www.MartabeSumut.com, Simalungun
Jumat siang (15/3/2019) merupakan hari ke-2 agenda rombongan Komisi A DPRD Sumut ke Kab Simalungun untuk mendorong percepatan penyelesaian perkara Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Jurnalis www.MartabeSumut.com Prasetiyo, SIKom, yang ikut dalam kunjungan tersebut mengamati, tampak Ketua Komisi A Muchri Fauzi
Hafiz, Wakil Ketua Brilian Moktar, anggota Komisi seperti Hj. Jamilah,
Ramses Simbolon, H Ikrimah
Hamidi, Royana T Marpaung serta beberapa anggota lainnya. Kalangan
legislator sengaja datang untuk menyahuti aksi penolakan masyarakat Kab
Simalungun atas penetapan kawasan hutan di wilayah Simalungun seluas
40.000 Ha berdasarkan SK Menhut Nomor 579 Tahun 2014 dan berimbas
terhadap pencatutan areal pemukiman masyarakat, lahan pertanian serta
fasilitas umum. Kehadiran Komisi A DPRD Sumut ke lokasi terdampak hutan
produksi itu akibat lambatnya respon Dinas Kehutanan dan stakeholder terkait.
Bahkan,
setelah pada tahun 2018 silam, Pemerintah kabupaten (Pemkab) Simalungun
mengajukan sekira 16.444 Ha luas tanah melalui usulan bertahap yang
dibebaskan dari lokasi kawasan hutan produksi. Namun hanya sekira 3 ribu
Ha luas tanah saja yang dinilai oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera
Utara dan dapat diterima untuk diwacanakan bebas. “Hasil arsiran usulan
indikatif dan usulan Bupati ada 3 ribu Ha. Sisanya itu yang harus kita
dudukkan lagi. Mereka mengusulkan dan menyebut desa tapi tidak
menggambarkan luasannya. Ini akan kita proses kembali,” terang Kepala
Bidang Penatagunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutan Provinsi Sumut Effendi
Pane.
Tanah Kami Dulunya Dipinjam
Salah seorang
warga setempat, Anggiat Sinaga (55), menceritakan beberapa fakta tentang
tanah masyarakat sebelum ditunjuk sebagai kawasan hutan produksi. Sejak
lama merupakan tanah yang telah dikelola oleh orangtua mereka sebagai
areal pemukiman dan bercocok tanam seperti tanaman padi darat, pisang,
kedelai, ubi kayu maupun tanaman lain. Anggiat mengatakan, penguasaan
dan pengelolaan lahan salah satunya di Desa Sipangan Bolon Mekar Dusun
Sidallogan dan Dusun Hutapadang Porti. Berlangsung sedari zaman
penjajahan hingga akhirnya harus berubah arah setelah beberapa utusan
pihak kehutanan, Asisten Wedana serta tentara mendatangi rumah warga
pada tahun 1952.
Para utusan tersebut melakukan negosiasi kepada
pemilik dan pewaris tanah yang sah. Tujuannya untuk dipakai guna
ditanami Tusam/Pinus dengan beberapa perjanjian. Yakni lahan yang
digunakan bersifat pinjam pakai, masyarakat setempat dipekerjakan,
diberi gaji serta bersama-sama menjaga tanaman yang ditanam agar tidak
rusak. Menurut Anggiat, Tusam yang berusia minimal 20 tahun atau
maksimal 30 tahun ditebang, kelak hasilnya dibagi dua dengan masyarakat.
Setelah panen, tanah juga akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai
akhir dari masa perjanjian. “Saya ingat betul, keluarga kami dijumpai
sama pihak kehutanan. Ada dari kehutanan yang datang ke rumah. Kehadiran
mereka mau minjam lahan punya keluarga kami,” ingat Anggiat. Namun pada
tahun 1982, setelah PT Deli Mach Factory, PT Candi Kekal Jaya, PT STTC
serta PT SMF melakukan penebangan tanaman Tusam/Pinus, perjanjian yang
dulunya dibuat ikut tumbang tanpa diindahkan sedikitpun. “Tanah kami
yang dipinjam tak jua dikembalikan,” sesal Anggiat.
Dua Titik Peninjauan
Untuk
membuktikan kesaksian warga yang mengadu ke Komisi A DPRD Sumut, Erik
Ginting selaku juru bicara masyarakat terdampak kawasan hutan di
Kabupaten Simalungun, langsung membawa rombongan Komisi A DPRD Sumut,
Dinas Kehutan Provinsi Sumut dan stakeholder lain meninjau lokasi
terdampak. Titik pertama adalah Desa Sipolha. Lokasinya menghadap ke
tepian Danau Toba. Selain terdapat pemukiman warga, di lokasi tersebut
sudah banyak berdiri warung makan dan tempat melepas penat bagi para
wisatawan yang melintas dari Siantar menuju Danat Toba ataupun
sebaliknya. Titik kedua bernama Desa Simpangan Bolon Mekar. Arealnya
sekitar 1 jam setengah waktu tempuh dari lokasi pertama. Ada banyak
pemakaman tersusun rapi di sana. Termasuk ladang serta pemukiman warga.
“Lihat, ini yang mereka tunjuk sebagai hutan. Sedangkan masyarakat sudah
lama tinggal di sini. Masyarakat punya bukti atas peminjaman tanah
mereka dulu saat akan ditanami Tusam/Pinus. Masyarakat hanya minta
haknya dikembalikan,” tegas Erik.
Komisi A DPRDSU Desak Penyelesaian TORA
Nah, masih pengamatan www.MartabeSumut.com,
hasil kunjungan ke lokasi tanah terdampak kawasan hutan di Simalungun
itu ternyata membuat rombongan Komisi A DPRD Sumut geleng-geleng kepala.
Berdasarkan bukti dan kondisi lapangan, Brilian Moktar kekeh mendesak pemerintah pusat mempercepat penyelesaian TORA. “Kita sudah
dapat bukti fisik seperti surat tanah bahkan bukti administratif. Komisi
A telah turun ke lokasi melihat langsung. Kami mendesak persoalan TORA
di Simalungun secepatnya diselesaikan,” cetusnya. Hal senada dilontarkan
Hj. Jamilah. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang
penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, kata Jamilah, pada
Bab III Pasal 7 tertuang konsiderans tentang pola penyelesaian
penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan. “Pasal 7 itu
menegaskan, pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan
dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang
tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan, dilakukan dengan mengeluarkan
bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas hutan,”
yakin politisi Partai Demokrat ini. (MS/PRAS)