www.MartabeSumut.com, Medan
Penanganan kasus pelecehan seksual oleh Dosen Universitas Sumatera Utara (USU) inisial “HS” tergolong lamban, tidak tegas, berpotensi menimbulkan ketidak percayaan masyarakat pada hukum serta ancaman keamanan di lingkungan kampus. Itulah sebabnya, sanksi terhadap “HS” bisa dilakukan melalui hukum pidana plus merujuk Keputusan Rektor USU Nomor : 1179/H5.1.R/SK/SDM/2008 tentang Kode Etik dan Disiplin Dosen Universitas Sumatera Utara. Sesuai Bab III mengenai Kode Etik Dosen Bagian Kedua Pasal 5, “HS” terbukti melanggar ayat 7 tentang etika terhadap mahasiswa. Pelanggaran kode etik secara rinci diatur dalam bagian ketiga Pasal 9 mengenai sanksi. Dosen yang melanggar, dalam ayat 1 disebutkan diberi sanksi moral. Ayat 2 diterangkan sanksi moral berupa tidak diperkenankan untuk mengikuti kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi selama 2 semester. Sanksi moral ini dalam ayat 3 dilakukan secara tertutup.
Harus Diproses Secara Hukum
Penegasan tersebut dilontarkan pengamat hukum dari kantor Hukum PERDANA Medan, M Hendra Razak SH, MH. Dia mengatakan, sanksi kode etik tidaklah cukup. Kasus pelecehan seksual yang dilakukan terduga “HS” harus dilanjutkan ke proses hukum pidana. Menurut Razak, penindakan dari sisi hukum pidana dengan penindakan kode etik merupakan dua hal yang berbeda. Kode etik hanya mengatur persoalan profesionalitas dosen sebagai tenaga pendidik. Sementara hukum pidana mengatur tentang perbuatan yang memberi ancaman dengan hukuman pidana dari hukum publik. “Proses hukum terhadap Dosen USU “HS” harus tetap berlanjut. Tegakkan proses hukum terhadap dosen USU “HS” si predator seks itu..! Sebab, proses penegakan kode etik tidak dapat menghalangi atau memberhentikan proses penindakan hukum pidana,” ucapnya kepada www.MartabeSumut.com melalui saluran pesan WhatsApp, Senin siang (27/5/2019).
Korban Disarankan Lapor Polisi
Razak melanjutkan, mengupas perbuatan yang diduga dilakukan oleh Dosen USU “HS”, merupakan tindakan cabul. Dalam KUHP karya R Soesilo, yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, perbuatan cabul diatur mulai dari Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Jika perbuatan terduga “HS” dapat dibuktikan dengan 2 alat bukti permulaan yang cukup, maka Dosen USU “HS” dapat ditindak dan diproses secara hukum. “HS bisa ditindak dan diproses dengan adanya laporan dari korban kepada polisi dan terpenuhinya 2 alat bukti permulaan yang cukup,” yakin Razak.
Diberhentikan dari ASN/PNS
Perilaku “HS” juga disebut Razak dapat mengancam jabatannya sebagai dosen berstatus ASN/PNS. Pria berkantor di Jalan Sutomo Medan tersebut memastikan, pemecatan “HS” dapat dilakukan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (2) huruf (a) berkaitan dengan pelanggaran sumpah dan janji jabatan. Apalagi sumpah dan janji jabatan diatur tegas dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2017. “Salah satu frasenya menyebut, bahwa saya akan menjaga integritas, tidak menyalahgunakan kewenangan, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela,” singkap Razak. Jika memang terbukti unsur bersalah sesuai pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul, Razak pun percaya unsur menghindarkan diri dari perbuatan tercela itu telah dilanggar. Sebab perbuatan cabul adalah perbuatan yang amat tercela dan diancam dengan predikat kejahatan.
Dekan FISIP USU Membenarkan
Terpisah sebelumnya, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr Muryanto Amin, SSos, MSi, membenarkan dosen dari departemen Sosiologi inisial “HS” bersalah dan terbukti melakukan tindak kekerasan seksual terhadap “D”, mahasiswinya. Kepada www.MartabeSumut.com, Jumat sore (24/5/2019), Muryanto Amin menjelaskan, peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu 3 Februari 2018. “HS” disebutnya sudah mengakui sendiri melalui investigasi kecil Jurusan. “Kemudian kami laporkan ke Dekan FISIP,” terang Muryanto melalui saluran telepon. Saat mengakui perbuatannya, lanjut Muryanto, “HS” mengaku khilaf dan meminta maaf. “Kami kasih sanksi teguran keras,” tegasnya.
Pria yang meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia itu juga membantah kabar bahwa surat teguran untuk “HS” bersifat tidak resmi. Dia memastikan, informasi kasus “HS” tidak ditutup-tutupi. Menyahuti permintaan korban “D” dan pendampingnya pada Kamis (23/5/2019) saat hadir ke FISIP USU, yakni pemecatan dosen “HS” termasuk regulasi penanganan korban pelecehan seksual, Muryanto menyarankan usulan tersebut sebaiknya dibuat tertulis supaya dapat diproses. (MS/PRASETIYO)