15 Rumah Ibadah di Kab Aceh Singkil Disegel, BAKUMSU Kirim Surat Protes

Bagikan Berita :

MartabeSumut, Medan

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (BAKUMSU) Sumut, yang fokus dengan isu penegakan hukum dan HAM, demokratisasi, dan pluralisme, secara tegas menolak segala bentuk diskriminasi dan pembatasan kebebasan beragama dan beribadah dalam hal ini penyegelan terhadap 15 rumah ibadah umat Nasrani dan 1 rumah ibadah aliran kepercayaan di Kab Aceh Singkil pada tanggal 1 Mei 2012 dan 3 Mei 2012.

Berdasarkan Press Release BAKUMSU yang diterima MartabeSumut, Selasa sore (15/5), Sekretaris Eksekutif Benget Silitonga menegaskan telah mengirimkan surat protes bernomor 44/BAKUMSU/SE/V/2012 yang ditujukan kepada Bupati Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, DANDIM Aceh Singkil, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama  (MPU) Aceh dan Ketua DPRK Aceh Singkil. Berikut penjelasan rinci surat protes BAKUMSU: Kebebasan beragama dan beribadah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang berlaku secara universal oleh tidak bisa dibatasi oleh siapapun. Hal ini juga jelas dijamin keberadaannya dalam dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1045  jo Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 18 UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Oleh karena itu, kebijakan pemerintah kabupaten Aceh Singkil beserta jajarannya yang melakukan penyegelan dan pembongkaran terhadap rumah ibadah jelas telah melanggar hak asasi manusia yakni hak atas kebebasan beribadah, beragama atau berkeyakinan sebagaimana diatur jelas dalam aturan-aturan di atas.

Benar bahwa pendirian rumah ibadah harus disertai izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun keliru jika dasar hukum yang digunakan adalah hanya berdasarkan telah adanya perjanjian sebelumnya yakni perjanjian yang dibuat pada tahun 1979 kemudian diperkuat dalam Pernyataan Bersama Umat Islam dan Kristen tahun 2001yang mengharuskan umat Kristen hanya bebas mendirikan  tahun pada 1 gereja dan 4 undung-undung (rumah ibadah kecil sejenis mushola pada umat Islam). Perjanjian tersebut selain diskriminatif, intoleransi dan bertentangan dengan konstitusi dan HAM karena dalam implementasinya ternyata selain membatasi pendirian gereja, juga adanya  pelarangan kunjungan rohaniawan Kristen (pastor/pendeta) ke wilayah Aceh Singkil untuk melaksanakan tugasnya. Selain itu, perjanjian tersebut pun sebenarnya sudah tidak kontekstual dengan perubahan sosial terutama jika dilihat dari pertambahan jumlah penduduk yang beragama Kristen telah mencapai 1500 kk di berbagai desa. Dalam hal ini, Pemerintah kabupaten Aceh Singkil seharusnya terlebih dahulu meninjau atau merevisi ulang perjanjian tersebut dengan menyesuaikannya dengan perkembangan sosial khususnya peningkatan jumlah penduduk yang beragama Kristen dari tahun ke tahun, bukan sebaliknya dengan menyalahkan jemaat secara sepihak dan menyegel dengan tujuan membongkar rumah ibadah tersebut.

 
Seandainyapun ada penolakan dari sekelompok warga,yang tergabung dalam ormas tertentu, pemerintah seharusnya memberikan pemahaman terhadap masyarakat yang menolak berdirinya rumah ibadah untuk bisa menerima perbedaan agama atau keyakinan. Bila tidak bisa diberikan pemahaman, maka pemerintah daerah seharusnya melakukan penegakan hukum kepada sekelompok warga yang memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada pihak lain. Pemerintah seharusnya tidak bisa didikte atau dikendalikan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang anti toleransi dan HAM.

 
Jemaat gereja dan penganut kepercayaan yang rumah ibadahnya disegel secara sepihak  selama ini tidak terbukti melanggar Keamanan Publik, Ketertiban Publik, Kesehatan  Publik, Moral Publik, dan Hak-hak dan kebebasan mendasar orang lainnya sebagaimana telah diatur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 hasil Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 18 ayat (3) menyebutkan ada 5 (lima) criteria yang harus dipenuhi untuk membatasi agama atau kepercayaan, yaitu: 1.  Keamanan Publik (Public Safety), 2. Ketertiban Publik (Public Order), 3. Kesehatan  Publik (Public Helth), 4. Moral Publik (Public Morals), 5. Hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Berdasarkan 3 kepala desa yang turut hadir bersama perwakilan gereja pada pertemuan di kantor bupati Aceh Singkil pada Rabu 2 Mei 2012 terungkap fakta bahwa di daerah-daerah tempat berdirinya rumah ibadah yang disegel tersebut tidak ada umat Islam yang keberatan mengenai keberadaan rumah ibadah umat Kristen. Bahkan mereka kuatir akan pembongkaran itu justru akan merusak keharmonisan yang telah lama terjalin. Mereka juga meminta agar tempat ibadah tersebut lebih baik dibiarkan tetap berdiri disana.

 
Sehubungan dengan itu kami meminta Bupati Aceh Singkil untuk; 1. Segera menghentikan tindakan penyegelan dan pembongkaran sepihak terhadap 16 rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil. 2. Mencabut perjanjian yang dibuat pada tahun 1979 kemudian diperkuat dalam Pernyataan Bersama Umat Islam dan Kristen tahun 2001 yang berisi,  umat Kristen hanya bebas mendirikan  1 gereja dan 4 undung. Alasannya, pertama, Perjanjian tersebut terbukti sarat dengan diskriminatif, intoleransi dan bertentangan dengan konstitusi dan HAM. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah telah diatur dalam UU dan Peraturan Bersama 2 Menteri sehingga tidak sepatutnya ada lagi peraturan lokal yang mengangkangi kedua perautran tersebut. Kedua,  perjanjian tersebut pun sebenarnya sudah tidak kontekstual lagi dengan perubahan sosial terutama jika dilihat dari pertambahan jumlah penduduk yang beragama Kristen telah mencapai 1500 kk di berbagai desa. Dalam hal ini, Pemerintah kabupaten Aceh Singkil seharusnya terlebih dahulu meninjau atau merevisi ulang perjanjian tersebut dengan menyesuaikannya dengan perkembangan sosial khususnya peningkatan jumlah penduduk yang beragama Kristen dari tahun ke tahun, bukan sebaliknya dengan menyalahkan jemaat secara sepihak dan menyegel dengan tujuan membongkar rumah ibadah tersebut.


3. Meminta maaf secara terbuka dan memberikan klarifikasi kepada seluruh Jemaat 15 rumah ibadah umat Kristen  dan pengikut aliran kepercayaan tersebut. 4. Menghormati dan melindungi hak dan kebebasan seluruh warga Aceh Singkil tanpa diskriminasi dalam menjalankan ibadah, agama dan keyakinannya masing-masing sebab hak beribadah,  beragama, beribadah dan berkeyakinan merupakan hak asasi yang tidak bisa dikurangidalam keadaan apapun (non derogable rights) sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya. 5. Memberikan pemahaman secara persuasif dan berkelanjutan kepada masyarakat baik mayoritas maupun minoritas untuk saling menghormati, toleran, dan menerima perbedaan agama dan keyakinannya masing-masing sekaligus menindak tegas secara hukum pihak-pihak/kelompok/ormas yang bertindak anarkis, diskriminatif dan intoleransi beragama.

Demikian surat Protes ini kami sampaikan dengan sebenarnya demi tegaknya konstitusi (UUD 1945), dan terjaminnya kebebasan beribadah, beragama atau berkeyakinan sesuai dengan hukum yang berlaku dan HAM. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih. (MS/GREVIN)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here