MartabeSumut, Medan
Sekira 4.000 Hektare (Ha) areal Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pada kawasan hutan produksi di Tele Kab Samosir mulai diributkan warga setempat pasca PT GDS melakukan penebangan kayu secara komersil. Belakangan, masyarakat semakin gencar menyerukan protes keras berorientasi perlindungan dan pelestarian ekosistem lingkungan.
Fakta ribut itu tertangkap MartabeSumut tatkala LBH Cicak Buaya, yang mengaku mengusung aspirasi warga Kab Samosir, mendirikan tenda protes di depan pagar gedung DPRDSU sedari Rabu (29/5/2013). Kemudian diikuti dengan pertemuan Ketua Komisi A DPRDSU Oloan Simbolon, anggota Komisi A Ahmad Ikhyar Hasibuan, Alamsyah Hamdani dan Isma PA Pulungan bersama belasan pengurus LBH Cicak Buaya, Jumat siang (31/5/2013) di ruang rapat Komisi A.
Jangan Eksploitasi Hutan
Kendati terdengar tidak terlalu berhasil menyampaikan argumentasi soal dasar pemikiran meributkan HPL hutan produksi di Tele, toh juru bicara LBH Cicak Buaya Bernard Samosir mempertanyakan sikap Komisi A terkait operasional PT GDS yang disebut-sebut mengeksploitasi hutan tanpa memiliki izin Analisis Mengenail Dampak Lingkungan (Amdal). “Berdasarkan laporan dan keluhan warga setempat, PT GDS telah merusak ekosistem lingkungan dengan melakukan eksploitasi hutan melalui penebangan kayu secara komersil. Apalagi Amdal PT GDS kami duga tidak jelas ada sehingga melanggar aturan. Warga Kab Samosir melalui LBH Cicak Buaya menginginkan ekosistem lingkungan di kawasan hutan Tele tetap dilindungi dan dilestarikan alami,” cetus Bernard.
HPL Disesuaikan Jenis Hutan
Menanggapi masukan tersebut, anggota Komisi A Ahmad Ikhyar Hasibuan menjelaskan bentuk baku HPL disesuaikan dengan jenis-jenis hutan yang memiliki fungsi dan ketentuan masing-masing. Mulai dari hutan produksi, hutan konversi, hutan cagar alam, hutan lindung hingga hutan produksi terbatas. Dia membeberkan, sekira tahun 70-an areal hutan Tele sudah dikeluarkan pemerintah pusat dari kawasan hutan register menjadi hutan produksi yang dikelola pemerintah daerah. Lahan HPL seluas 800 Ha dari total 4.000 Ha yang dikelola pengusaha saat ini disebutnya harus dilihat dari aspek hukum dan aspek fungsi hutan kedepan. Komisi A diakuinya pula telah meninjau lokasi hutan Tele serta meminta pendapat dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup Ri di Jakarta beberapa waktu lalu. Jadi, kata Ikhyar, ada beberapa hal yang perlu diamati untuk diselesaikan. Secara hukum sedang berjalan proses penyelidikan objek masalah yang dilakukan instansi terpadu menyangkut dugaan pelanggaran izin PT GDS. Sementara menyangkut HPL yang menuntun Pemkab Samosir mengeluarkan Izin Penebangan Kayu (IPK) pada sebagian lahan sekira 800 Ha, dinilai Ikhyar sebagai kebijakan yang tidak terpisahkan dari pelepasan hutan register menjadi hutan produksi untuk dikelola daerah. “Apa sebenarnya keinginan warga Samosir dan LBH Cicak Buaya? Saya sendiri tidak setuju kawasan Tele dihutankan lagi menjadi register sehingga warga bakal tidak boleh tinggal, beraktivitas atau melakukan operasi apapun lagi di sana nanti. Harusnya warga Samosir senang kawasan hutan Tele telah dikeluarkan dari register,” yakin Ikhyar, sembari mempertanyakan kembali apa maunya LBH Cicak Buaya.
Salah satu perwakilan LBH Cicak Buaya, Simaremare, nimbrung menyampaikan komentar. “Kami dapat laporan dari warga agar penebangan hutan di Tele segera dihentikan. Warga setempat menginginkan ekosistem lingkungan tetap lestari,” ujar Simaremare.
Ikhyar menjelaskan, bila memang ada pelanggaran aturan dalam penebangan kayu di Tele, maka proses hukum harus berjalan. Namun seandainya penghutanan dilakukan lagi, Ikhyar tetap menyatakan kurang setuju. “Apa sebenarnya objek masalah yang terjadi di hutan Tele itu? Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumut saja masih ngotot karena HPL yang berbeda dan perlu tidaknya izin Amdal pada hutan produksi,” ungkapnya.
Apa Alasan Menolak HPL di Tele?
Ketua Komisi A Oloan Simbolon menambahkan, warga Samosir dan LBH Cicak Buaya patut memberikan alasan kenapa menolak HPL di kawasan hutan produksi Tele. Sebab Oloan justru mengherankan sikap tersebut karena lahan yang ada di Tele memang diperuntukkan bagi pengembangan pembangunan daerah. “Kalo dibiarkan jadi hutan, ya dikembalikan dulu statusnya. Wewenang Dephut nanti mau diapakan itu hutan semisal diberikan kepada perusahaan tertentu untuk dikelola. Ya kita gak bisa terlibat apapun lagi di sana. Itu soal fungsi hutannya. Lalu sekarang mau kita apakan lahan di Tele. Kalo ada penebangan di sana, itu yg kita cek apakah sesuai aturan,” ingatnya.
Menyinggung apakah PT GDS perlu izin Amdal atau tidak, Oloan mengaku telah berdiskusi dengan pihak Dephut RI dan ternyata tidak diperlukan. “Inilah yang jadi sikap kami. Tim terpadu Sumut segera melakukan gelar perkara karena sudah meninjau lokasi. Tidak terlalu lama lagi akan digelar perkara di Poldasu sehingga diketahui apakah ada pelanggaran hukum terkait IPK PT GDS,” tegasnya. Bernard Samosir kembali angkat bicara dengan menyampaikan kalu PT GDS tetap beroperasi kendati IPK sudah dicabut sementara. Oloan pun memastikan bila informasi itu akan jadi masukan bagi Komisi A. “Kalo malam-malam mencuri, ya urusannya sama berwajib. Kita harap pengusaha menghormati hukum,” ucap Oloan. Bagi dia, pokok persoaln inti adalah, bila hutan Tele dikelola Dephut, warga Samosir tidak bisa lagi beraktvitas di sekitar hutan. Dia menyatakan telah meminta Pemkab Samosir untuk mengkaji terus pemberian HPL kepada pengusaha-pengusaha yang mengambil hasil hutan. ” Areal HPL di Tele Kab Samosir itu lebih kurang 4 ribu Ha. Yang kita bahas ini masih sebatas diluar sertivikat hak milik lahan/tanah yang memang ada dimiliki warga di sana,” terangnya. Pertemuan akhirnya ditutup dengan kesan tanpa rasa puas dari pihak LBH Cicak Buaya sementara Komisi A DPRDSU memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait untuk menunggu hasil penyelidikan dan gelar perkara Tim terpadu. (MS/BUD)