Kabar Beredar Gubsu Ditahan KPK Usai Lebaran, Dr Dharma: Gatot Tak Punya Sense of Belonging Sumut

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengacara kondang OC Kaligis sebagai tersangka kasus korupsi, Selasa (14/7/2015), kini kabar tak sedap beredar santer di kalangan wartawan. Bukan apa-apa, Gubsu Gatot Pujo Nugroho disebut-sebut bakal ditahan KPK usai Idul Fitri 1436 H atau setelah diperiksa pada Rabu 22 Juli 2015.

Menanggapi kabar tersebut, pemerhati sosial politik Nasional asal Sumatera Utara (Sumut) Dr (Phil) Dharma Indra Siregar (78) (foto) tidak menampiknya. Namun melihat kemungkinan itu terjadi sebab cukup banyak masalah diributkan rakyat Sumut sejak beberapa tahun terakhir. Tatkala ditemui www.MartabeSumut.com di Medan, Selasa siang (14/7/2015), Dr Dharma mengungkapkan rentetan peristiwa ganjil sejak Juni-Juli 2015 di Sumut. Diantaranya; Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan (LHPK) APBD Sumut 2014 pada Jumat 12 Juni 2015, namun menuai protes banyak kalangan akibat beragam indikasi penyimpangan keuangan negara. Disusul Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI terhadap 3 hakim, 1 Panitera PTUN Medan dan 1 pengacara pada Kamis 9 Juli 2015, kemudian permintaan KPK kepada Dirjen Imigrasi untuk mencekal Gubsu Gatot Pujo Nugroho pada Jumat 10 Juli 2015, penggeledahan KPK ke kantor Gubsu di Jalan Diponegoro Medan pada Sabtu malam 11 Juli 2015 hingga penetapan tersangka pengacara kondang OC Kaligis. 

Persoalan Korupsi

Menurut Dr Dharma, dari sisi keilmuan philosofis, maka apa yang dialami Gatot selaku Gubernur sekira 12 juta rakyat Sumut, sebenarnya tidak terlepas dari 1 persoalan inti yang melibatkan kepemimpinannya, yaitu korupsi. Praduga tak bersalah dipastikan Dr Dharma patut diposisikan sebagai pijakan awal proses hukum, namun di sisi lain asas praduga bersalah juga jadi pegangan kuat bagi kalangan penegak hukum. “Mungkin saja rumor penahanan itu benar. Karena selama Gatot saya kenal, dia tidak punya philosofis kepemimpinan sense of belonging Sumut (rasa memiliki Sumut-Red),” aku Dr Dharma, sembari mengingatkan, philosofis adalah falsafah dalam diri seseorang yang tercermin dari perilaku. “Kehilangan harta benda adalah biasa, kehilangan anak-istri juga biasa. Sebab semuanya berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi kalau manusia kehilangan harga diri, maka kita tidak berharga atau bukan siapa-siapa,” timpalnya lagi.


Secara philosofis, psikologis dan falsafah perilaku kepemimpinan Gatot sebagai Gubsu, lanjut Dr Dharma, hingga kini tidak diketahui persis seberapa besar kecintaan Gatot terhadap Provinsi Sumut. “Berapa persen sih diri Gatot cinta Sumut ? Kalo dia cinta Sumut, dia pasti tidak korupsi. Dia tidak boleh korupsi 1 sen pun uang rakyat untuk memperkaya diri, kroni-kroni atau kelompok tertentu,” ucapnya. Tapi bila Gatot terbukti korupsi dan menyalahgunakan wewenang semisal program Bantuan Daerah Bawahan (BDB/BKP), Bantuan Sosial (Bansos), Bagi Hasil Pajak (BHP) atau sejenisnya, maka Dr Dharma percaya kalau Gatot bukanlah siapa-siapa lagi karena telah kehilangan harga diri bahkan kepercayaan 12 juta rakyat yang dipimpin.

Opini WTP Bohong Besar


Menyahuti opini WTP yang diberikan BPK RI kepada Gubsu/Pemprovsu beberapa waktu lalu, Dr Dharma blak-blakan menyatakan bohong besar. Bagi dia, penilaian BPK itu sebatas melihat arus kas keluar-masuk, wajar atau tidak wajar pengeluaran, fiktif atau real dan pelaporan akuntansi secara administratif belaka. Dengan adanya temuan dan pelanggaran regulasi atas tata kelola keuangan, terang Dr Dharma, seharusnya BPK melihat luas kedepan bahwa dibalik temuan maupun pelanggaran ada tersembunyi praktik negoisiasi, kolusi serta korupsi. “Tapi hak BPK deh dalam menilai. Yang pasti, WTP tersebut ibarat the singer but not the song (penyanyinya tapi bukan lagunya-Red),” sindir Dr Dharma.

Apapun yang terjadi kelak kepada Gatot, ungkap Dr (Phil) Dharma lebih jauh, dirinya selalu jeli melihat sesuatu dari perspektif philosofis. Sebab rangkaian KPK melakukan OTT, penggeledahan dan permintaan pencekalan Gubsu Gatot Pujo Nugroho, itu diyakininya merupakan kiat KPK yang tidak sembarangan dalam memutuskan tindakan apalagi sampai pencekalan. Berarti, imbuh Dr Dharma lagi, patut diduga 99,99 persen sudah tersingkap data/fakta suap dan korupsi yang dialamatkan KPK kepada Gatot. Sehingga warga Sumut disarankannya tidak perlu heran melihat pembesar atau pejabat Sumut dipecat, ditahan, ditangkap bahkan dicekal penegak hukum kapan saja. “Ini kajian penilaian philisofis, akar dari semua disiplin ilmu. Gatot mungkin saja telah khianati ibunya, istrinya dan 12 juta rakyat Sumut. Kalo bukan karena Syamsul Arifin, tidak bakal ada yang kenal Gatot,” ingatnya. Oleh karena Gatot tidak punya sense of belonging Sumut selama memimpin, maka secara pilosofis Dr Dharma mengimbau Gatot agar siap-siap pasrah walau tak rela dalam mempertanggungjawabkan segala dugaan korupsi yang diributkan masyarakat Sumut kurun beberapa tahun terakhir. “Melihat pembesar dan pejabat, cukup bijak rasanya kita amati dulu falsafah hidupnya agar tahu arah fikir kepemimpinannya. Falsafah hidup Gatot yang saya kenal selama ini cuma memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dari sisi philosofis, psikologis dan politik dia sdh gagal. Kalo mantan Gubsu Syamsul Arifin tidak begitu dulunya memimpin,” tutup Dr Dharma, sembari mengajak semua aparat, pejabat, pembesar di Indonesia untuk merenungkan kalimat philosofis : how green your country, how rich your country but how poor your country? (betapa indah negerimu, betapa kaya negerimu tapi betapa miskin rakyatmu?). (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here