Tulisan ini disajikan sebagai bukti kebanggaan menyandang profesi jurnalis dan bersempena Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2013. Judul tulisan memang sangat normatif sebab sengaja menggugat objektivitas skill (pertanggungjawaban) seseorang menjalankan tugas-tugas profesi (wartawan).
Bukan apa-apa, sepertinya si ‘kompetensi’ kian nyaring saja terdengar akhir-akhir ini namun realita di lapangan jauh panggang dari api. Saya pun memutuskan membedahnya gara-gara tergelitik 2 fakta empiris yang secara langsung berimplikasi terhadap keagungan Pers sebagai institusi. Pertama, maraknya orang mirip wartawan dan kerap lalulalang di berbagai institusi pemerintahan (khususnya Medan dan Sumut). Satu yang jamak saya amati, misalnya, di gedung DPRD Sumut. Setiap ada agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) anggota Dewan bersama instansi pemerintah, ruangan komisi cenderung sesak oleh wajah-wajah ‘yang tidak asing lagi’. Duduk manis memegang kertas, menatap serius ke suasana RDP serta kerap terlihat menuliskan sesuatu. Saking seriusnya, terkadang mereka mampu mengecoh orang awam karena berhasil mengalahkan geliat insan Pers yang sebenarnya. Makanya saya sendiri tak berani menyebut mereka wartawan kendati tingkahnya mempertontonkon kemiripan sosok wartawan.
Usai RDP, hampir semua mereka yang mirip wartawan tadi selalu berbondong-bondong mengejar pejabat/staf institusi SKPD. Saya sendiri pernah risih ketika mewawancarai salah satu Kepala SKPD Provsu setelah RDP digelar. Pasalnya, ketika melakukan wawancara tunggal, saya membayangkan muncul sosok wartawan lain untuk mempertanyakan sesuatu dengan muatan tertentu. Bagi saya momen seperti itu termasuk strategis karena bisa menambah informasi manakala sang wartawan melantunkan pertanyaan berbobot. Ternyata perkiraan itu meleset ! Mereka yang datang justru mengelilingi saya dan Kepala SKPD. Kemudian menatap aneh seolah-olah meminta saya segera menuntaskan wawancara. Tapi saya tidak mempedulikan mengingat data dan konfirmasi yang saya butuhkan belum terhimpun. Tuntas wawancara, saya mengucapkan terimakasih serta bersalaman dengan narasumber seraya berlalu meninggalkannya.
Belum lagi berjarak 1 Meter dari narasumber, klimaks keheranan yang sedari awal berkecamuk di benak akhirnya terjawab. Salah seorang yang mirip wartawan tadi tiba-tiba nyeletuk; ‘ayo lae kita kejar dia’. Merasa sering berpapasan namun tak kenal nama, saya pun hanya tersenyum menjawabnya. Mengetahui gelagat saya menolak, yang lain langsung berduyun-duyun mengejar Kepala SKPD. Selang beberapa menit, secara tidak sengaja seorang Satpam di DPRD Sumut mengatakan kalau mereka mengikuti kepala SKPD ke parkiran mobil untuk ‘BD’ alias buka dasar alias meminta uang. Alamakjang..!! Batin saya langsung menjerit histeris mendengar cerita si Satpam. “Ulah segelintir orang yang seolah-olah wartawan telah terbukti merusak kompetensi Pers secara institusi di mata publik”. Itulah pengalaman 3 tahun lalu dan sampai sekarang masih saja jelas terlihat oleh mata telanjang di gedung DPRD Sumut.
Tujuan Uji Kompetensi
Kedua, berhubungan dengan momentum uji wartawan yang dilangsungkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumut beberapa waktu lalu di Medan. Saya tidak terlalu tertarik mencari tahu materi apa yang diberikan karena sejak reformasi bergelinding banyak organisasi Pers berdiri dengan segudang kegiatan internal masing-masing. Namun saya lebih konsern menelisik tujuan uji kompetensi dan apa-apa saja yang dihasilkan. Beberapa hari kemudian barulah saya mengetahui bahwa forum kompetensi tersebut bermaksud melahirkan keputusan untuk menetapkan kelas, kategori atau grid terhadap sosok peserta/wartawan. Berbentuk keputusan kualifikasi mutu/kapasitas wartawan tingkat pemula (reporter), manajemen keredaksian (redaktur/kordinator liputan) hingga pengambil keputusan (pemimpin redaksi/wakil pemimpin redaksi/redaktur pelaksana). Cuma itu yang saya dengar, entahlah bila mereka membahas atau melupakan hal prinsip lain yang justru banyak terabaikan.
Ukuran Kompetensi Wartawan
Maaf, tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan lembaga apapun atau pihak manapun. Tapi mengacu 2 fakta empiris di atas, ukuran penetapan kompetensi seorang wartawan pantas dibedah terbuka dan didiskusikan secara proporsional tanpa unsur diskriminatif apalagi mengedepankan eksklusivisme lembaga. Sebab memutuskan kompetensi tidaklah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak karena lulus ujian, tidak juga karena mengandalkan nama besar organisasi atau bukan pula gara-gara unsur subjektivitas terhadap media massa tempat seorang wartawan bernaung. Ukuran kompetensi wajib dilihat dari kacamata universal karena institusi Pers bukan milik orang-orang tertentu saja. Tidak kehendak atau otoritas Dewan Pers, bukan hak organisasi wartawan, bukan milik wartawan yang tua dari sisi usia dan bukan pula otoritas media-media besar yang kebetulan lebih dulu ‘berlari kencang’. Kompetensi wartawan hanya bisa diukur berdasarkan kiprah, untuk selanjutnya mengamati pertanggungjawaban karyanya di hadapan publik. Apakah benar-benar dilakukan yang bersangkutan, atau tidak. Apakah kemudian dipublikasikan pada media cetak, media online, media eketronik hingga media publik lain dimana sang wartawan mengaku berkiprah, atau sama sekali nol besar.
Kalau poin pertama di atas tadi ada segelintir orang memposisikan diri seolah-olah wartawan tapi merusak kompetensi institusi Pers di mata publik, jawabnya jelas bahwa mereka adalah wartawan gadungan (wargad) alias CNN (cuma nengok-nengok, cuma nanya-nanya, cuma nulis-nulis, cuma nduduk-nduduk, cuma nfoto-nfoto dan cuma nanduk-nanduk). Satu aktivitas yang sejak lama terindikasi merusak, berbau kriminal dan sebenarnya dapat dengan mudah ditangkal melalui hak publik semisal; memastikan kebenaran identitas (nama/media/alamat), tidak melayani bila ragu atau melakukan konfirmasi kepada pimpinan media yang diusung. Andaikan masih saja ada yang menjurus kriminal seperti pemerasan, masyarakat umum jangan sampai ragu melapor kepada pihak penegak hukum. Sederhana sekali langkah untuk para perusak kompetensi institusi Pers. Bahkan saya tidak pernah setuju gerakan kaum wargad, CNN, WTS atau sejenisnya yang dibiarkan merajalela terlalu lama sehingga berimplikasi terhadap hancurnya kompetensi seorang wartawan, jurnalis dan insan Pers secara fungsional.
Banyak Wartawan Tidak Kompeten?
Itu kalau menyangkut para perusak kompetensi institusi Pers dari pihak eksternal yang seolah-olah berprofesi wartawan. Sedangkan bila kita kritisi poin kedua melalui uji kompetensi yang dilakukan PWI Sumut, maka izinkan saya mengacungkan jempol karena terselip kemauan kuat pihak internal Pers dalam menegaskan strata kepiawaian kiprah pribadi seseorang yang menyatakan diri wartawan dan terstruktur di boks keredaksian media massa. Besar kemungkinan, konsepsi yang menyangkut : tidak semua wartawan memiliki skill sama dalam hal teknik menulis, teknik wawancara, teknik mendapatkan narasumber, teknik menghimpun data/informasi, teknik mengembangkan isu atau teknik-teknik lain, dijadikan alasan urgen pelaksanaan uji kompetensi. Logika lain yang mendekati bisa saja terkait banyaknya wartawan media massa lokal terbitan Medan yang terbukti belum mampu menurunkan lead dan angel berita untuk tulisan sederhana semisal straight news. Itu belum termasuk persoalan kemampuan menulis features news, byline news, profile news, advertorial news hingga article opinion news. Artinya, kendati alasan-alasan tersebut cuma saya reka-reka semata, namun hati saya tetap kesulitan memahami maksud uji kompetensi wartawan. Pertanyaannya sekarang: Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang? Dari 1 pertanyaan itu, muncul lagi 3 pertanyaan retoris serupa; apakah karena wartawan di Medan dan Sumut ini banyak yang tidak kompeten, atau memang sudah pantas diberi label ‘paten’? Kenapa wartawan Indonesia malah tidak diundang secara terbuka? Bukankah PWI milik semua wartawan Indonesia, bila memang organisasinya mau dibilang modern dan menolak dikatakan primordial? Bila alasan berikutnya muncul semata-mata untuk memenuhi kalender kegiatan organisasi dan seremonial formal internal, maksud kegiatan memang tidak perlu dipertanyakan. Namun saya khawatir, uji kompetensi justru dipersepsikan ‘arogan’ sehingga diaminkan sebagai satu-satunya tolok ukur penentu eksistensi seorang wartawan. Saya juga berkeberatan bila uji kompetensi bermaksud menghidupkan lagi sistem status quo masa lalu karena PWI terbukti pernah menjadi wadah tunggal pemerintahan Orde Baru yang mempraktikkan sistem politik korporatisme. Semua orang tahu kalau dimasa Orde Baru PWI merupakan sub-ordnasi langsung pemerintah menyangkut ‘pengendalian’ pemberitaan kritis sehingga lahirlah puluhan organisasi Pers lain sejak reformasi bergelinding deras tahun 1998. Pada sisi lain, tentulah saya juga bakal bereaksi keras bila uji kompetensi hanya dijadikan ajang kamuflase sensasional pencitraan semu, sekadar mengecilkan/mengaburkan kiprah/kompetensi wartawan lain yang kebetulan bertugas di media yang ‘belum bisa berlari kencang’ hingga dugaan masyarakat luas terkait ‘menangguk pundi-pundi’ untuk kepentingan oknum pribadi pengurus.
Asumsi lain bernada skeptis muncul lagi kepermukaan; mungkinkah memutuskan kompetensi wartawan hanya berhubungan dengan kedudukan seseorang di struktur organisasi Pers? Atau hanya karena seseorang kebetulan bertugas di media massa yang manajemennya sudah tertib? Oopsssss tunggu dulu bos, jelas diskriminatif dan tidak fair..! Makanya beberapa waktu lalu saya mencari tahu siapa-siapa saja peserta yang ikut uji kompetensi PWI Sumut itu. Dugaan awal saya ternyata tidak melenceng. Puluhan peserta uji kompetensi wartawan disebut-sebut diundang hanya karena anggota PWI. Benak saya pun tersenyum kecil mengetahui asal peserta dengan 10 pertanyaan menggelitik; apakah PWI bukan milik wartawan Indonesia? Apakah PWI mau jadi organisasi modern atau sekadar menghidupkan lagi pola primordial status quo seperti pengalaman masa lalu? Kenapa PWI Sumut tidak mengundang terbuka seluruh wartawan yang bertugas di Sumatera Utara? Bagaimana pula dengan seorang wartawan yang belum tertarik masuk organisasi wartawan (sampai sekarang) tapi sudah ‘capek’ jadi reporter, redaktur, kordinator liputan, redaktur pelaksana bahkan pemimpin redaksi? Lalu, bagaimana dengan wartawan atau orang-orang yang sudah ‘capek’ mengikuti ajang berbagai lomba-lomba karya tulis dan pernah mendapat predikat pengakuan juara? Apakah orang seperti itu tidak kompeten jadi wartawan ? Sadarkah kita atau pura-pura tidak tahukah Anda selaku insan Pers bahwa perusahaan penerbitan media, khususnya di Medan/Sumut ini, banyak yang terindikasi tidak kompeten karena kesulitan keuangan menggaji wartawan? Atau, kalau pun menggaji wartawan jauh di bawah UMK ? Bisakah dijelaskan bagaimana nasib para ‘peserta/wartawan kompeten’ yang kebetulan masih tercatat namanya di media massa, namun dalam waktu tak terduga media massa tempatnya menulis harus tutup karena bangkrut? Terakhir, sudah adakah lembaga resmi di Indonesia yang diterima semua organisasi Pers/insan Pers untuk mengukur kompetensi seorang wartawan ?
Boro-boro uji kompetensi wartawan bos ! Menjawab 10 pertanyaan itu saja besar kemungkinan akan terasa kesulitan. Normatif sekali seperti saya uraikan di awal tulisan. ‘Takut awak meludah ke atas kenak mukak sendiri’. Pengalaman saya yang baru 20 tahun menyandang predikat jurnalis, justru menemukan fakta yang lebih masuk akal dari Aceh, Riau, Padang, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Kalimantan hingga Papua, bila dibandingkan kondisi ril perusahaan media di Medan/Sumut. Sebab, sekecil apapun perusahaan media di daerah-daerah tersebut tidak ada yang tidak menggaji wartawan. Umumnya memberikan salary dan take home pay (THP) sesuai UMR/UMK wilayah masing-masing. Sehingga wajar saja bila perusahaan di sana akan diberi label kompeten, sedangkan wartawannya bolehlah lolos syarat awal kalau berkeinginan ikut uji kompetensi.
Bagaimana rupanya kondisi perusahaan media di Medan/Sumut ? Miris membeberkannya karena terindikasi kuat minim penghormatan terhadap institusi maupun pekerja Pers. Walaupun ada beberapa perusahaan media yang menerapkan manajemen standard, tapi fakta tidak berkompetennya perusahaan penerbitan media massa di Medan/Sumut harus berani diakui jujur terlebih dahulu. Untuk diketahui, saya sendiri pernah beberapa kali tidak memiliki media tempat berkreasi dikarenakan masalah internal manajemen keuangan perusahaan. Menurut saya realita ini biasa dan kerap terjadi pada siapapun dalam dinamika kehidupan ‘kuli tinta’. Apalagisejak memulai derap praktis sebagai Jurnalis, guru saya bernama Dahri Maulana selalu berpesan agar tidak mudah ‘terduduk, terlena dan terjebak’ pada situasi sesat/sesaat. Terasa idealis memang kedengarannya. Namun saya hanya mencoba bercerita apa adanya dan berbagi pengalaman bagi insan Pers yang berkepentingan. Entah tulisan ini ‘memerahkan telinga’ piha tertentu atau tidak disukai sekalipun, bagi saya tak ada masalah. Karena semangat idealis itu pula yang menjadi kekayaan (bekal) yang saya agungkan sejak memutuskan terjun di blantika Pers hingga saat Anda membaca garis bawah ini. Saya selalu berupaya optimal mengedepankan etika profesional berdasarkan kode etik. Dan ketika saya harus ‘berhenti’ sesaat karena badai menerjang perusahaan media tempat berkiprah, saya tidak berlagak melakukan tugas-tugas jurnalistik semisal wawancara atau liputan. Kondisi beberapa tahun silam itu justru menghasilkan simpati melalui tawaran membuat karya-karya tulis, buku hingga release berita-berita tertentu dari narasumber terkait. Sesuatu yang menurut hemat saya merupakan kompetensi sesungguhnya dan penghormatan sejati.
Kompetensi, Dari Hati Paling Dalam
Saya menggarisbawahi, kompetensi seorang wartawan adalah kelahiran ketegasan sikap dari hati paling dalam saat memposisikan profesi (wartawan) sebagai amanah, harga diri hingga kehormatan. Diemban dengan penuh tanggungjawab dan tanpa pamrih, untuk selanjutnya dijalankan secara benar. Bila essensi pemikiran itu dipahami, kompetensi profesi dalam arti sebenarnya otomatis melahirkan profesionalisme tugas (skill). Diikuti integritas (kepribadian) tinggi dalam menerjemahkan hasil kerja melalui karya yang terdokumentasi berdasarkan liputan/wawancara. Kompetensi wartawan yang teruji akan menghasilkan pembelajaran publik menyangkut informasi yang benar, kritik yang konstruktif, saran yang membangun dan ‘sharing’ pendidikan bagi khalayak luas. Istilah saya, kompetensi wartawan bukan diukur karena ‘uban di kepala’ atau pembenaran subjektif melainkan karena karya serta integritas wartawan di hadapan publik ! Mungkin jadi banyak wartawan yang tidak sependapat dengan pemikiran saya karena suka meminta-minta. Atau mungkin pula ada yang tersinggung membaca konsepsi saya disebabkan gemar menekan pihak tertentu secara psikologis demi kepentingan tersembunyi. Tapi apapun reaksi teman-teman, sadar atau tidak, masyarakat dan narasumber sebenarnya terpaksa tersenyum memberikan di depan Anda tapi di belakang melahirkan sumpah serapah kepada pribadi maupun institusi Pers. Bukankah gara-gara segelintir orang berakibat celaka 13 bagi sosok wartawan lain yang serius menjalankan tugas ? Pemikiran saya ini kemungkinan masih harus diuji lagi kebenarannya. Tapi saya pribadi sangat siap bila ada pihak yang ingin berdiskusi lebih dalam sehingga dapat mengembangkan tataran pemikiran yang lebih kompeten. Bagi saya uji kompetensi profesi sah-sah saja dilakukan. Namun patut digarisbawahi, seseorang yang ingin diakui sebagai insan Pers, idealnya harus mengawali diri dengan penampilan sikap secara utuh. Enggan mengumbar diri sebagai insan Pers apalagi menyangkut hal-hal murahan di luar kepentingan jurnalistik.
Bukan Karena ‘Uban di Kepala’
Sekali lagi saya mohon maaf sebab membuat istilah ‘uban di kepala’ karena 3 dasar pemikiran. Pertama, uban di kepala menandakan usia kiprah seorang wartawan (tua menurut umur). Kedua, tercatat namanya di boks struktur (media massa yang jauh-jauh hari sudah ‘berlari kencang’) dan ketiga terlibat aktif di organisasi profesi wartawan (sebagai anggota atau pengurus). Saya meyakini ajang uji kompetensi wartawan yang digelar PWI Sumut tidak bertujuan mengultuskan struktural/fungsional tertentu. Bukan pula latah memutuskan kompetensi seorang wartawan hanya karena ‘uban di kepala’ dengan mengadopsi 3 dasar pemikiran di atas. Saya berharap PWI Sumut menempatkan kesakralan karya dan integritas organisasi sebagai dasar penetapan kompetensi. Cuma sayang sekali, hingga kini PWI Sumut tidak mengarah kepada sistem organisasi manajemen publik terbuka, kurang bersifat modern, terindikasi primordial dan tidak memposisikan lembaga sebagai milik watawan Indonesia sebagaimana nama besar yang sudah ‘berlari kencang’ sejak puluhan tahun lalu. Buktinya, ajang uji kompetensi yang digelar tidak melibatkan pihak eksternal PWI sebab dianggap bukan anggota. Fakta inilah yang membuat sebagian besar wartawan di Sumut, di luar keanggotaan administratif PWI bahkan ada yang di dalam keanggotaan PWI, mempertanyakan uji kompetensi tersebut. Semua mengkhawatirkan uji kompetensi hanya diprioritaskan kepada wartawan karena alasan ‘uban di kepala’ semata.
Seperti kita ketahui bersama, setidaknya institusi Pers saat ini tersosialisasi deras kepada publik dunia melalui 3 instrumen pemberitaan. Diantaranya media cetak (koran, majallah dan tabloid), media elektronik (TV/radio) hingga media internet (situs berita online). Pertanyaannya sekarang; apakah karena diantara media-media tersebut ada yang belum bisa ‘berlari kencang’, tergolong belia dan minus ‘uban di kepala’ sudah pasti tidak kompeten sehingga disingkirkan dalam ajang kompetensi ? Apakah mereka-mereka yang mengaku wartawan senior karena ‘uban di kepala’ sudah lebih baik menjalankan profesi wartawan ? Saya justru tertawa sekarang. Sebagai orang yang kebetulan memahami betul kebutuhan Pers seperti ‘belanja/memasak’ berita/iklan/menawarkan langganan dan sampai terbaca ke tangan masyarakat, perilaku wartawan senior karena ‘uban di kepala’-lah yang teramat sering merusak kompetensi institusi Pers. Khusus di Medan/Sumut, terus terang saja membuat bulu roma saya merinding. Bukan apa-apa, geliat memalukan dari mereka-mereka yang mengaku wartawan atau wartawan senior, itu mudah sekali ditandai karena suka mengemis berita/foto, enteng menciplak, mengutip, mengambil karya tulisan/foto orang lain lalu membuatnya seolah-olah karya sendiri hingga tidak adanya mental/wawasan melakukan wawancara. Setahu saya, walaupun 99% suatu berita release/kutipan diolah seorang wartawan, tulisan tetap saja harus mencantumkan sumber pertama. Tapi fakta memiriskan di depan mata selalu terjadi disela-sela semangat uji kompetensi yang didengung-dengungkan banyak pihak. Pengakuan terhadap karya kiriman semisal release atau gambar milik orang lain belum berani disampaikan jujur dengan jiwa besar. Semua justru dipraktikkan sesuka hati secara terbuka tanpa beban moral sedikitpun. Memang tidak semua wartawan begitu. Masih ada yang sulit mengingkari hati nurani sehingga menjalankan tugas mulia Pers dengan prinsip etika, kode etik dan penuh tanggungjawab. Namun harus diketahui, catatan saya, 90 persen ‘wartawan yang senior karena ‘uban di kepala’ diduga kuat dominan merusak kompetensi institusi Pers itu sendiri. Bahasa sederhananya; mereka tidak lebih baik dibanding wargad-wargad yang sedari awal memang awam pola kerja Pers. Masih pantaskah kita bicara kompetensi ? Wallahualam.
Saya juga percaya, beragam pertanyaan-pertanyaan skeptis di atas bakal sulit dijawab PWI Sumut (selaku penyelenggara), begitu pula para peserta yang telah dinobatkan atas grid wartawan berkompeten. Pun demikian, ada baiknya kita samakan kembali persepsi bahwa uji kompetensi hanyalah untuk kalangan PWI sendiri. Bukan bermaksud menjudge profesi wartawan Indonesia atau insan Pers karena ukuran subjektivitas ‘uban di kepala’.
Jurnalis Adalah Panggilan Jiwa
Kompetensi institusi Pers di era kekinian harus diakui semakin kurang kredibel tatkala begitu mudahnya mendirikan media massa dan mengangkat seseorang jadi wartawan disela-sela era keterbukaan Pers. Kalau dulu saya diwajibkan mengikuti pelatihan jurnalistik selama 2 minggu baru terjun ke lapangan, maka sekarang dari mana atau siapapun orangnya bisa ditampung sepanjang mau bekerja tanpa gaji. Mau dia montir bengkel, preman pasar hingga tukang parkir sekalipun. Bila dulu kredensi saya terjun menjadi jurnalis dilandasi talenta diri berdasarkan bukti kliping tulisan yang sering diterbitkan media massa, tapi kini rekruitmen wartawan di media massa tidak memerlukan bekal apa-apa. Asal kenal, kebetulan menganggur, bersedia tak digaji, ayooooo….tarik masuk mang..!!! Jadi tidak dilandasi prinsip pentingnya pengenalan jiwa seseorang tentang kesakralan panggilan dunia jurnalistik. Celakanya lagi, ketika yang direkrut adalah ‘fresh graduate’ alias nol pengalaman atau ‘dicomot’ dari preman pasaran, yang besangkutan malah tidak disuguhi pelatihan standard ilmu jurnalistik. Namun diberi ‘pistol untuk menodong’ plus gelagat usang wartawan ‘aspal’ (senior karena uban di kepala) yang dengan mudahnya mempertontonkan perilaku murahan semisal: mengumbar kemana-mana sebutan diri sebagai wartawan, menggertak-gertak narasumber dengan kartu Pers, meminta-minta uang, tampil ‘gagah’ pada hampir semua kegiatan formal suatu instansi bahkan namanya terdaftar secara administratif di lembaga-lembaga publik tertentu. Toh, bila ditelisik lebih dekat ke media yang disebut-sebut tempat bertugas, maka ujung-ujungnyanya cuma ‘wartawan muntaber’ atau istilah kerennya selalu muncul bergaya dimana-mana tapi tanpa berita. Kalau pun ada berita/fotonya, bisa pula dipastikan kalau itu hanya kiriman e-mail seseorang atau tabiat pencurian berita dari berbagai sumber situs internet. Lagi-lagi saya harus berteriak alamakjang..!!!! Kalau orang Medan bilang; kek gini terus ya ancur kalilah Pers kita di Indonesia dan Sumut nih Pakcik !
Dan ketika yang direkrut adalah orang-orang yang dianggap punya pengalaman, ternyata pengalamannya juga tidak lebih indah dibanding beritanya. Kondisi serupa kembali berulang manakala pemilik perusahaan enggan melakukan pembobotan. ‘Belanjaan’ berita dari lapangan sama persis menerapkan prinsip ‘cursani’ alias curi sana sini. Itulah faktanya. Kalau Anda masih tidak percaya, lihat saja buktinya di beberapa media terbitan Medan yang selalu sama terbit tapi kode dan penulis justru berbeda. Satu sikap yang tidak sportif untuk mengakui sumber pertama berita/foto dan jelas-jelas melanggar etika dan kode etik Pers. Saya meyakini, pengurus PWI Sumut tahu masalah ini. Namun saya tidak bisa memastikan apakah PWI Sumut berani mengangkat masalah tersebut melalui uji kompetensi.
Sikap + Skill = Kompetensi Wartawan
Berbicara mengenai ukuran kompetensi seorang wartawan, sebenarnya teramat mudah untuk ditelisik seperti saya uraikan di atas. Sebab saya mau mengatakan, mengukur kompetensi wartawan tidaklah dilihat dari umur seseorang, tidak karena ‘segan’ dengan media massa tempat seseorang bernaung atau bukan gara-gara organisasi Pers yang digeluti. Kompetensi juga bukan sebatas memiliki kartu Pers atau tercantum-nya nama di boks redaksi. Kompetensi wartawan adalah perpaduan antara sikap saat menjalankan tugas-tugas jurnalistik di lapangan (integritas diri di hadapan publik) serta pertanggungjawaban karya (skill) dari setiap liputan atau wawancara yang dilakukan. Entah dia menulis di media cetak, media online, media eketronik atau media publik jenis lain. Wartawan yang kompeten tidak mengenal istilah ‘BD’, meminta uang balas jasa berita, mengemis berita/foto, menunggu release/kiriman berita e-mail atau cuma pintar menaikkan berita/foto curian sehingga seolah-olah karya sendiri. Kalau masih unsur-unsur sebatas itu yang tetap dipraktikkan seseorang yang mengaku wartawan, maka anak SD, SMP, SMA dan masyarakat awam pun mampu melakukan.
Amanah & Harga Diri
Setiap wartawan yang berkompeten akan menampakkan nadi aktivitas berdasarkan panggilan dari hati paling dalam. Memposisikan profesi (wartawan) sebagai amanah, harga diri bahkan kehormatan. Sehingga bukan hal mengherankan bila ada media-media besar yang berkompeten akan dengan ‘lantang’ menyatakan bahwa ‘wartawannya tidak diperbolehkan menerima atau meminta apapun dari narasumber’. Itu semua diisyaratkan agar tugas-tugas jurnalistik diemban dengan sukacita dan penuh tanggungjawab tanpa pamrih, untuk selanjutnya dijalankan secara benar dan bertanggungjawab. Kompetensi profesi dalam arti sebenarnya melahirkan profesional tugas (skill) secara teknis dan diikuti integritas kepribadian tinggi menerjemahkan hasil kerja melalui karya yang terdokumentasi sesuai liputan/wawancara. Sosok wartawan yang kompeten pasti terlihat gemar menangkap informasi, melakukan wawancara, meliput situasi hingga menuangkan beragam karya tulis/foto pada media massa bertugas. Sesuatu yang merupakan perilaku seni dan dilakukan dari hati paling dalam tanpa harus dikomandoi. Jadi teramat mudah untuk diamati tanpa harus pakai uji kompetensi sekalipun atau pamer/mengandalkan eksklusivisme lembaga tertentu. Nah, kalau akhirnya uji kompetensi formal dipakai untuk melihat kelas/strata seorang wartawan, pada prinsipnya oke-oke saja. Tapi lagi-lagi saya mau ingatkan bahwa itu belum menjamin kompetensi sejati seorang jurnalis. Harus direnungkan, wartawan adalah profesi mulia yang datang dari hati. Profesi yang tidak luntur selama darah di kandung badan. Tidak bisa diukur oleh waktu, ruang, uang, kekuasaan, esklusivisme atau kepentingan apapun.
Refleksi Peran
Akhirnya, memasuki Hari Pers Nasional tahun 2013, tak salah rasanya insan Pers di Medan, Sumut dan Indonesia merefleksi peran profesi seraya merenungkan sejenak kalimat pendiri Harian Kompas Jakob Oetama terkait bentuk ideal Pers di era kekinian. Saat berbincang-bincang dengan beliau 12 tahun lalu di Semarang, Jakob menyerukan; “Hentikan jadi wartawan kalau bekerja tanpa fikiran !”. Menurut Jakob Oetama, sekarang ini banyak orang bangga menyebut diri wartawan tapi sebenarnya telah berhenti jadi wartawan tanpa disadari. Kala itu Jakob Oetama menyebut, ada 3 alasan kenapa seseorang bisa menghentikan dirinya sendiri sebagai wartawan. Pertama, tidak memakai fikiran saat berani menulis berita bohong. Kedua, tidak punya fikiran saat berani mengungkap narasumber anonim (rahasia). Dan ketiga, tidak memakai fikiran saat mengutip (copy paste) tulisan/karya/foto orang lain (dari sumber pertama) atau malu berjiwa besar mengakui karya orang lain sehingga seolah-olah menjadikannya karya sendiri. Orang-orang seperti itu dikategorikan Jakob Oetama kelompok oportunis penipu/pembodoh publik yang menghancurkan kompetensi dan merusak bentuk ideal institusi Pers beriklim sehat pemberitaan serta sehat bisnis. Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2013..! Bila Anda mengaku wartawan, buktikan kompetensi melalui sikap, karya dan tulisan. Bukan karena eksklusivisme alias ‘uban di kepala’ !