Anggota DPRDSU Restu K Sarumaha: Saya Prihatin Kasus Mesuzi, Presiden Harus Ambil Alih Konflik Lahan

Bagikan Berita :

Dikotomi persepsi yang kontradiktif terkait penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia sebaiknya diambil alih Presiden secara tegas melalui kebijakan ‘duduk bersama’. Semua pihak berkompeten semisal BUMN, BUMD, pemodal asing, swasta, aparat TNI/kepolisian dan berbagai komponen masyarakat yang bersengketa, wajib diajak bicara serius dari hati ke hati. Sedangkan unsur aparat (dituding membekingi) dan investor (dinilai menggandeng kapitalis) patut menanggalkan dulu kepentingan tersembunyi yang sekadar menguntungkan satu pihak.

 

Pemikiran tersebut dilontarkan anggota DPRD Sumatera Utara (DPRDSU) Restu Kurniawan Sarumaha kepada MartabeSumut, Kamis (1/3) di ruang kerjanya Fraksi PPRN DPRDSU. Kendati menyadari kapasitas sebagai anggota Komisi D yang bertugas mengurusi pembangunan/transportasi rakyat dan tidak memiliki tupoksi terhadap kasus-kasus tanah, Restu menyatakan iba dan prihatin mengikuti peristiwa berdarah yang terjadi di Mesuzi Lampung. Kemudian membandingkannya dengan konflik serupa yang terjadi di Sumut maupun penjuru Tanah Air dan kerap berujung pada bentrokan fisik. “Saya rasa masalah tanah ini harus diambil alih secara tegas oleh pemerintah pusat. Kita tidak mau kasus Mesuzi terjadi di Sumut atau daerah-daerah lainnya,” ujar Restu.

 

Posisi Pemerintah Sulit

 

Sekretaris Fraksi PPRN DPRDSU itu tidak menampik kalau saat ini posisi pemerintah dalam situasi sulit mencari jalan keluar. Sebab bukan mustahil  berpengaruh pada iklim sejuk investasi, lapangan pekerjaan serta kepercayaan investor disela-sela membanjirnya tuntutan warga yang merasa dirampok hak-haknya. Di satu sisi, katanya, pemerintah selaku penentu kebijakan dianggap berpihak kepada pemodal. Pada sisi lain, pemerintah pusat dan daerah juga divonis menjalin hubungan ‘sesat’ bersama aparat TNI/Polri dalam mengamankan operasional pengusaha tanpa peduli teriakan rakyat yang menuntut keadilan. Nah, hubungan ‘mesra’ yang terjalin puluhan tahun itulah yang dianggap Restu telah membuat opini rakyat apriori sehingga membutuhkan ketegasan dari penyelesaian dari pimpinan negara. “Rakyat kita sekarang menilai pemerintah pusat, daerah dan aparat telah dimanfaatkan investor untuk memuluskan usaha. Rakyat yang merasa tanahnya dirampok jadi kesepian di tengah-tengah keramaian,” duga Restu.

 

Pemerintah Mengambil Alih

 

Oleh sebab itu, imbuh Restu mengusulkan, sikap apriori rakyat Indonesia terhadap berbagai simbol negara (pejabat berwenang pusat/daerah) patut segera dicerahkan dengan konsepsi win-win solution. Artinya, lanjut Restu, memudarnya kepercayaan masyarakat akan penyelesaian kasus-kasus yang berpihak kepada rakyat hanya bisa diselesaikan bila Presiden mengambil alih. Kemudian melahirkan formula kebijakan yang bisa diterima oleh semua pihak. Namun politisi Partai Pelopor Sumut ini mengingatkan, pengambilalihan harus pula diikuti dengan sikap jujur dan sanksi tegas tatkala ada pejabat atau aparat menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan tersembunyi. “Setelah pemerintah mengambil alih, ya berbagai kasus dibuka dengan konsepsi duduk satu meja. Pihak-pihak yang bersengketa bicara dari hati ke hati. Pejabat dan aparat jangan lagi mengambil keuntungan supaya tidak dituding berpihak pada kapitalis. Saya percaya konsepsi duduk satu meja dapat membuahkan kesepakatan yang saling menguntungkan,” yakin legislator asal dapem Kepulauan Nias tersebut.

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here