Awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk menyibak peristiwa lucu, unik dan aneh yang melibatkan nama Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat, SIK. Namun saya berubah fikiran. Pelayanan jabatan/sikap yang saya terima dari seorang anggota polisi (baca;pejabat) di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) dan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan, itu ternyata mengganggu benak saya yang serius menggeluti profesi jurnalis. Setidaknya dilandasi 2 alasan. Pertama, saya takut sikap Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat menjadi pembelajaran salah dan proyek percontohan buruk bagi institusi kepolisian saat menjalankan jabatan. Kedua, kritik dan masukan kedepan bagi Kapolri, Kapoldasu, Kapolresta Medan, Kapolsek di jajaran Poldasu, unsur kepolisian hingga instansi pemerintah berkompeten lain supaya benar-benar profesional mengidentivikasi tugas-tugas seorang jurnalis dan bukan basa-basi busuk seperti dipertontonkan Kapolsek Medan Kota itu.
Dalam lanjutan tulisan ini saya tidak lagi menyebut perwira polisi
itu Kapolsek Medan Kota tapi cukup Sandy Sinurat saja. Menurut saya,
yang namanya Kapolsek, tentulah orang sudah mahfum bahwa sosoknya
dipenuhi kedewasaan berfikir, supel bergaul, fleksibel menanggapi dan
bijak saat memutuskan. Baik itu perkembangan di lingkungan kerja maupun
unsur yang datang dari luar institusinyanya. Tapi Sandy Sinurat, yang
baru 1 kali saya temui langsung untuk kepentingan profesionalisme
peliputan Pers, terbukti sangat tidak bijak. Melainkan arogan dengan
jabatan, meremehkan status sosial media seseorang hingga merasa agung
dengan posisinya sekarang yang jelas-jelas bersifat sementara. Selain
itu, umurnya yang secara lahiriah bisa dipastikan jauh di bawah saya,
juga tidak mencerminkan perilaku polisi yang melayani dan mengabdi. Dia
juga bukan kategori aparat negara yang mau belajar mengenal pola kerja
Pers namun memaksakan pengertiannya yang salah akan sesuatu yang lucu,
seperti saya katakan di atas.
Timbul pertanyaan, kenapa
saya menggolongkan Sandy Sinurat itu arogan jabatan, meremehkan status
sosial media seseorang, merasa agung dengan posisi sekarang, tidak
mencerminkan perilaku polisi yang melayani/mengabdi, bukan kategori
aparat negara yang mau belajar mengenal pola kerja Pers melainkan
memaksakan pengertiannya yang salah?
Ceritanya bermula
tatkala saya melintasi SMUN 5 di Jalan Pelajar Medan, Kamis (31/5/2012)
sekira pukul 10. 00 WIB. Ketika melintas mata saya terarah pada
aktivitas penarik becak bermotor (betor) yang hampir setiap harinya
berkumpul di pinggir jalan bermain judi tuo. Satu pemandangan miris yang
kerap kali saya saksikan dan merusak pemandangan bagi siapa saja yang
melihat. Selama ini, saya sudah mencoba mencari waktu tepat untuk
mengkonfirmasi masalah tersebut ke Polsek Medan Kota. Tapi ternyata,
baru pada hari Kamis 31 Mei 2012 itulah saya memiliki waktu luang
mendatangi Polsek Medan Kota. Setibanya di Polsek Medan Kota, saya
menjumpai petugas piket jaga. Kala itu ada Aiptu AE Siregar dan Bripka H
Nainggolan. Setelah memperkenalkan diri, keduanya pun menyatakan Sandy
Sinurat sedang keluar. Sambil menunggu Sandy Sinurat, selanjutnya kami
terlibat percakapan hangat menyangkut topik perjudian tuo penarik betor
di depan SMU 5. Sekira 15 menit ngobrol akrab dengan mereka, Sandy
Sinurat memasuki ruangannya. Saya langsung minta izin pada 2 petugas
jaga untuk pindah posisi dan diarahkan menemui ajudan sebelum memasuki
ruangan Sandy Sinurat. Saya mematuhi prosedur tersebut. Beberapa menit
kemudian, ajudan mempersilahkan masuk. Saya lebih dulu mengetuk pintu
Sandy Sinurat sebelum berjalan memasuki ruangannya. Saya melihat Sandy
Sinurat duduk di kursi `kerajaannya` menatap saya dengan sorot tidak
bersahabat, yang seharusnya tidak lajim lagi terlihat di era keterbukaan
institusi kepolisian sekarang ini. Namun, bagi saya yang baru cuma 20
tahun punya pengalaman bertugas di Pers, saya tetap `positive thinking`
dengan tetap tersenyum menjabat tangannya. Saya memperkenalkan diri
kepada Sandy Sinurat serta menjelaskan kepadanya kalau saya adalah
jurnalis media cetak Harian SIMANTAB yang beredar di Medan, Sumut,
Jakarta, Jambi, Batam dan beberapa daerah lain. Tatapan Sandy semakin
tidak bersahabat. Lagi-lagi, sedikitpun saya tidak berfikiran negatif.
Sebab yang saya tahu, kami baru saja berkenalan langsung sehingga saya
pun meminta izin mewawancarainya terkait permainan judi tuo di depan SMU
5 sambil meletakkan alat perekam.
Sandy Sinurat Minta Identitas
Sandy
Sinurat tidak menanggapi informasi dan pertanyaan saya. Melainkan
mengeluarkan suara datar serta meminta identitas Pers. “Coba mana
identitas Anda,” katanya. Lalu saya mengeluarkan kartu Pers media online
MartabeSumut.com sembari menyatakan bahwa selain berkiprah di salah
satu Harian, saya juga jurnalis di Media Online MartabeSumut.com.
Entah Sandy Sinurat memang tipikal manusia yang alergi dengan Pers atau
sengaja mempersulit Pers, tapi yang jelas, sikap dia selanjutnya
semakin tidak wajar. Saya sempat bingung sebentar melihatnya sebab saya
datang bukan menuntut keramahtamahan namun kewajaran profesionalisme
jabatannya melayani informasi publik yang sifatnya juga sangat sederhana
dan insidentil. Bukan apa-apa, ketika dia meminta identitas, hati saya
sempat memunculkan decak kagum akan sosok polisi yang memastikan dulu
kebenaran jati diri seorang wartawan sebelum melayani. Namun setelah
diberikan kartu Pers, Sandy Sinurat justru meminta surat tugas. Pada
detik berikutnya Sandy Sinurat menyatakan tidak akan memberikan
konfirmasi apapun sebelum ada surat tugas resmi dari media manapapun
tempat saya bertugas. Sementara bukti identitas Kartu Pers yang diminta
dan telah dipegangnya, justru dianggap Sandy Sinurat tidak ada arti sama
sekali. Sandy Sinurat tetap menolak berbicara sebelum ada surat tugas
resmi ke Polsek Medan Kota untuk konfirmasi berita. Dan manakala kembali
dijelaskan bahwa saya bukanlah jurnalis yang khusus `ngepos` di Polsek
Medan Kota sehingga tidak terfikir mempersiapkan surat tugas secara
formal, Sandy kembali menampakkan kebijakan prosedural kaku dan terkesan
kurang mendukung tugas-tugas Pers. Manakala saya `dikte` lagi Sandy
Sinurat dengan menjelaskan bahwa surat tugas dikeluarkan redaksi suatu
penerbitan Pers semata-mata karena Kartu Pers seorang jurnalis belum
selesai dicetak, dan atau surat tugas itu dikeluarkan hanya untuk
peliputan-peliputan khusus hingga penempatan seorang wartawan di
lembaga/instansi tertentu, sang Sandy Sinurat kokoh ngotot tidak mau
peduli. Lucunya lagi, ketika saya sudah menerangkan gamblang fungsi
Kartu Pers dan bedanya dengan surat tugas, Sandy Sinurat malah
mencontohkan wartawan `ngepos` di Polsek Medan Kota yang semuanya
memiliki surat tugas. “Media apa itu, saya baru dengar. Kalau ada surat
tugas peliputan di Polsek Medan Kota ini, barulah Anda saya layani. Kami
aja kalau melakukan penangkapan atau penugasan ke suatu tempat harus
ada surat tugas,” tepisnya enteng. Singkat cerita, saya pun tidak betah
berlama-lama dengan perwira polisi kaku yang arogan jabatan itu. Saya
permisi baik-baik seraya menatap 2 orang staf Sandy Sinurat yang berada
di ruangan dan sempat mendengar `keletihan` saya menerangkan fungsi
kartu Pers kepada Sandy Sinurat. Setelah pergi, saya pun tidak habis
akal. Demi etika cover both side news (keseimbangan
pemberitaan), saya kembali menemui petugas piket jaga Aiptu AE Siregar
dan Bripka H Nainggolan. Wawancara terpenuhi dan beritanya saya tulis
langsung di headline MartabeSumut.Com terbitan Kamis, 31 Mei
2012 pukul 14:02 WIB, berjudul : Aparat Polsek Medan Kota Tangkap
Penarik Betor yang Main Judi Tuo di Depan SMU 5. Sedangkan di media
cetak Harian SIMANTAB terbit edisi hari Jumat 1 Juni 2012 di halaman 7 berjudul : Kapolsek Medan Kota Kompol Sandy Sinurat, SIK, Bersikap Kaku, Tak Akui Kartu PERS Tapi Minta Surat Tugas. .
Arogansi Jabatan & Remehkan Pekerja Pers
Dari fakta cerita di atas, saya
tegas menggarisbawahi kalau Sandy Sinurat adalah tipikal polisi yang
arogan menjalankan jabatan yang kebetulan masih disandangnya saat ini. Pasalnya,
realita perjudian di wilayahnya adalah satu peristiwa pemberitaan yang
bakal tidak tercover lagi bila apa yang diminta Sandy Sinurat harus
disediakan di depan `meja kerajaannya` saat itu juga. Benak saya
berfikir, selama hampir 20 tahun menggeluti profesi jurnalistik dan
pernah 10 tahun menjadi wartawan unit Polda di salah satu Provinsi
Indonesia, apa yang dikatakan Sandy Sinurat sebenarnya sesuatu yang
menurut saya memalukan. Kenapa? Sebab, dia seperti meludah ke
atas dan terkena muka sendiri. Logikanya bisa saya pastikan, mayoritas
polisi, termasuk Sandy Sinurat, bila merasakan sudah memiliki bukti
permulaan cukup atas suatu kasus, hal-hal yang sifatnya eksekusi
kebijakan di lapangan akan dilakukan kendati administrasi surat
penangkapan seorang tersangka belum ada sama sekali. Apa Sandy Sinurat memungkiri ini?
Saat berikutnya benak saya yang lain jadi tersenyum kecil melihat gaya
usang seorang oknum Polri bernama Sandy Sinurat yang mencerminkan
perilaku pejabat polisi feodal. Artinya, fakta kriminal di wilayah
hukumnya sendiri bukan disikapi sebagai poin sakral atas kehadiran Pers
memberi informasi. Melainkan mengedepankan arogansi jabatan yang
dimiliki sebagai kekuatan untuk menolak berbagai persoalan memalukan
yang belum diselesaikannya dan kebetulan diamati insan Pers. Dan dengan
alasan surat tugas, Sandy Sinurat enteng menampilkan sikap enggan
menanggapi Pers karena saya menduga kuat, selama ini dia mengabaikan
atau menganggap remeh masalah tersebut di wilayah Polseknya. Saya juga
bertanggungjawab menyimpulkan, Sandy Sinurat telah meremehkan pekerja
dan institusi Pers. Alasannya, saya dan rakyat Indonesia di Sumut ini
membayar Sandy Sinurat melalui segudang pajak agar dia bekerja
profesional melayani hingga memberi penjelasan keadaan kepada
masyarakat. Rakyat, termasuk Pers, berhak menuntut kejelasan penanganan
keamanan/perjudian di wilayah Polsek Medan Kota karena ada kekuatan UU
Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Saya
mau mengatakan pula, kalimat Sandy Sinurat menyangkut `media apa itu`,
adalah cermin kuat bahwa sebenarnya dia memposisikan jabatan untuk
bersikap diskriminatif memandang status sosial media seseorang yang
digolongkannya kecil, baru beberapa hari terbit alias `belum bisa
berlari kencang`. Padahal dia tidak sadar, sekecil apapun media
yang diusung seorang wartawan untuk wawancara, tetap saja membawa
institusi Pers. Pola diskriminatif yang dipertontonkan Sandy Sinurat
terbukti telah merusak kapasitasnya dan meremehkan kebesaran Pers
sebagai pilar ke-4 demokrasi. Sepertinya Sandy Sinurat perlu belajar dan
diberitahukan lagi bahwa `orang jatuh bukan karena batu besar tapi
lantaran batu kecil/kerikil/pasir`. Sebab, adalah hal yang menggelikan
sekali, bila seandainya Sandy Sinurat ditanya tentang nama-nama media
cetak/online internet di Sumut-Indonesia-dunia ini, maka dia cuma tahu
nama media-media besar yang dianggapnya penerbitan resmi Pers tanpa
menganggap status media kecil lain yang kebetulan baru terbit. Kamis
lalu itu, Sandy Sinurat memang terlihat merasa agung dengan posisinya
sekarang. Kendati demikian, dengan agung pula saya mau mengungkapkan
kepada Sandy Sinurat, kepada masyarakat Sumut, kepada rakyat Indonesia
dan kepada publik dunia, bahwa perilaku polisi yang seyogianya melayani
dan mengabdi, nyaris tidak melekat pada diri Sandy Sinurat. Dia meminta
identitas namun setelah diberikan malah tidak menunjukkan sikap
pelayanan yang wajar saja. Dia juga sempat saya `perintahkan` agar
mengarahkan anggotanya mencari koran SIMANTAB di lapak/kios dan membuka
situs berita media online MartabeSumut.Com bila curiga pada
saya. Tapi Sandy Sinurat justru enteng menolak tanpa alasan jelas.
Bahkan saya sempat meminta Sandy Sinurat untuk menelepon kantor redaksi
harian tempat saya bertugas agar berbicara langsung dengan pimpinan saya
bila merasa tidak percaya atau menduga saya orang yang tidak kredibel.Toh
Sandy Sinurat yang memegang kartu Pers saya, kala itu, dengan gagahnya
bersikap `lucu kaku` karena hanya `pintar` berdalih: surat tugas.
Jabatannya dianggap sangat agung sehingga merasa tidak etis bila terlalu
mudah dikonfirmasi PERS. Itu pun kalau dia tak mau dikatakan; gak sudi
melayani media/masyarakat yang mengetahui kebobrokan perjudian di
wilayah hukumnya. Terakhir, saya juga mau
menggarisbawahi lagi bahwa Sandy Sinurat bukanlah kategori aparat negara
yang mau belajar mengenal pola kerja Pers. Alasannya, saat dijelaskan
berulang-ulang dengan bahasa yang sangat sederhana, Sandy Sinurat tetap
kaku, tidak bijak dan memaksakan pengertiannya yang salah.
Sandy Sinurat Memojokkan Diri Sendiri
Maaf,
tulisan ini tidak bermaksud memojokkan siapapun termasuk Sandy Sinurat.
Karena sesungguhnya, Sandy Sinurat sendirilah yang telah memojokkan
dirinya dengan arogansi jabatan. Tulisan ini pun sengaja saya
persembahkan kepada Sandy Sinurat, jajaran Kepolisian Republik
Indonesia, publik Sumut, rakyat Indonesia bahkan masyarakat dunia,
khususnya Kapoldasu dan Kapolresta Medan selaku atasan penghukum (ankum)
Sandy Sinurat, untuk selanjutnya dapat disikapi secara arif dan bijak.
Silahkan tegur dia bila Anda setuju atau silahkan bantah saya bila ada
yang tidak sependapat. Namun yang pasti, pada Jumat siang 1 Juni
2012, dengan perasaan bangga saya mengirimkan pesan singkat SMS ke
ponsel Kapolresta Medan Kombes Monang Situmorang terkait buruknya
pelayanan publik seorang Sandy Sinurat kepada masyarakat Pers saat
menjalankan amanah jabatan di wilayah Polsek Medan Kota. Tulisan ini
juga bukan saya buat untuk menodai citra kepolisian, tidak untuk
mempermalukan Sandy Sinurat atau bukan pula bertendensi membuat
perasaannya jadi tidak enak. Tapi saya uraikan dengan gamblang untuk
menjadi perbaikan, kritik dan masukan konstruktif bagi pihak yang
berkompeten. Jadi tulisan ini sepenuhnya tidak berlandaskan
subjektivitas personal melainkan berdasarkan fakta jurnalistik yang
dilihat/dirasakan. Sekali lagi, saya baru bertemu dan mengenal Sandy
Sinurat secara pribadi pada Kamis 31 Mei 2012. Apa yang saya rasakan dan
hadapi dengan dia kurun waktu 10 menit, itulah yang saya garisbawahi di
sini. Saya mau membuka mata insan Pers lain bahwa ternyata tidak
sedikit pihak, termasuk oknum polisi, yang kerap alergi (menolak) dengan
aktivitas Pers tanpa mampu memberi penjelasan alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Sebab sangat tidak bijaksana rasanya, ketika saya
menemui Sandy Sinurat dengan etika profesional untuk mengkonfirmasi
satu berita up to date, memberitahukan dia akan suatu masalah
di wilayah hukumnya dan bahkan dukungan UU Pers No 40 tahun 1999, namun
`yang mulia` Sandy Sinurat itu menghalang-halangi kinerja Pers dengan
alasan surat tugas yang tidak dimengertinya. Semoga kedepan
tidak ada lagi sosok Sandy Sinurat-Sandy Sinurat lain di penjuru Tanah
Air yang gemar menjalankan jabatan dengan arogan, kaku,
menghalang-halangi kinerja jurnalis, melemahkan institusi Pers dan
terindikasi kuat melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik.