Kapolsek Medan Kota Sandy Sinurat itu Arogan Menjalankan Jabatan !

Bagikan Berita :

Awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk menyibak peristiwa lucu, unik dan aneh yang melibatkan nama Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat, SIK. Namun saya berubah fikiran. Pelayanan jabatan/sikap yang saya terima dari seorang anggota polisi (baca;pejabat) di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) dan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan, itu ternyata mengganggu benak saya yang serius menggeluti profesi jurnalis. Setidaknya dilandasi 2 alasan. Pertama, saya takut sikap Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat menjadi pembelajaran salah dan proyek percontohan buruk bagi institusi kepolisian saat menjalankan jabatan. Kedua, kritik dan masukan kedepan bagi Kapolri, Kapoldasu, Kapolresta Medan, Kapolsek di jajaran Poldasu, unsur kepolisian hingga instansi pemerintah berkompeten lain supaya benar-benar profesional mengidentivikasi tugas-tugas seorang jurnalis dan bukan basa-basi busuk seperti dipertontonkan Kapolsek Medan Kota itu.

Dalam lanjutan tulisan ini saya tidak lagi menyebut perwira polisi itu Kapolsek Medan Kota tapi cukup Sandy Sinurat saja. Menurut saya, yang namanya Kapolsek, tentulah orang sudah mahfum bahwa sosoknya dipenuhi kedewasaan berfikir, supel bergaul, fleksibel menanggapi dan bijak saat memutuskan. Baik itu perkembangan di lingkungan kerja maupun unsur yang datang dari luar institusinyanya. Tapi Sandy Sinurat, yang baru 1 kali saya temui langsung untuk kepentingan profesionalisme peliputan Pers, terbukti sangat tidak bijak. Melainkan arogan dengan jabatan, meremehkan status sosial media seseorang hingga merasa agung dengan posisinya sekarang yang jelas-jelas bersifat sementara. Selain itu, umurnya yang secara lahiriah bisa dipastikan jauh di bawah saya, juga tidak mencerminkan perilaku polisi yang melayani dan mengabdi. Dia juga bukan kategori aparat negara yang mau belajar mengenal pola kerja Pers namun memaksakan pengertiannya yang salah akan sesuatu yang lucu, seperti saya katakan di atas.


Timbul pertanyaan, kenapa saya menggolongkan Sandy Sinurat itu arogan jabatan, meremehkan status sosial media seseorang, merasa agung dengan posisi sekarang, tidak mencerminkan perilaku polisi yang melayani/mengabdi, bukan kategori aparat negara yang mau belajar mengenal pola kerja Pers melainkan memaksakan pengertiannya yang salah?


Ceritanya bermula tatkala saya melintasi SMUN 5 di Jalan Pelajar Medan, Kamis (31/5/2012) sekira pukul 10. 00 WIB. Ketika melintas mata saya terarah pada aktivitas penarik becak bermotor (betor) yang hampir setiap harinya berkumpul di pinggir jalan bermain judi tuo. Satu pemandangan miris yang kerap kali saya saksikan dan merusak pemandangan bagi siapa saja yang melihat. Selama ini, saya sudah mencoba mencari waktu tepat untuk mengkonfirmasi masalah tersebut ke Polsek Medan Kota. Tapi ternyata, baru pada hari Kamis 31 Mei 2012 itulah saya memiliki waktu luang mendatangi Polsek Medan Kota. Setibanya di Polsek Medan Kota, saya menjumpai petugas piket jaga. Kala itu ada Aiptu AE Siregar dan Bripka H Nainggolan. Setelah memperkenalkan diri, keduanya pun menyatakan Sandy Sinurat sedang keluar. Sambil menunggu Sandy Sinurat, selanjutnya kami terlibat percakapan hangat menyangkut topik perjudian tuo penarik betor di depan SMU 5. Sekira 15 menit ngobrol akrab dengan mereka, Sandy Sinurat memasuki ruangannya. Saya langsung minta izin pada 2 petugas jaga untuk pindah posisi dan diarahkan menemui ajudan sebelum memasuki ruangan Sandy Sinurat. Saya mematuhi prosedur tersebut. Beberapa menit kemudian, ajudan mempersilahkan masuk. Saya lebih dulu mengetuk pintu Sandy Sinurat sebelum berjalan memasuki ruangannya. Saya melihat Sandy Sinurat duduk di kursi `kerajaannya` menatap saya dengan sorot tidak bersahabat, yang seharusnya tidak lajim lagi terlihat di era keterbukaan institusi kepolisian sekarang ini. Namun, bagi saya yang baru cuma 20 tahun punya pengalaman bertugas di Pers, saya tetap `positive thinking` dengan tetap tersenyum menjabat tangannya. Saya memperkenalkan diri kepada Sandy Sinurat serta menjelaskan kepadanya kalau saya adalah jurnalis media cetak Harian SIMANTAB yang beredar di Medan, Sumut, Jakarta, Jambi, Batam dan beberapa  daerah lain. Tatapan Sandy semakin tidak bersahabat. Lagi-lagi, sedikitpun saya tidak berfikiran negatif. Sebab yang saya tahu, kami baru saja berkenalan langsung sehingga saya pun meminta izin mewawancarainya terkait permainan judi tuo di depan SMU 5 sambil meletakkan alat perekam.


Sandy Sinurat Minta Identitas


Sandy Sinurat tidak menanggapi informasi dan pertanyaan saya. Melainkan mengeluarkan suara datar serta meminta identitas Pers. “Coba mana identitas Anda,” katanya. Lalu saya mengeluarkan kartu Pers media online MartabeSumut.com sembari menyatakan bahwa selain berkiprah di salah satu Harian, saya juga jurnalis di Media Online MartabeSumut.com. Entah Sandy Sinurat memang tipikal manusia yang alergi dengan Pers atau sengaja mempersulit Pers, tapi yang jelas, sikap dia selanjutnya semakin tidak wajar. Saya sempat bingung sebentar melihatnya sebab saya datang bukan menuntut keramahtamahan namun kewajaran profesionalisme jabatannya melayani informasi publik yang sifatnya juga sangat sederhana dan insidentil. Bukan apa-apa, ketika dia meminta identitas, hati saya sempat memunculkan decak kagum akan sosok polisi yang memastikan dulu kebenaran jati diri seorang wartawan sebelum melayani. Namun setelah diberikan kartu Pers, Sandy Sinurat justru meminta surat tugas. Pada detik berikutnya Sandy Sinurat menyatakan tidak akan memberikan konfirmasi apapun sebelum ada surat tugas resmi dari media manapapun tempat saya bertugas. Sementara bukti identitas Kartu Pers yang diminta dan telah dipegangnya, justru dianggap Sandy Sinurat tidak ada arti sama sekali. Sandy Sinurat tetap menolak berbicara sebelum ada surat tugas resmi ke Polsek Medan Kota untuk konfirmasi berita. Dan manakala kembali dijelaskan bahwa saya bukanlah jurnalis yang khusus `ngepos` di Polsek Medan Kota sehingga tidak terfikir mempersiapkan surat tugas secara formal, Sandy kembali menampakkan kebijakan prosedural kaku dan terkesan kurang mendukung tugas-tugas Pers. Manakala saya `dikte` lagi Sandy Sinurat dengan menjelaskan bahwa surat tugas dikeluarkan redaksi suatu penerbitan Pers semata-mata karena Kartu Pers seorang jurnalis belum selesai dicetak, dan atau surat tugas itu dikeluarkan hanya untuk peliputan-peliputan khusus hingga penempatan seorang wartawan di lembaga/instansi tertentu, sang Sandy Sinurat kokoh ngotot tidak mau peduli. Lucunya lagi, ketika saya sudah menerangkan gamblang fungsi Kartu Pers dan bedanya dengan surat tugas, Sandy Sinurat malah mencontohkan wartawan `ngepos` di Polsek Medan Kota yang semuanya memiliki surat tugas. “Media apa itu, saya baru dengar. Kalau ada surat tugas peliputan di Polsek Medan Kota ini, barulah Anda saya layani. Kami aja kalau melakukan penangkapan atau penugasan ke suatu tempat harus ada surat tugas,” tepisnya enteng. Singkat cerita, saya pun tidak betah berlama-lama dengan perwira polisi kaku yang arogan jabatan itu. Saya permisi baik-baik seraya menatap 2 orang staf Sandy Sinurat yang berada di ruangan dan sempat mendengar `keletihan` saya menerangkan fungsi kartu Pers kepada Sandy Sinurat. Setelah pergi, saya pun tidak habis akal. Demi etika cover both side news (keseimbangan pemberitaan), saya kembali menemui petugas piket jaga Aiptu AE Siregar dan Bripka H Nainggolan. Wawancara terpenuhi dan beritanya saya tulis langsung di headline MartabeSumut.Com terbitan Kamis, 31 Mei 2012 pukul 14:02 WIB, berjudul : Aparat Polsek Medan Kota Tangkap Penarik Betor yang Main Judi Tuo di Depan SMU 5. Sedangkan di media cetak Harian SIMANTAB terbit edisi hari Jumat 1 Juni 2012 di halaman 7 berjudul : Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat, SIK, Bersikap Kaku, Tak Akui Kartu PERS Tapi Minta Surat Tugas. .


Arogansi Jabatan & Remehkan Pekerja Pers


Dari fakta cerita di atas, saya tegas menggarisbawahi kalau Sandy Sinurat adalah tipikal polisi yang arogan menjalankan jabatan yang kebetulan masih disandangnya saat ini. Pasalnya, realita perjudian di wilayahnya adalah satu peristiwa pemberitaan yang bakal tidak tercover lagi bila apa yang diminta Sandy Sinurat harus disediakan di depan `meja kerajaannya` saat itu juga. Benak saya berfikir, selama hampir 20 tahun menggeluti profesi jurnalistik dan pernah 10 tahun menjadi wartawan unit Polda di salah satu Provinsi Indonesia, apa yang dikatakan Sandy Sinurat sebenarnya sesuatu yang menurut saya memalukan. Kenapa? Sebab, dia seperti meludah ke atas dan terkena muka sendiri. Logikanya bisa saya pastikan, mayoritas polisi, termasuk Sandy Sinurat, bila merasakan sudah memiliki bukti permulaan cukup atas suatu kasus, hal-hal yang sifatnya eksekusi kebijakan di lapangan akan dilakukan kendati administrasi surat penangkapan seorang tersangka belum ada sama sekali. Apa Sandy Sinurat memungkiri ini? Saat berikutnya benak saya yang lain jadi tersenyum kecil melihat gaya usang seorang oknum Polri bernama Sandy Sinurat yang mencerminkan perilaku pejabat polisi feodal. Artinya, fakta kriminal di wilayah hukumnya sendiri bukan disikapi sebagai poin sakral atas kehadiran Pers memberi informasi. Melainkan mengedepankan arogansi jabatan yang dimiliki sebagai kekuatan untuk menolak berbagai persoalan memalukan yang belum diselesaikannya dan kebetulan diamati insan Pers. Dan dengan alasan surat tugas, Sandy Sinurat enteng menampilkan sikap enggan menanggapi Pers karena saya menduga kuat, selama ini dia mengabaikan atau menganggap remeh masalah tersebut di wilayah Polseknya. Saya juga bertanggungjawab menyimpulkan, Sandy Sinurat telah meremehkan pekerja dan institusi Pers. Alasannya, saya dan rakyat Indonesia di Sumut ini membayar Sandy Sinurat melalui segudang pajak agar dia bekerja profesional melayani hingga memberi penjelasan keadaan kepada masyarakat. Rakyat, termasuk Pers, berhak menuntut kejelasan penanganan keamanan/perjudian di wilayah Polsek Medan Kota karena ada kekuatan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).


Saya mau mengatakan pula, kalimat Sandy Sinurat menyangkut `media apa itu`, adalah cermin kuat bahwa sebenarnya dia memposisikan jabatan untuk bersikap diskriminatif memandang status sosial media seseorang yang digolongkannya kecil, baru beberapa hari terbit alias `belum bisa berlari kencang`. Padahal dia tidak sadar, sekecil apapun media yang diusung seorang wartawan untuk wawancara, tetap saja membawa institusi Pers. Pola diskriminatif yang dipertontonkan Sandy Sinurat terbukti telah merusak kapasitasnya dan meremehkan kebesaran Pers sebagai pilar ke-4 demokrasi. Sepertinya Sandy Sinurat perlu belajar dan diberitahukan lagi bahwa `orang jatuh bukan karena batu besar tapi lantaran batu kecil/kerikil/pasir`. Sebab, adalah hal yang menggelikan sekali, bila seandainya Sandy Sinurat ditanya tentang nama-nama media cetak/online internet di Sumut-Indonesia-dunia ini, maka dia cuma tahu nama media-media besar yang dianggapnya penerbitan resmi Pers tanpa menganggap status media kecil lain yang kebetulan baru terbit. Kamis lalu itu, Sandy Sinurat memang terlihat merasa agung dengan posisinya sekarang. Kendati demikian, dengan agung pula saya mau mengungkapkan kepada Sandy Sinurat, kepada masyarakat Sumut, kepada rakyat Indonesia dan kepada publik dunia, bahwa perilaku polisi yang seyogianya melayani dan mengabdi, nyaris tidak melekat pada diri Sandy Sinurat. Dia meminta identitas namun setelah diberikan malah tidak menunjukkan sikap pelayanan yang wajar saja. Dia juga sempat saya `perintahkan` agar mengarahkan anggotanya mencari koran SIMANTAB di lapak/kios dan membuka situs berita media online MartabeSumut.Com bila curiga pada saya. Tapi Sandy Sinurat justru enteng menolak tanpa alasan jelas. Bahkan saya sempat meminta Sandy Sinurat untuk menelepon kantor redaksi harian tempat saya bertugas agar berbicara langsung dengan pimpinan saya bila merasa tidak percaya atau menduga saya orang yang tidak kredibel.Toh Sandy Sinurat yang memegang kartu Pers saya, kala itu, dengan gagahnya bersikap `lucu kaku` karena hanya `pintar` berdalih: surat tugas. Jabatannya dianggap sangat agung sehingga merasa tidak etis bila terlalu mudah dikonfirmasi PERS. Itu pun kalau dia tak mau dikatakan; gak sudi melayani media/masyarakat yang mengetahui kebobrokan perjudian di wilayah hukumnya. Terakhir, saya juga mau menggarisbawahi lagi bahwa Sandy Sinurat bukanlah kategori aparat negara yang mau belajar mengenal pola kerja Pers. Alasannya, saat dijelaskan berulang-ulang dengan bahasa yang sangat sederhana, Sandy Sinurat tetap kaku, tidak bijak dan memaksakan pengertiannya yang salah.


Sandy Sinurat Memojokkan Diri Sendiri


Maaf, tulisan ini tidak bermaksud memojokkan siapapun termasuk Sandy Sinurat. Karena sesungguhnya, Sandy Sinurat sendirilah yang telah memojokkan dirinya dengan arogansi jabatan. Tulisan ini pun sengaja saya persembahkan kepada Sandy Sinurat, jajaran Kepolisian Republik Indonesia, publik Sumut, rakyat Indonesia bahkan masyarakat dunia, khususnya Kapoldasu dan Kapolresta Medan selaku atasan penghukum (ankum) Sandy Sinurat, untuk selanjutnya dapat disikapi secara arif dan bijak. Silahkan tegur dia bila Anda setuju atau silahkan bantah saya bila ada yang tidak sependapat. Namun yang pasti, pada Jumat siang 1 Juni 2012, dengan perasaan bangga saya mengirimkan pesan singkat SMS ke ponsel Kapolresta Medan Kombes Monang Situmorang terkait buruknya pelayanan publik seorang Sandy Sinurat kepada masyarakat Pers saat menjalankan amanah jabatan di wilayah Polsek Medan Kota. Tulisan ini juga bukan saya buat untuk menodai citra kepolisian, tidak untuk mempermalukan Sandy Sinurat atau bukan pula bertendensi membuat perasaannya jadi tidak enak. Tapi saya uraikan dengan gamblang untuk menjadi perbaikan, kritik dan masukan konstruktif bagi pihak yang berkompeten. Jadi tulisan ini sepenuhnya tidak berlandaskan subjektivitas personal melainkan berdasarkan fakta jurnalistik yang dilihat/dirasakan. Sekali lagi, saya baru bertemu dan mengenal Sandy Sinurat secara pribadi pada Kamis 31 Mei 2012. Apa yang saya rasakan dan hadapi dengan dia kurun waktu 10 menit, itulah yang saya garisbawahi di sini. Saya mau membuka mata insan Pers lain bahwa ternyata tidak sedikit pihak, termasuk oknum polisi, yang kerap alergi (menolak) dengan aktivitas Pers tanpa mampu memberi penjelasan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab sangat tidak bijaksana rasanya, ketika saya menemui Sandy Sinurat dengan etika profesional untuk mengkonfirmasi satu berita up to date, memberitahukan dia akan suatu masalah di wilayah hukumnya dan bahkan dukungan UU Pers No 40 tahun 1999, namun `yang mulia` Sandy Sinurat itu menghalang-halangi kinerja Pers dengan alasan surat tugas yang tidak dimengertinya. Semoga kedepan tidak ada lagi sosok Sandy Sinurat-Sandy Sinurat lain di penjuru Tanah Air yang gemar menjalankan jabatan dengan arogan, kaku, menghalang-halangi kinerja jurnalis, melemahkan institusi Pers dan terindikasi kuat melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik.

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here