MartabeSumut, Medan
Pasal 54 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebaiknya jangan dijadikan celah bernegosiasi bagi aparat hukum dan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebab bila itu terjadi, maka kelompok berduit akan memanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi. Artinya, pemerintah di Republik ini tidak perlu repot-repot lagi memerangi Narkoba namun melegalkan peredarannya di Indonesia.
Peringatan keras tersebut dilontarkan Praktisi Hukum Marwan Rangkuti, SH, kepada MartabeSumut, Minggu siang (3/2) di Medan, menanggapi dugaan kebijakan BNN yang terindikasi bakal merehabilitasi tersangka Raffi Ahmad, pascadigerebek di rumahnya, Jakarta, Minggu pagi (27/1) kemarin. Saat itu, beberapa kapsul berisi zat Cathinone yang ikut diamankan petugas, sempat membuat publik bertanya-tanya karena BNN terlihat ‘bingung’ menetapkan status Raffi Ahmad dengan alasan senyawa zat Cathinone belum diatur UU. Lucunya lagi, 5 orang teman Raffi Ahmad langsung bisa ditetapkan sebagai tersangka pada malam hari setelah penangkapan. Sementara BNN sendiri baru menetapkan Raffi Ahmad sebagai tersangka pada Jumat (1/2) atau 5 hari kemudian. Penetapan Raffi Ahmad sebagai tersangka setelah 5X24 jam, tentu saja menuai kecurigaan besar masyarakat luas terhadap kinerja serius BNN menegakkan hukum bagi penyalahguna Narkoba. Banyak pihak mensinyalir, kalau sebenarnya BNN sudah mendapatkan hasil tes labor urine/rambut Raffi Ahmad pada hari pertama penangkapan. Namun entah kenapa, fakta itu tidak diungkap tegas ke publik alias terkesan membuka diri dengan pihak tertentu untuk bernegosiasi. Benarkah?
Defenisi Narkoba Sudah Baku Dalam Pasal 1 UU 35/2009
Menurut Marwan Rangkuti, dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, secara tegas dinyatakan: “Narkotika itu adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang”. Pasal 1 ayat 1 itu disebutnya sudah baku dan jangan ditafsirkan lentur oleh semua penegak hukum/BNN di Indonesia berdasarkan selera penyidik, pesanan pihak lain atau demi kepentingan negosiasi rehabilitasi.
Pengacara muda yang berdomisili di Medan itu melanjutkan, kelenturan penegak hukum dan BNN memberantas peredaran Narkoba semakin menguat tatkala muncul dalih bahwa belum ada aturan UU menyangkut Chatinone dan diskresi hukum terhadap Pasal 54 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Kemudian Pasal 54 tersebut didukung pula oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) RI No 4 Tahun 2010 tentang penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkotika kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Selanjutnya masih ada lagi Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu Narkotika. “Saya takut Pasal 1 UU No 35 tahun 2009 menjadi buyar penerapannya karena ada anomali hukum yang melahirkan diskresi berdasarkan Pasal 54 UU No 35 tahun 2009 serta beberapa aturan hukum di atas. Sekali lagi saya tegaskan, semua aturan tersebut tentu saja mengundang kontroversi publik dan jelas-jelas mengindikasikan pemerintah Indonesia kurang serius melawan musuh dunia seperti Narkoba,” cetusl Marwan dengan nada tinggi.
Bila BNN dan penegak hukum tetap seenaknya merehabilitasi pengguna Narkoba tanpa dasar yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, lanjut Marwan, sebaiknya Narkoba dilegalkan saja beredar bebas di Indonesia. “Kita jangan sok fanatik mengingingkan Indonesia bebas Narkoba tahun 2015 tapi faktanya penegakan hukum berjalan munafik,” sindir Marwan. Dia juga menduga kuat banyak terjadi komersialisasi kewenangan dari oknum penyidik yang suka ’86’ kasus dan mengedepankan ‘masalah perut’. Sehingga berimplikasi buruk pada kepentingan bangsa kedepan karena di era kekinian tidak sedikit oknum yang ‘bermain’ dan ‘menukangi’ pasal-pasal kasus Narkoba.
Vonis Efek Jera Bagi Pengguna, Bukan Rehabilitasi
Artinya, imbuh Marwan lebih jauh, kendati semangat Pasal 1 ayat 1 UU No 35 tahun 2009 sudah sangat jelas untuk dipatuhi semua komponen penegak hukum, toh realitasnya sekarang justru terkesan bertolak belakang dengan Pasal 54 UU No 35 tahun 2009, Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) RI No 4 Tahun 2010 hingga Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011. Defenisi sanksi yang patut harus ada untuk memberi efek jera bagi setiap pelanggar hukum dan penyalahguna Narkoba, kini malah terlalu mudah dilenturkan demi target vonis rehabilitasi. “Saya khawatir telah terjadi diskriminasi penanganan perkara Narkoba terhadap pengguna yang miskin dan pengguna yang kaya. Kategori bagaimana sih yang pantas direhabilitasi? Setahu saya, yang namanya ketergantungan tinggi pada obat terlarang itu harus bisa dibuktikan secara hukum/analisis medis. Besok-besok bila ada warga biasa yang tak berduit ditangkap aparat karena memakai ganja atau ekstasi, kenapa langsung cepat dihukum dan bukan direhabilitasi? Aneh deh hukum kita, itu sama saja Narkoba bukan lagi musuh negara melainkan melegalkan secara tersistem,” sesalnya.
Hal senada disampaikan Ketua Gerakan Anti Narkoba (Granat) Hendri Yosodiningrat. Dalam satu talk show TV One, Sabtu malam (2/2), Hendri menolak tegas bila pengguna Narkoba langsung direkomendasikan aparat hukum/BNN untuk divonis rehabilitasi. “Kalau dia baru sekali atau beberapa kali sebagai pengguna dan memang sengaja menikmati Narkoba, apa harus direhabilitasi? Bagaimana efek jera melalaui sanksi hukum? Kebijakan/vonis rehabilitasi itu harus sudah melalui proses panjang validasi yang memastikan pengguna Narkoba memang ketergantungan obat terlarang. Besok-besok para pengguna Narkoba akan dengan mudahnya membeli surat ketergantungan obat terlarang kepada dokter atau lembaga terkait,” yakin Hendri, di hadapan Deputy Direktur BNN Bigjen Pol Benny J Mamoto. Ironisnya, sebelumnya dalam talk show tersebut, Benny Mamoto sempat dengan entengnya mengisyaratkan kebijakan rehabilitasi kepada Raffi Ahmad.
2 Klasifikasi Rehabilitasi
Data dihimpun MartabeSumut dari UU No 35 tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/Bua.6/Hs/SP/IV/2010, menjelaskan, penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 huruf a dan b Undang-undang Narkotika Republik Indonesia No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika Hanya dapat dijatuhkan pada 2 klasifikasi tindak pidana. Diantaranya: A. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan. B. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir A diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut : Kelompok Metamphetamine (shabu) : 1 gram, Kelompok MDMA (ekstasi): 2,4 gram = 8 butir, Kelompok Heroin: 1,8 gram, Kelompok Kokain: 1,8 gram, kelompok Ganja : 5 gram, Daun Koka: 5 gram, Meskalin: 5 gram, kelompok Psilosybin: 3 gram, Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram, Kelompok PCP (phencyelidine): 3 gram, kelompok Fentanil: 1 gram, kelompok Metadon: 0,5 gram, kelompok Morfin: 1,8 gram, kelompok Petidin: 0,96 gram, kelompok Kodein : 72 gram dan kelompok Bufrenorfin: 32 gram.
Pelapor Dapat Fasilitas Rehabilitasi
Lucunya lagi, pada sisi lain, juga dijelaskan, jika para pecandu telah melapor sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2011, maka akan mendapatkan fasilitas rehabilitasi dari institusi yang telah ditunjuk pemerintah. Adapun lembaga rehabilitasi yang dimaksud adalah lembaga medis dan nasional yang dikelola atau dibina/diawasi oleh BNN, Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur Jakarta Timur, Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkes RI), Panti Rebabilitasi Departemen Sosial RI dan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), serta tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh mayarakat yang sudah mendapatkan akreditasi dari Departemen kesehatan atau Departemen Sosial. Proses sejak mengajukan sampai proses rehabilitasi untuk para pencandu Narkoba tidak dipungut uang karena sepenuhnya dibiayai negara.
Golongan Lemah Dipenjara
Kendati demikian, faktanya di lapangan saat ini, kalau pemakai Narkoba yang ditangkap lalu disidangkan adalah masyarakat golongan ekonomi lemah, otomatis semua ketentuan hukum yang ditegaskan di atas akan pupus atau tidak berlaku sama sekali. Karena tidak sedikit masyarakat ekonomi lemah dan pengangguran yang dijebloskan ke tahanan dengan sanksi murni pidana penjara. Sedangkan bila kalangan ekonomi kuat yang terbukti memakai Narkoba, maka jangan heran pula akan dengan mudahnya mendapat rujukan/vonis rehabilitasi. Satu anomali hukum, aturan dan ketentuan yang patut segera diperbaiki cepat bila Indonesia ini tidak mau dikatakan melegalkan Narkoba secara diam-diam. Pemerintah harus tegas melawan musuh dunia seperti Narkoba. Mata ‘pisau’ hukum dan aturan tidak boleh tajam ke bawah namun tumpul saat ke atas. (MS/BUD/BALDUWIN)