MartabeSumut, Medan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (BAKUMSU) Sumut, yang fokus dengan isu penegakan hukum dan HAM, demokratisasi, dan pluralisme, secara tegas menyatakan urgensinya lembaga otonom (independen) dalam menyelesaikan berbagai konflik pertanahan di Sumut. Melalui Press Release BAKUMSU yang diterima MartabeSumut, Selasa sore (22/5), Sekretaris Eksekutif BAKUMSU Benget Silitonga menyebutkan nama-nama inisiator pengusulan lembaga otonom yang meliputi: DR Arief Sugiarto, SH, MH (Akademisi & Praktisi Hukum Jakarta), DR H Hasim Purba, SH, MHum (Akademisi/Ketua PUSLITHAM USU), Hamdani Harahap,SH, MH (Praktisi Hukum Medan), Syahriar Tarigan, SH, MH (Praktisi Hukum Jakarta) dan Ir Benget Silitonga (Aktivis Pertanahan Sumut). Berikut penegasan mereka :
Latar Belakang Konflik Tanah
1. Bahwa konflik antara Negara Cq. Pemerintah – Pengusaha versus rakyat yang berlatar belakang “sengketa pertanahan” sudah berjalan sekian lama di Republik ini. Tidak hanya di zaman Orde Lama yang cenderung meggunakan tindakan represif dan pendekatan kekuasaan untuk mengambil alih tanah dengan menggunakan aparat militer dan polisi. Di zaman reformasi kini yang lebih demokratis dan tidak represif lagi masih melegalkan tindakan-tindakan yang bersifat represif dalam menyelesaikan sengketa tanah. Dan Negara Cq. Pemerintah sepertinya belum mampu berbuat untuk kepentingan rakyat ketika berhadapan dengan oknum Mafia Tanah yang dibacking oknum Pengusaha/Kapitalis;- Hal tersebut disebabkan antara lain oleh politik agraria yang dianut adalah politik agraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif Pola pendekatan seperti ini akan melahirkan “sengketa agraria struktural” yang akan terus menerus terjadi sepanjang tidak dilakukan “perubahan politik agraria kita dari politik agraria yang pro ekonomi kuat (kapitalis) menjadi pro golongan ekonomi lemah”;- Terbukti selama 67 tahun Indonesia merdeka, Negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya;-
2. Bahwa pada tahun lalu kasus sengketa tanah yang terkait dengan bidang agraria naik 35% menjadi 163 konflik dari tahun 2010 yang sebanyak 106 konflik. Dari 163 konflik agraria ini, sebanyak 97 konflik atau sekitar 60% terjadi di sektor perkebunan, 36 kasus atau 22% terjadi di sektor kehutanan,21 kasus atau sekitar 13% di sektor infrastruktur, delapan kasus atau sekitar 4% di sektor tambang, dan satu kasus terjadi di wilayah tambak atau pesisir;- Sebanyak 24 petani/warga tewas di wilayah-wilayah konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar.(Sumber : KPA, 11 Desember 2011);-
3. Bahwa menurut catatan Komisi A DPRD Sumatera Utara setidaknya ada 875 kasus konflik Tanah yang terjadi di Sumatera Utara dan hingga kini belum terselesaikan. Sedangkan menurut catatan POLDA Sumatera Utara yang terungkap pada Rapat Koordinasi tentang Permasalahan Tanah di Sumatera Utara tanggal 16 Januari 2012, terjadi 2.794 Kasus sengketa tanah/ lahan periode 2005 s/d 2012, yang terdiri dari 2.460 Kasus sengketa Tanah/Lahan Antara kelompok warga dengan kelompok masyarakat; 143 Kasus sengketa Tanah/Lahan antara kelompok warga dengan Badan Hukum Publik ( Instansi, PTP II. III dan IV ); 182 Kasus sengketa Tanah/Lahan antara Kerlompok warga dengan Badan Hukum Swasta;-4. Kasus sengketa Tanah/Lahan antara Badan Hukum Swasta dengan Badan Hukum Swasta;- 5 Kasus, sengketa Tanah/Lahan antara Badan Huklum Swasta dengan Badan Hukum Publik. Dari 2.794 Kasus Tanah bila dikaji dari permasalahannya dapat dikelompokkan sebagai berikut yaitu :
3.1. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan Tanah oleh Pihak Tertentu (Serobot, Merambah HGU tanpa Alas Hak ) ada 2.239 Kasus;-
3.2. Sengketa Proses Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah ( Tumpang Tindih, Gran Suiltan , Land Reform, Ulayat ) ada 390 Kasus
3.3. Sengketa Letak Batas,Luas Bidang Tanah yang diakui Pihak Lain ada 51 Kasus. Perkembangan sifat dan Substansi bahwa kasus sengketa tanah tidak lagi hanya persoalan administrasi yang diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi sudah merambah kerana politik, sosial, budaya dan lainnya.
Oleh karena itu dalam mengangani dan menyelesaikan permasalahan tanah terutama kasus tanah yang berpotensi konplik adalah menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen Masyarakat Sumatera Utara, termasuk Akademisi Praktisi hukum untuk berperan serta menangani secara konprehensif,cepat, tepat agar tidak menimbulkan dampak negatif.
4. Bahwa konflik Tanah di Sumatera utara terjadi cukup lama, yaitu sejak zaman Kesultanan Deli s/d saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas;- Korban pun telah cukup banyak berjatuhan, bentrok fisik, pembunuhan, penghukuman penjara, dan tindakan kekerasan oknum Aparat Kepolisian maupun oknum Preman, yang mengakibatkan penderitaan rakyat sebagai korban merajalela solah-olah tiada berujung;-
5. Bahwa Pemerintah telah berkali-kali melakukan upaya penyelesaian Konflik Tanah di Sumatera Utara, yaitu antara lain :
5.1. Tahun 1954, Pembentukan Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah, yang kemudian menerbitkan Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah Perkebunan (KTPPT), berdasarkan Undang-Undang Drt No. 8 tahun 1954;-
5.2. Tahun 1959, Pembentukan Badan Penyelesaian Pemakaian Tanah Sumatera Timur (BPPTST), berdasarkan Jo Undang-Undang Drt No. 1 tahun 1956 Jo Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1959 Jo Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK.224/Ka/1958 TGL. 16 AGUSTUS 1958 Jo Surat Keputusan Menteri Agraria No. 353/Ka. Dan No. 354/Ka. Tgl 24 Agustus 1959;-
5.3. Tahun 1967, Pembentukan Tim Pengamanan PPN Tembakau Deli dengan Perintah Operasi Pembersihan Garapan(OPG) berdasarkan Surat Keputusan PEPELRADA No. KEP.0022/PEPELRADA/3/1967;-
5.4. Tahun 1969, Pembentukan Tim Pemasangan Tanda Batas areal Tanah PTP IX yang dilaksanakan oleh PTP IX berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 18787/9 TGL 25 AGUSTUS 1969;-
5.5. Tahun 1973, Pembentukan Tim Penelitian Tanda Batas di areal HGU PTP IX oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara;-
5.6. Tahun 1984, Pengukuran ulang oleh KANWIL BPN Sumatera Utara atas areal Tanah HGU PTP IX seluas 59.000 Ha, kemudian diterbitkan Sertifikat HGU PTP IX berlaku 35 tahun berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN No. SK.24/HGU/1965 TGL. 10 JUNI 1965;-
5.7. Tahun 2000, Pembentukan Panitia Pemeriksa Tanah B Plus untuk perpanjangan jangka waktu HGU PTPN II d/h : PTP IX atas Tanah Eks HGU PTP IX seluas 62.214,79 Ha (66 Kebun);- Hasil pengukuran diketahui Tanah seluas 38.611.0613 Ha dinyatakan bersih dari gangguan pihak lain, sehingga dapat dikabulkan perpanjangan jangka waktu HGU, sedangkan sisanya seluas 23.603,72 Ha terdapat tuntutan/garapan rakyat dan ditangguhkan sementara (dipending) guna memberikan kesempatan kepada Panitia B Plus untuk meneliti setiap tuntutan/garapan yang ada di atasnya;-
5.8. Tahun 2002, Pembentukan Panitia Pemeriksa Tanah B Plus untuk perpanjangan jangka waktu HGU PTPN II d/h : PTP IX atas Tanah Eks HGU PTP IX seluas 23.603,72 Ha;- Dari hasil pengukuran diketahui Tanah seluas 17.730,66 Ha direkomendasikan untuk diberikan perpanjangan HGU kepada PTPN-II, karena tuntutan/garapan rakyat tidak mempunyai alas hak/dasar yang kuat, padahal Rekomendasi tersebut didasarkan pada hasil Rekayasa Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B Plus No.01/PPT/BP/2002 Tgl. 28 Januari 2002; No.02 dan No.03, dimana Peta Letak, Luas, dan batas-batas Tanah dalam Peta Identifikasi berbeda dengan Matriks hasil pengukuran;- sedangkan sisanya seluas 5.873,06 Ha diusulkan/direkomendasikan untuk dikeluarkan dari pemberian /perpanjangan HGU oleh Panitia B Plus, yang sampai saat ini pun belum dapat didistribusikan oleh Plt. Gubernur Sumatera Utara kepada Rakyat;-
5.9. Tahun 2009, Pembentukan Tim Terpadu penelitian dan pemecahan masalah sengketa Tanah garapan antara masyarakat dengan PTPN dan Perkebunan Swasta di Propinsi Sumatera Utara, dengan melibatkan perwakilan masyarakat, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara H. RIZAL NURDIN Nomor 593.05/1754/K/tahun 1999 tanggal 2 agustus 1999;-
5.10. Tahun 2010, Pembentukan Tim Kelompok Kerja penanganan Areal yang dikecualikan dari pemberian perpanjangan HGU PTPN II(Eks HGU PTPN II) seluas 5.873,06 Ha yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kota Binjai Sumatera Utara, dengan tidak melibatkan perwakilan masyarakat, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara H. SYAMSUL ARIFIN Nomor 188.44/441/KPTS/2010 tanggal 1 Juli 2010;-
5.11. Tahun 2011, Pembentukan Tim Khusus penanganan areal yang diberikan HGU PTPN II seluas + 56.341,73 Ha dan areal yang tidak diberikan HGU PTPN II seluas + 5.873,06 terletak di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat dan Kota Binjai Propinsi Sumatera Utara, dengan tidak melibatkan perwakilan masyarakat, berdasarkan Surat keputusan Plt. Gubernur Sumatera Utara GATOT PUJO NUGROHO Nomor 188.44/871/KPTS/2011 tanggal 23 September 2011;-
6. Bahwa menjadi pertanyaan sekarang mengapa sejak tahun 1954 s/d 2012(58 tahun), konflik Tanah di Sumatera Utara belum juga dapat diselesaikan;- Jawabannya adalah karena upaya penyelesaian konflik Tanah di Sumatera Utara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan BPN menggunakan pendekatan “Legal Formalistik dan Represif” yaitu “Pintu Peradilan Perdata, Tata Usaha Negara dan Pintu Peradilan Pidana”(Kriminalisasi Hak Keperadataan Petani/Rakyat);- Sementara “Pintu Mediasi/Negosiasi/Konsultasi/Konsiliasi (musyawarah)” dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan lainnya terlupakan;- . Musyawarah dilakukan antara Masyarakat Vs Perkebunan dengan (3) tiga orang penengah yaitu Mediator/Negosiator/Konselor/Konsiliator, sedangkan Posisi dan Peran pemerintah harus bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator, yang cenderung bersifat sebagai partisipan dalam kelompok yang bertikai. Jika upaya musyawarah “gagal” dapat dilakukan penyelesaian melalui proses Pengadilan perdata atau Tata Usaha Negara sebagai upaya terakhir.
7. Bahwa upaya mewujudkan penyelesaian konflik Tanah di Sumatera Utara melalui “Musyawarah” di luar Pengadlan tersebut didasarkan UUPA Nomor 5 tahun 1960 Jo UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Jo UU.No. 39 tahun 1999 tentang HAM Jo UU. No. 28 tahun 1999 tentang Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Negara Jo UU. No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Surat Edaran MA No. 1 tahun 1998 tentang Mediasi, sehingga secara legal formal, terhadap pembentukan “Lembaga ad hock independen alternatif penyelesaian konflik Tanah di Sumatera Utara” dapat dilakukan oleh masyarakat seperti Lembaga penyelesaian sengketa Lingkungan hidup dan sengketa Kehutanan;-
8. Bahwa adapun “Target” penyelesaian alternatif penyelesaian konflik Tanah di luar Pengadilan tersebut, antara lain adalah “Mempertemukan kepentingan hak & penguasaan atas obyek tanah sengketa antara para pihak yang bersengketa dan mengoptimalkan upaya tercapainya “Kesepakatan” para pihak melalui musyawarah, dalam rangka mewujukan kehendak para pihak untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu bidang Tanah;- Sedangkan Strategi yang digunakan adalah Pelayanan pengaduan sengketa Tanah oleh Unit Pelayanan Pengaduan Sengketa; Penelitian bukti-bukti alas hak/warkah dan bukti-bukti hubungan hukum antara Subyek hukum dengan obyek tanah sengketa oleh Tim Peneliti, yang tuangkan dalam “Resume LHPS”; Upaya Konsultasi/Konsiliasi/Mediasi/Negosiasi oleh Tim Konselor/Konsiliator/Mediator/Negosiator yang dituangkan dalam “Risalah Perkara” berisi anjuran kepada pada pihak, dan Pemeriksaan Perkara oleh Majelis Panel yang dituangkan dalam “Akta Perdamaian (dading)” jika terjadi kesepakatan yang bersifat final dan mengikat para pihak vide pasal 1320 KUHPerdata Jo Pasal 1338 KUHPerdata, namun jika tidak tidak tercapai kesepakatan para pihak, maka pilihan terakhir adalah melalui pintu peradilan;-
9.Lembaga ini tentu saja tidak sama dengan lembaga bentukan Pemerintah (Gubernur) yang sangat berorientasi state. Lembaga penyelesaian alternatif ini bukanlah lembaga bentukan pemerintah, namun lembaga yang diinisiasi masyarakat sipi dan elemen-elemen publik yang berkepentingan dengan penyelesaian konflik pertanahan di Sumut. Lembaga ini bukan sub-ordinasi dari pemerintah atau korporasi atau kelompok rakyat. Tiga aspek penting yang menjadi dimensi pemenuhan keadilan lembaga ini adalah hak atas keadilan, hak atas restorasi (pemulihan) korban konflik tanah, dan aspek rekonsiliasi para pihak yang bertikai. Ketiga aspek tersebut merupakan prasyarat utama pemenuhan HAM, yang selama ini terbukti gagal dipenuhi oleh lembaga peradilan forma yang mendepankan hukum positif. (MS/Rel/ROY)