Laporan Indah Ardina dari Yogyakarta
Dikotomi persepsi yang kontradiktif seputar keberadaan Gubernur/Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sepertinya masih hangat hingga
kini. Pada satu sisi, pemerintah pusat dan DPR RI belum kunjung
mengesahkan Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY dikarenakan
tarik menarik kepentingan. Alasan demokrasi pun jadi senjata pamungkas
yang ‘mengharuskan’ periodisasi kepemimpinan dan proses pemilihan. Di
sisi lain, masyarakat Yogyakarta sendiri tetap bertahan untuk kepastian
(UU) penetapan Sri Sultan dan Paku Alam atas jabatan Gubernur/Wakil
Gubernur secara otomatis.
Dalam konteks tarik menarik seperti itu, keyakinan sikap warga
Yogyakarta tetap ‘kekeh’ menuntut pengakuan resmi pemerintah terhadap
‘pemimpin kharismatik’ mereka. Dibuktikan jauh-jauh hari melalui aksi
formal bersuara di Paripurna DPRD provinsi dan kab/kota se-DIY hingga
reaksi informal berbentuk demonstrasi. Terakhir, tatkala MartabeSumut mengikuti
perkembangan kekinian di Yogyakarta, belum lama ini, puluhan ribu
masyarakat berkumpul di Pagelaran Yogyakarta memperingati Syawalan dan
66 tahun amanat rakyat Yogyakarta. Menariknya, pertemuan yang rutin
dilakukan tiap tahun, itu justru melahirkan kesepakatan bersama untuk
mendesak bahkan mengancam Presiden SBY agar tidak mempermainkan kehendak
rakyat yang menuntut pengesahan RUUK Yogyakarta.
Kepada MartabeSumut secara terpisah di Yogyakarta, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia
(LKNI) Drs
Totok Sudarwanto, warga Yogyakarta Suwarno Hadi (37) dan Abdi Dalem Keraton Yogya Isnu (70), berkeyakinan,
penetapan Sultan HB-Paku Alam menjadi gubernur/wakil gubernur adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar apalagi dipermainkan SBY selaku
presiden/pemerintah. Totok mengatakan, kegiatan Syawalan rutin
terlaksana tiap tahun dilakukan di Kepatihan Yogya. Namun mulai tahun
2011- seterusnya, kegiatan sejenis dilakukan di Pagelaran. “Ya, kali ini
menjadi Syawalan akbar dan peringatan 66 tahun amanat rakyat. Kita
mengikutkan seluruh elemen warga yang mencapai 20 ribu orang,” ungkap
Totok di arena Pagelaran Yogyakarta.
Tuntut Penetapan
Totok menjelaskan, hajatan yang digelar masyarakat Yogya pada 5
September 2011 merupakan momentum strategis bagi kelangsungan daerah
Yogyakarta. Pasalnya, kata Totok, selain memiliki target bersama atas
tuntutan pengesahan RUUK Yogyakarta dan pengakuan ‘ex-officio’ terhadap
pewaris/pemegang kapasitas Sri Sultan HB-Paku Alam sebagai
gubernur/wakil gubernur DIY, kesepahaman tekad juga didukung 4 pilar
demokrasi di Yogyakarta. Diantaranya DPRD, pemerintah, Keraton
Jogja/Pakualaman dan elemen masyarakat. “Warga Yogya sepakat mendobrak
Jakarta soal RUUK DIY. Presiden SBY jangan mempermainkan kehendak
rakyat,” ancam Totok.
Menurut Totok, tuntutan penetapan Sri Sultan HB-Paku Alam sebagai
‘Yogya-1 dan Yogya-2’ itu telah dibacakan dihadapan rakyat Yogyakarta
untuk selanjutnya ditandatangani Ketua DPRD DIY, seluruh Ketua DPRD
kab/kota serta bupati/walikota se-DIY. Amanat rakyat tersebut dipastikan
Totok sudah diserahkan langsung kepada Sultan HB X. “Tuntutan kami
sesuai kehendak rakyat yang berharap RUUK Yogya diselesaikan Komisi II
DPR RI. Aneh saja kenapa bertahun-tahun tak selesai padahal 9 Oktober
2011 masa penetapan Sultan HB X sebagai gubernur telah habis. Hasil
amanat rakyat Yogya akan kita kirim dan bacakan ke SBY,” ucapnya.
Tidak Demokratis ?
Bukankah sistem penetapan tidak demokratis, pendapat Anda ? Totok
malah menampakkan wajah sedikit cemberut. Bagi dia, silahkan saja orang
menyampaikan pemikiran dengan konsep masing-masing. Namun patut
dicatat, terang Totok, pihaknya menuntut penetapan karena sesuai Pasal
18 UUD 45 tentang pemerintahan daerah. “Ada kok aturan tentang daerah
istimewa. SBY dan DPR RI harus patuhi UUD kalo konsekuen tentang daerah
istimewa. Kenyataannya rakyat Yogya ingin penetapan Sultan dan Paku
Alam. Kalo ada pemilihan siapa yang lakukan, saya rasa gak ada yang
berani,” cetusnya.
Lalu, siapa elite pusat dan DIY yang menghembuskan pemilihan ? Totok
mengatakan tidak mengetahui persis. Tapi waktu Presiden SBY ke
Yogyakarta, lanjut dia, dirinya bertemu Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan
mendapat jawaban tentang perbedaan pemikiran tersebut. “Kata Pak Dipo
Alam pada saya, kemungkinan SBY khawatir agar jangan sampai disalahkan
rakyat bila menyetujui RUUK. Alasannya seolah-olah bertentangan dengan
UU,” singkap Totok, sembari mementahkan kekhawatiran itu dengan
munculnya pemikiran Dosen Filsafat UGM yang mendukung RUUK DIY berdasar
Pasal 18 UUD 1945. “Tetapkanlah Sultan dan Paku Alam sebagai
gubernur/wakil gubernur tanpa batas waktu atau embel-embel apapun karena
semua berpulang pada rakyat Yogya,” tutupnya.
Kedekatan Emosional
Sementara pada kesempatan terpisah, hal senada disampaikan warga
Yogyakarta Suwarno Hadi. Menurut dia, kedekatan emosional masyarakat
Yogya dengan Sultan HB-Paku Alam telah memunculkan keputusan bulat
menjadikan keduanya sebagai pimpinan daerah di DIY. Suwarno memastikan,
keputusan bulat juga harus diakui pemerintah/pihak lain sebagai bagian
tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Dalam artian, ujarnya, rakyat
Yogya meyakini kepemimpinan Sultan HB-Paku Alam memberikan makna
tersendiri. “Kami mau penetapan diwujudkan melalui pengesahan RUUK DIY.
Saya dan warga Yogya merasa terlindungi, lain tidak. Kita harap Presiden
SBY tidak mempermainkan RUUK Yogyakarta,” ingat Suwarno.
Berkah
Sebelumnya, Isnu, salah seorang ‘abdi dalem’ Keraton Yogya, menyatakan,
kurun waktu 25 tahun mengabdi di Keraton Yogya, dirinya dan keluarga
mendapat berkah yang sulit diungkapkan. “Saya tidak setuju pemilihan
namun penetapan. Harus diingat, Yogya ini dulunya bergabung ke NKRI
bukan melebur,” ujar Isnu. Kepemimpinan Sultan HB dan Paku Alam juga
dipercayai Isnu memberi dampak ketentraman batin, kebanggaan serta
kepuasan tersendiri bagi masyarakat Yogya. Dia mencontohkan, kurun waktu
25 tahun mengabdi di dalam keraton, tidak sedikitpun muncul keluh kesah
apalagi penyesalan. “Saya betah dengan kepemimpinan Sultan HB-Paku
Alam. Jadi jangan diubah tradisi penetapan yang dibutuhkan warga,”
ingatnya. (MS/Indah Ardina)