Catatan Budiman Pardede
In Memoriam Jakob Oetama :
“Sehat Berita, Sehatlah Bisnis”
“Hentikan jadi Wartawan Kalau Bekerja Tanpa Pikiran”
TEPAT 20 tahun silam, atau persisnya 7 September 2000, saya mendapat penugasan dari redaksi salah satu harian terbitan Pekanbaru untuk menghadiri Diskusi Nasional bertajuk “Pemahaman dan Pengembangan Kemerdekaan Pers”. Kegiatan dilaksanakan oleh Badan Informasi Komunikasi Nasional (BIKN) RI di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Sebanyak 27 wartawan dari 27 provinsi, kala itu, hadir mewakili media massanya masing-masing. Sedikitnya ada 5 narasumber memberikan ceramah terkait topik diskusi. Salah satu penceramah yang tampil adalah pendiri Kompas Media Grup Jakob Oetama.
Nah, ketika sesi istirahat makan siang, saya melihat Jakob Oetama duduk sendiri pada salah satu meja. Dia terlihat santai sedang menikmati kudapan buah-buahan dan makanan ringan. Sembari memegang piring makanan di tangan kanan dan 1 gelas minuman di tangan kiri, saya melangkah menuju meja Jakob Oetama. “Selamat siang Pak Jakob, boleh saya bergabung di meja bapak,” ucap saya, dalam posisi berdiri menatapnya. Jakob Oetama langsung memandangi saya. Sambil tersenyum ramah, dia pun mengajak saya duduk persis berhadap-hadapan. “Ayo, ayo silahkan. Sini, sini, di depan saya aja. Dari mana nih asalnya,” sahut Jakob Oetama lembut sekali. Saya pun menjelaskan asal usul dan di media mana saya menulis. Sambil menikmati makan siang bersama, banyak cerita suka duka disampaikan Jakob Oetama tatkala menjadi guru dan berprofesi sebagai wartawan. Termasuk saat mulai membangun Harian Kompas pada tahun 1965.
Lemah Lembut Penuh Wawasan
Menariknya, cara dan gaya bicara Jakob Oetama dipenuhi kelemah-lembutan dan penuh wawasan. Disela-sela bercerita tentang pengalaman jurnalistiknya, Jakob Oetama juga jeli menelisik semangat dan sejarah saya sehingga memilih profesi jurnalis. “Sudah berapa lama jadi wartawan ? Kenapa sampai mau jadi wartawan,” selidik Jakob Oetama bertanya. Saya tersentak. Tidak menyangka muncul 2 pertanyaan tersebut. Saya menjawab, dunia jurnalistik saya geluti sejak tahun 1991 ketika sedang kuliah pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Pekanbaru Riau. Sambil kuliah, saya menyatakan aktif menulis berbagai artikel di media massa lokal terbitan Pekanbaru. Saya jelaskan pada Jakob Oetama, artikel yang saya tulis mengalir begitu saja berdasarkan apa yang saya lihat dan saya amati dalam aktivitas sehari-hari. “Pakai mesin tik menulisnya Pak. Artikel-artikel saya selalu diterbitkan media lokal dan diberi honor oleh masing-masing media. Lalu beberapa senior menilai saya cocok jadi wartawan. Mereka sarankan saya melamar ke media massa lokal dengan melampirkan tulisan-tulisan saya yang sudah diterbitkan media. Begitu ceritanya Pak, makanya saya sekarang jadi wartawan,” ungkap saya ke Jakob Oetama. Menanggapi cerita tersebut, Jakob Oetama mengangguk kecil. Dia tersenyum hangat dalam bingkai seorang ayah. “Seperti kamu inilah wartawan yang lahir alamiah dari satu talenta yang diberikan Tuhan. Berarti sudah 9 tahun jadi wartawan ya. Tetaplah berkarya dengan baik ya Budiman Pardede,” pinta Jakob Oetama pelan, bernada motivasi.
Sehat Pemberitaan, Sehatlah Bisnis..!
Hampir 1 jam duduk bersama Jakob Oetama, terasa sekali aura lemah lembut, kerendahan hati dan sikap familiar seorang jurnalis senior terhadap junior. Sebelum melanjutkan sesi diskusi berikutnya, saya melepaskan 1 pertanyaan terakhir pada Jakob Oetama. Bagaimana pendapat bapak soal bentuk ideal Pers di era kekinian ? “Sehat pemberitaan, maka sehatlah bisnis media. Itulah bentuk ideal Pers kedepan,” cetus Jakob Oetama mantap. Menurut Jakob Oetama, berita yang sehat adalah produk-produk jurnalistik yang dihasilkan seorang wartawan untuk diterbitkan media massa. Berita yang sehat dinilainya harus sesuai kaidah-kaidah jurnalistik dan bisa dipertanggungjawabkan. Ketika berita sudah sehat, Jakob Oetama percaya publik akan tertarik dan memberi dukungan positif dalam urusan bisnis media.
Hentikan jadi Wartawan Kalau Bekerja Tanpa Pikiran
Sebelum kami berpisah untuk kembali menuju ruang diskusi, Jakob Oetama juga mengingatkan insan Pers di Indonesia: “Hentikan jadi wartawan kalau bekerja tanpa pikiran,” tegasnya. Jakob Oetama meyakini, sekarang ini banyak orang bangga menyebut diri wartawan tapi sebenarnya telah berhenti jadi wartawan (tanpa disadari). Jakob Oetama menyebut, ada 3 alasan kenapa seseorang bisa menghentikan dirinya sendiri sebagai wartawan. Pertama, tidak memakai pikiran saat berani menulis berita bohong. Kedua, tidak punya pikiran saat berani mengungkap narasumber anonim (rahasia). Dan ketiga, tidak menggunakan pikiran saat mengutip (copy paste) tulisan/karya/foto orang lain (dari sumber pertama) alias malu berjiwa besar mengakui karya orang lain serta seolah-olah menjadikannya karya sendiri. Orang-orang seperti itu dikategorikan Jakob Oetama sebagai kelompok oportunis penipu/pembodoh publik. “Mereka yang menghancurkan kompetensi atau merusak bentuk ideal institusi Pers beriklim sehat pemberitaan dan sehat bisnis,” terang Jakob Oetama.
Inilah beberapa catatan berkesan dari pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama kepada saya 20 tahun silam. Kini, Rabu 9 September 2020, tokoh Pers Nasional yang lahir di Magelang Jawa Tengah 27 September 1931, itu telah dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi saya selaku jurnalis, 1 jam pernah bercerita berdua dengan Jakob Oetama, menorehkan kagum dan kebanggaan tersendiri sampai sekarang. Rest In Peace Pak Jakob Oetama. Farewell to You..!! (****)