Menelisik sejarah masa lalu bangsa, sebenarnya founding fathers (pendiri negara) kita berangkat dari semangat awal (besar) menyatukan potensi ribuan pulau, ratusan suku, puluhan etnis
serta bermacam agama kedalam 1 bingkai kesatuan. Berbagai jenis
kepluralan itu diyakini pendiri negara akan menjadi kekuatan eksklusif
positif yang sangat tangguh bila dipersatukan dalam tatanan hidup bernegara. Timbul pertanyaan, apakah maksud mulia tersebut bisa utuh sendiri selamanya dan mungkinkah mempertahankan kesatuan-kesatuan tanpa
tindaklanjut secara adil berkesinambungan?
Pertanyaan itu
memang terasa sepele namun menjadi sangat susah dijawab kalau mengacu
realita empiris kekinian di penjuru Tanah Air. Sebab belakangan ini
strategi menjaga keutuhan hampir 200 juta penduduk Indonesia terkesan
dianggap remeh dan
dipandang sebagai pekerjaan semua orang dan bukan tanggungjawab
pemerintah. Padahal, sampai sekarang masih banyak rakyat
yang masih “kesepian ditengah-tengah keramaian” alias melarat.
Ironi miris hidup si miskin yang mustahil memikirkan keutuhan bangsa.
Pada Jumat (15/8/2014) kemarin Presiden SBY menyatakan dalam pidato
kenegaraan HUT RI bahwa sedari Maret 2014 kemiskinan turun 11 persen
atau berkisar 28 juta jiwa lagi. Kendati SBY menegaskan turun, toh tetap
saja masih ada 28 juta rakyat yang harus disejahterakan hidupnya oleh pemerintah dan bukan orang banyak. Belum lagi beberapa
tahun terakhir ini upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkal
laju pencurian uang negara tidak berkorelasi terhadap turunnya jumlah pelaku
korupsi. Malah kian banyak dan merajalela. Orang-orang kategori pencuri
ini pantas dicap penjajah bangsa sendiri karena mereka melakukannya
dengan sadar, aji mumpung jabatan, terstruktur, sistematis dan massif
(TSM——bukan seperti kasus Prabowo Subianto). Oknum pejabat
berloma-lomba korupsi berjamaah pada semua situsi, ruang, golongan dan
kesempatan. Dua contoh semisal “orang-orang yang kesepian ditengah-tengah
keramaian” dan penjajah bangsa sendiri itu tentu saja membuat pertanyaan
di atas menjadi sangat tidak sepele. Pada sisi lain, uang yang
seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
tapi dirampok diam-diam melalui konspirasi oknum-oknum aparat, pejabat,
birokrat dan konglomerat, membuat rasa keadilan rakyat semakin jauh dari
semangat untuk menjaga keutuhan bangsa. Sikap apriori terus bergelora disaat-saat penegakan
hukum kalah telak oleh pembusukan budaya. Pantas digarisbawahi, wajar
sekali rasanya bila akhirnya upaya menyatukan kesatuan-kesatuan rakyat
selalu sulit terwujud tatkala kalangan melarat dan yang merasa terjajah
mulai membentuk kesatuan eksklusif sendiri untuk bangkit melawan. Membentuk
kekuatan baru dengan maksud menentukan nasib hidup sendiri. Artinya,
suara sumbang serta gugatan atas definisi konstitusional Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) saat ini harus jujur diakui berseliweran
deras dan mengharuskan pembahasan serta perhatian serius semua instrumen
pemerintah terkait. Seluruh komponen bangsa harus sadar bahwa : paham
negara kesatuan hanyalah kemustahilan belaka kalau semua aliran
kesatuan yang sudah bersatu tidak mengerti apa tujuan negara atau tidak
diberitahukan lagi secara jelas apa sebenarnya cita-cita bersama yang
ingin dicapai.
Mempertahankan Keutuhan NKRI = Jaga Kemajemukan Rakyat
Strategi
mempertahankan keutuhan NKRI
dimasa depan tidak tepat lagi mengandalkan logika sederhana
keterlibatan semua pihak. Keutuhan NKRI semalam, kemarin, 68 tahun,
besok, 69 tahun hingga masa akan datang bukan datang sekonyong-konyong
melainkan berbasis pengawalan kemajemukan unsur-unsur yang
memiliki ukuran-ukuran ideal emosional taraf hidup rakyat maupun
psikologi
khusus kearifan lokal. Jalan satu-satunya mempertahankan kemajemukan
(baca; kesatuan) besok atau di masa depan hanyalah dengan menjaga dan
mengakomodasi unsur berbeda secara
proporsional, diikuti wujud pemberian berbentuk pembagian
hasil-hasil dari tujuan atau cita-cita bersama yang telah digariskan.
Hanya dengan strategi inilah bisa diperoleh konsepsi kesatuan sejati
dalam menangkal lahirnya jaringan kesatuan sesaat baru yang berakar dari
ketidakpuasan. Saya percaya, bisa saja analisa sederhana ini salah dan
harus diuji lagi kebenarannya. Namun saya lebih berkeyakinan, adalah
suatu keniscayaan untuk menuntun kesatuan-kesatuan agar terpanggil
menjaga keutuhan dan tidak bersikap frontal
memunculkan arogansi eksklusivisme. Timbul lagi pertanyaan skeptis: apakah
masalah korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, perdamaian, penindasan
tersembunyi, lemahnya penegakan hukum, kesejahteraan rendah,
ketertinggalan dan penderitaaan rakyat yang berlangsung panjang ikut mempengaruhi kesatuan/keutuhan bangsa? Retoris sekali menjawabnya namun ada baiknya kita lihat sama-sama berdasarkan fakta terbentang di sekitar. Saya
mau menggariswbawahi, apapun yang sudah dipersatukan, pada akhirnya
menampilkan pembangkangan keutuhan manakala prinsip persamaan hidup
berdampingan sejahtera telah diabaikan.
Bingkai NKRI diimpikan sekira 200 juta rakyat Indonesia kokoh sepajang masa. Tidak ribut-ribut apalagi harus bubar hanya karena aksi segelintir oknum pemerintah maupun pihak-pihak yang sengaja mendelegitimasi keutuhan NKRI. Rakyat juga mendambakan hdupnya berjalan normal dan enggan melihat pembusukan budaya korup (pencuri uang negara) yang berimplikasi buruk pada kemunculan “masyarakat Indonesia yang kesepian ditengah-tengah keramaian”. Dalam artian, ketika taraf hidup rakyat berjalan tidak normal tapi melihat penjajahan gaya baru bebas berkeliaran merampok uang negara, maka gugatan terhadap keutuhan NKRI akan deras berkumandang. Oleh sebab itu, semenjak dini, saya memastikan, upaya merangsang semangat keutuhan rakyat menjadi sakral diprogramkan terus tanpa sikap mempermainkan, memandang sepele atau menjadikannya alat propaganda pemerintah/pihak tertentu untuk memuluskan vested interest (kepentingan tersembunyi). Potret utuh kesatuan NKRI bukanlah sesuatu yang sulit diwujudkan sepanjang mau dilaksanakan. Jujur diterjemahkan sesuai legacy (warisan) pendiri negara melalui konstitusi 5 Sila Pancasila, Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Saya ingin menyimpulkan, pemikiran dahsyat yang dicetuskan pendiri negara dalam legacy konstitusi tersebut wajib diwujudnyatakan dan jangan lagi sekadar retorika atau pemanis bibir seperti selama ini. Percaya atau tidak, merefleksi keutuhan NKRI di usia ke-69 tahun 2014 sepantasnya menuntun benak kita terhadap 1 tanda tanya besar : apakah Indonesia masih eksis berdiri pada 5, 10, 50 atau 100 tahun kedepan ? Mari kita menjawabnya dalam hati masing-masing. Namun lebih dari itu, benang biru sejarah bangsa mencatat bahwa kekuatan kesatuan yang terkotak-kotak di masa lalu memudahkan Belanda memecah Indonesia melalui politik kolonial devide et impera. Indonesia memang telah merdeka secara dejure dan defacto sebagai negara di usia 69 tahun ini. Tapi suka atau tidak, setuju atau tidak, Indonesia Raya kita sebenarnya belum bisa dibilang merdeka secara utuh. Sebab masih tersisa 28 juta penduduk miskin, maraknya koruptor gentayangan menerapkan penjajahan gaya baru, sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan, diskriminasi dalam kehidupan bangsa, keadilan tidak merata, perdamaian yang terusik, rusaknya keutuhan ciptaan, pembusukan budaya penegakan hukum, konspirasi jahat elite/kelompok berkepentingan, tingkat pengangguran tinggi dan berbagai jenis ketimpangan lainnya. Semua itu harus diselesaikan pemerintah dengan target cita-cita negara Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Sehingga apa yang dikatakan mantan Presiden pertama/Proklamator Kemerdekaan Indonesia Ir Soekarno pantas direnungkan sesaat oleh seluruh rakyat Indonesia: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Nah, akhirnya saya mengingatkan, kedepannya semangat kesatuan rakyat jangan lagi dibiarkan menguat sesat dan sesaat melainkan diselesaikan secara cepat dan tepat. Bingkai Indonesia yang utuh, adil dan demokratis dari Sabang-Merauke hanya akan eksis sepanjang masa tatkala kesatuan 200 juta rakyat bisa dijaga. Dirgahayu Indonesia ke-69, 17 Agustus 2014. Jayalah Bangsaku..!