www.MartabeSumut.com, Medan
Belasan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU)
mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU)
di Jalan Imam Bonjol Medan, Selasa siang (9/4/2019). Tujuannya menemui
Wakil Ketua Komisi E DPRDSU H Syamsul Qodri Marpaung, Lc, MA. Dalam
pertemuan, mahasiswa mengaku ingin menyelesaikan beberapa tugas
perkuliahan terkait wawancara dengan wakil rakyat.
Pengamatan www.MartabeSumut.com,
beberapa pertanyaan telah disiapkan mahasiswa seputar kondisi kekinian
pasca-Pemilu 2019, iklim demokrasi, aktualisasi Pancasila sejak Orde
Lama sampai sekarang, pertahanan keamanan negara, konstitusional,
kewarganegaraan, otonomi daerah, potensi SDA/sdm, kebebasan berekspresi
hingga tingkat kemajuan Indonesia. Mahasiswa yang bertanya diantaranya
Faris, Rukiyah Nasution, Wahyu, Dika, Tasya, Nabil dan beberapa orang
lainnya. Menanggapi pertanyaan mahasiswa, Syamsul Qodri menjelaskan,
demokrasi Indoensia sudah mulai ada sejak Sumpah Pemuda dideklarasikan
pada 28 Oktober 1928. Indonesia disebutnya memakai musyawarah mufakat,
demokrasi Pancasila dan asas gotong royong. “Sudah cukup baik. Cuma kita
perlu mematangkannya. Demokrasi itu sikap kita. Konsep kita bagus,
tinggal kematangan masyarakat saja melalui Parpol dan pilar demokrasi
lain. Jangan ada saling mengecilkan apalagi merusak nilai-nilai
demokrasi khususnya menjelang Pemilu 17 April 2019,” tegasnya.
Aktualisasi Pancasila
Politisi
PKS ini melanjutkan, aktualisasi Pancasila saat era Orde Lama sedikit
lebih bebas dan liberal dibanding Orde Baru. Kalau dulu Soekarno
menerapkan paham Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom), maka Orde Baru
masa Soeharto menjalankan konsep Pancasila secara murni dan konsekuen.
Masalah-masalah soal agama, sosialis dan komunis pun ditutup ketika
Soeharto gencar memprogramkan Penataran P4. “EravOrde Lama kita bebas
bicara tapi susah makan. Sedangkan Orba Baru tidak bebas bicara namun
rakyat mudah makan,” akunya. Syamsul Qodri meyakini, kala itu Soeharto
ingin fokus membangun dan menghentikan tarik menarik kepetingan yang
bisa mengganggu roda perekonomian. Sehingga Pancasila dipaksakan sebagai
satu-satunya asas tunggal. “Tentu saja Orde baru ya phobia, mengekang
bahkan menegakkan Pancasila,” terangnya. Tatkala meledak era Reformasi
tahun 1998, imbuh Syamsul Qodri, perubahan iklim demokrasi menyeruak di
penjuru Tanah Air. Rakyat kembali bebas bicara tanpa kekangan dan
Pancasila tetap jadi konsensus Nasional dalam aktualisasi kehidupan
berbangsa/bernegara. “Terjadi pengekangan iklim demokrasi selama
Soeharto berkuasa. Menimbulkan dampak negatif atas kelahiran format
politik korporatis (wadah-wadah tunggal) termasuk suburnya praktik KKN,”
ungkapnya.
Landasan Konstitusi
Menyinggung
pertahanan keamanan negara, Syamsul Qodri menyatakan sulit menjawab
sebab banyak yang jadi rahasia negara. Sedangkan konstitusi diperlukan
sebagai alat baku mengatur negara dan rakyat. Dia percaya, konstitusi
Indonesia mengacu pada dasar negara Pancasila, UUD 1945 dan hirarki
per-UU yang tersedia. Menjawab materi tentang definisi warga negara,
asas kewarganegaraan dan apa hak/kewajiban, Syamsul Qodri memastikan
warga negara Indonesia harus memiliki identitas KTP dan punya bukti
sebagai penduduk suatu wilayah. Hak dan kewajiban dipandangnya perlu
berjalan seimbang antara warga kepada negara dan negara terhadap warga.
Pada sisi otonomi daerah, timpal Syamsul Qodri lebih jauh, merupakan
tuntutan rakyat tatkala era reformasi bergelinding. Daerah diberi hak
mengelola SDM/SDA kecuali agama, pertahanan keamanan, fiskal dan urusan
sentralistik tertentu. “Peranan warga ya sebatas partisipasi langsung
atau tak langsung. Kebebasan di negara kita sudah baik. Pemerintah
berupaya memajukan kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa,” terangnya.
Menyahuti kemajuan ekonomi global yang kian bebas masuk Indonesia,
bekas guru itu menilai tidak bisa dihalangi lantaran dunia memang tanpa
batas-batas lagi. Bagi Syamsul Qodei, era demi era presiden RI punya
plus minus masing-masing. Sementara tanda-tanda suatu negara maju
dinilainya diukur dari keberadaan pengusaha dan ilmuwan yang tersedia.
“Di Singapura, tiap 10 orang ada 1 pengusaha. Di Indonesia, masih 1
pengusaha dari 1.000 orang,” tutup Legislator asal Dapil Sumut V Kab
Asahan, Kota Tanjungbalai dan Kab Batubara itu. (MS/BUD)