto: MartabeSumut)
Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014 sudah diambang pintu. Waktu tersisa cuma tinggal 4 hari lagi. Namun lucunya, hari ini Jumat (4/4/2014) pukul 10.00 WIB, beberapa komponen masyarakat justru menyampaikan gugatan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPRD kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR-RI dan DPD.
Melalui release yang diterima MartabeSumut dari Hotland Sitorus, Ketua Forum Akademisi Informasi Teknologi (FAIT), pihaknya menggugat UU Pemilu tersebut bersama beberapa organisasi dan perorangan yang tergabung dalam Tim Independen Peduli Pemilu Jujur, Adil, Bersih, Transparan dan Netral. “Adapun maksud pengajuan JR adalah untuk mempersempit (mengeliminasi) kecurangan Pemilu yang sangat mungkin terjadi karena kelemahan-kelemahan pengaturan yang dicantumkan dalam UU No.8/2012. Sebab UU tersebut tidak konsisten dan tidak transparan,” tegasnya.
Pasal-Pasal Inkonsisten
Hotland membeberkan, pasal-pasal inkonsisten yang terdapat pada UU No.8/2012 adalah sbb: 1. Pasal 33 ayat (2), Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. 2. Pasal 34. 3. Pasal 39. Ketiga pasal itu dinilainya mengatur tata cara penyusunan DPT namun apa yang sudah dinyatakan pada ketiga pasal tersebut akan menjadi sia-sia dan seakan tidak berfungsi dengan adanya pasal lainnya yang menunjukkan pertentangan. Diantaranya: 1. Pasal 40 ayat (2), Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. 2. Pasal 40 ayat (5). Dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai Pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan, KPU Provinsi melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus. 3.Pasal 149 ayat (1), Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi: a. Pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap di TPS yang bersangkutan; b. Pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan; dan c. Pemilih yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. 4.Pasal 150 ayat (1)Pemilih yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c dapat menggunakan kartu tanda penduduk atau paspor. “Kami berkesimpulan, bahwa usaha yang dilakukan dari awal hingga diumumkannya DPT final dengan begitu saja bisa diabaikan oleh pasal lain. Dimana pada pasal tertentu diatur pula syarat yang dapat menjadi calon pemilih. Tentunya harus punya KTP dan lima komponen yang disyaratkan di dalam UU No.8/2012. Tapi di pasal lainnya syarat ini dilanggar dan ditiadakan,” singkap Hotland.
Penggunaan IT Tidak Transparan
Pada sisi lain, Hotland menyinggung pula pasal-pasal pada UU no.8/2012 perihal tidak transparannya pengaturan penggunaan IT dalam proses perhitungan suara. Dia merinci, pada Pasal 173 ayat (1) berbunyi;
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, dan PPLN wajib melaksanakan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun disisi lain, tidak satu pasalpun yang mengatur tentang penggunaan IT dalam proses perhitungan suara. “Lalu, adakah yang menjamin kalau aplikasi perangkat lunak yang digunakan dalam proses perhitungan Pemilu pada setiap tingkatan itu valid? Hal ini lah yang kami sebut tidak transparan. Sementara perangkat lunak itu sendiri dapat dibuat untuk tujuan tertentu si pemakai,” herannya.
Kesemua ketimpangan itu dipastikan Hotland telah bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal Pasal 22E ayat (1) UUD1945 yang berbunyi: “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Lalu Pasal 28C ayat (2) UUD1945 berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara”. Kemudian Pasal 28F UUD 1945 yang berfunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis saluran yang
tersedia”.
Untuk itu, imbuh Hotland Sitorus lagi, Tim penggugat berharap dukungan MK melihat secara jujur materi gugatan dalam memutus perkara JR UU Pemilu nantinya. Sementara kepada insan Pers, dia menyerukan agar dapat menyampaikan informasi gugatan kepada masyarakat luas dan juga sebagai bagian dari partisipasi aktif media mengawasi jalannya Pemilu Indonesia yang jujur, adil, bersih, transparan dan netral. “Jadwal kami ke MK hari ini pukul 10.00 WIB. Kami mohon dukungan teman-teman media untuk hadir meliput di gedung MK atau mempublikasikan berita ini,” tutup Hotland.(MS/DEKSON)