Tahun Baru China atau lajim disebut Imlek/Sin Tjia merupakan puncak kebudayaan etnis China kuno. Satu acara yang menurut orang Tionghoa bermula dari kegiatan rutin kumpul-kumpul bareng
keluarga dan diikuti seremonial sembahyang di Tao Pe Kong. Beruntung
saya pernah punya pengalaman menarik di Provinsi Riau beberapa tahun
silam. Di sana ada salah satu kota kecil terletak di Kabupaten Rokan
Hilir bernama Bagansiapi-api. Mayoritas penduduknya adalah etnis China,
yang terbiasa membakar ‘jung’ secara khusus walau tidak bersamaan dengan
jatuhnya hari Imlek. Sama halnya daerah lain di belahan dunia ini,
tradisi Imlek pasti dirayakan istimewa melalui cara masing-masing dengan
persiapan beragam jenis makanan seperti kue bakul, buah naga hingga
bagi-bagi amplop merah alias ang pao/hong bao.
Pantas
diketahui, peringatan budaya Imlek juga bukan secara serta merta
diakui/diterima etnis China secara umum. Lebih dari 1 abad lamanya
sempat terjadi perebutan pola fikir antara paham Barat dan leluhur
China, terkait pemaknaan peringatan Imlek Gong Xi Fat Cai. Toh keseluruhannya berakhir pada kesepahaman dengan dasar filsafat (simbol perpaduan) Confucius, Mo Tzu, Mencius, Taoisme dan Buddhisme.
Seorang
tokoh masyarakat Riau bernama dr Tabrani Rab pernah menulis artikel
tentang maksud-maksud pola fikir di atas. Pola fikir tersebut
diistilahkannya menjadi kekuatan dasar dalam mengalahkan paham luar
imperialisme barat. Alam pemikiran Confucius yang muncul pada tahun 200
SM, misalnya. Berorientasi mengajarkan kebaikan (jen), kejujuran (yi),
tingkah laku baik (li), kebijaksanaan (chih), dapat dipercaya (hsin)
serta perjuangan mencapai kebahagiaan manusia di dunia. Kemudian ajaran
Mot Tzu yang bertujuan menciptakan perdamaian /ketertiban, paham Mencius
mengutamakan kodrat manusia, ajaran Taoisme yang disebut berbau mistis
dan eksis sejak tahun 200-400 SM serta terakhir Buddhisme yang datang
dari India dan berkembang pesat pada abad ke-3.
Memilih Kekerabatan
Benar tidaknya penjelasan tersebut, saya sendiri kurang mendalami.
Apalagi saya bukan orang China dan berbahasa China pun tidak bisa. Bagi
saya sekarang, tradisi Imlek yang mengakar di era kekinian menjadi
menarik untuk dipercakapkan. Merujuk filsafat pemahaman di atas, orang
China sejak dulu kala memang telah memiliki berbagai aliran fikir yang
membuat sebagian leluhur tradisional lebih memilih kekerabatan keluarga
dalam kesakralan tradisi Imlek. Sebab aliran Barat dan paham komunis
yang berbaur marak sebelum tahun 1949, mengakibatkan mereka kesulitan
bersikap bahkan membaca perjalanan sejarah sendiri. Apalagi bila
menyangkut peristiwa terkenal di lapangan Tien Amien dengan pampangan
gambar Mao berukuran besar. Secara turun temurun akhirnya membuat
leluhur China semakin tidak tertarik terhadap kejutan paham komunis yang
menyeruak deras tahun 1951. Tak heran, kecamuk situasi (saat itu hingga
kini) membuat sebagian besar leluhur China memilih pola kekerabatan
beraliran Confucius, Mo Tzu, Mencius, Taoisme dan Buddhisme
dalam merayakan Imlek. Biasanya para leluhur China yang ingin menguatkan
kekerabatan akan berbondong-bondong memilih Taiwan atau Hongkong
sebagai tempat ‘adem’ kumpul-kumpul bersama sanak keluarga.
Syukuran Petani
Itu
sekilas yang bisa tercatat bila merunut perkembangan tradisi Imlek
dengan beberapa filsafat/pola fikir dan sejarah China. Cerita lain
menyangkut tradisi Imlek masih ada. Dikabarkan bermula dari upacara
syukuran yang digelar petani di daratan China untuk menegaskan
perwujudan kegembiraan sikap atas berhasilnya panen raya. Petani pun
menetapkan tanggal 1 bulan pertama setiap awal tahun menjadi pesta
resmi. Menandakan penyambutan musim semi yang dihitung mulai tanggal 30
di bulan ke-12 dan berakhir tanggal 15 pada bulan pertama. Semuanya
dilakukan petani China dengan aktivitas berdoa, sembahyang serta
ungkapan syukur kepada sang pencipta. Kemudian menguatkan kesepakatan
bersama menjamu leluhur melalui acara gembira ria sambil saling
mengunjungi antara keluarga/kerabat. Mengingat Imlek adalah budaya
petani China, maka segala bentuk persembahan pun memunculkan berbagai
jenis makanan. Biasanya akan disajikan 12 jenis masakan dan 12 jenis kue
yang melambangkan 12 Shio. Untuk masyarakat China, hidangan
yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) serta arak. Sedangkan di
Indonesia lajim menyajikan hidangan berdimensi kemakmuran, panjang umur
dan keselamatan. Semua berorientasi pada keinginan untuk membahagiakan
para leluhur. Bila ditelisik lebih jauh, tradisi Imlek yang telah
dilangsungkan secara turun temurun oleh petani China, akrab pula dengan
karakteristik kegiatan pergelaran Barongsai.
Imlek di Indonesia
Lalu bagaimana dengan perayaan Imlek di Indonesia ? Pada hari Senin 23 Januari 2012 warga China se-dunia merayakan tahun baru Imlek 2563 atau sering disebut Gong Xi Fat Cai. Imlek kali ini diputuskan kalangan China sebagai tahun naga air. Khusus di Indonesia, tradisi Imlek maupun pergelaran seni budaya Barongsai sempat dilarang keras sejak tahun 1967. Perayaan Imlek atau tontonan Barongsai hanya diperbolehkan bersifat pribadi dan kalangan keluarga saja. Pemerintah Indonesia tidak mengakui tradisi Imlek dan menganggap budaya Barongsai beraliran komunis melalui Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967. Namun itu sebatas kenangan dan kegetiran masa lalu. Kalau saya tidak salah, sejak tahun 2000 semuanya berubah. Pelarangan seremonial tradisi tahun baru China/Imlek hingga kebebasan atraksi seni Barongsai menjadi sesuatu yang diakui dalam lembaran negara. Menariknya lagi, Imlek pun sudah menjadi kalender resmi hari libur Nasional sedari tahun 2001 sampai sekarang.
Berkaca dari semua pengalaman empiris tersebut, timbul 2 pertanyaan mendasar ke permukaan. Pertama, mengapa pemerintah RI mulai mengakui perayaan Imlek dan seni budaya Barongsai ? Kedua, bagaimana pula sikap warga keturunan menyiasati kebebasan tersebut saat ini ? Kami menggarisbawahi, perayaan Imlek yang sudah resmi dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi adalah wujud pengakuan akan kepluralan umat manusia di dunia. Pengakuan itu tercermin manakala pembauran tradisi dan budaya warga keturunan dengan penduduk asli diyakini memberi arti positif. Sebut saja, dinamika mendemonstrasikan ungkapan syukur menjadi hak asasi fundamental yang tidak boleh diganggu gugat atau dikebiri.
Mungkin jadi warga China di Indonesia pantas berterimakasih kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid ‘Gus Dur’ saat berkuasa. Kendati bernuansa polemik, toh Gus Dur berhasil menetaskan Keppres Nomor 6 tahun 2000 tentang kebebasan merayakan Imlek di Indonesia bagi masyarakat Tionghoa. Imlek pun mendapat legitimasi dan masuk bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah pengakuan terhadap perbedaan. Indonesia membuktikan kedewasaan berdemokrasi suatu negara/pemerintahan tatkala menerima kehadiran dan kedatangan warga China untuk memperoleh hidup serta membiarkan improvisasi tradisi yang diyakini sakral.
Nilai Seni Barongsai
Sejalan dengan penerimaan pemerintah Indonesia terhadap tradisi
Imlek, dan disela-sela terkuburnya budaya Barongsai dalam kurun waktu
panjang, suka tak suka, mau tak mau, atraksi yang memakai simbol singa
dan paling sedikit diperankan 2 pemain, itu pantas diakui sebagai hasil
karsa dan karya umat manusia. Setidaknya bila melihat proses lahirnya
satu kreasi seni asal Tiongkok masa Dinasti Jing yang suksesmenghibur
petani China setiap perayaan Imlek. Barongsai juga terbukti menjadi
atraksi budaya seni primadona sekira tahun 1950-1970-an tatkala rakyat
China jenuh melakukan latihan beladiri/silat namun menjadikan Barongsai
sebagai aktivitas utama.
Bila pada akhirnya Barongsai diduga hanya budaya beraliran
komunis serta bermuatan kepercayaan mistis etnis China akan kehadiran si
“raja rimba” yang disebut-sebut mampu menolak bala/roh jahat,
sebenarnya merupakan sesuatu yang kurang bijak diperdebatkan alias tidak
tepat dijadikan sarana penghakiman. Bukan apa-apa, andai kita mau jujur
mengamati, atraksi Barongsai memiliki daya pukau untuk mengajak orang
semakin sadar akan kekuatan langit di atas langit atau kebesaran alam di
atas alam. Seni Barongsai sebagai unsur budaya luar bersifat universal
dapat memperkaya akar budaya Nasional sehingga tidak perlu ditakuti.
Barongsai perlu dipandang dengan kaca mata positif sebagai karya anak
manusia yang bakal mampu merangkai persatuan dalam perbedaan, cermin
ungkapan syukur, menciptakan perdamaian, hiburan massal hingga
pengawalan keutuhanciptaan.
Ang Pao
Kebiasaan lain yang jamak terlihat saat Imlek adalah
pemberian ang pao. Kami menilai, ang pao merupakan wujud aksi sosial
orang China kepada Thian (dewa) dengan berbagi kasih kepada
sesama. Petani China yang dulunya kerap membagi-bagikan bungkusan merah
kecil/ang pao/hong bao kepada anak-anak dan diisikan uang, semata-mata
dilandasi niat untuk memberi orang yang kekurangan. Tradisi ini
sebenarnya bukan hal yang aneh bila dikaitkan dengan sikap masyarakat
non China. Dalam artian, kesamaan memberi itu juga melekat bagi umat
Muslim yang diwajibkan berzakat dan umat Nasrani membayar perpuluhan.
Jadi jelas, ang pao, zakat dan perpuluhan adalah perwujudan ungkapan
kasih. Nuansa pemberian itu mengisyaratkan aksi sosial seraya menyatakan
syukur atas kelebihan rezeki yang diberikan sang Maha Kuasa.
Mewarnai Kebinekaan Bangsa
Jadi
jelaslah tradisi peringatan Imlek yang diselingi atraksi Barongsai dan
bagi-bagi ang pao tak jauh beda dengan perayaan seremonial hari besar
lain di Indonesia. Satu logika yang patut menuntun kita pada titik temu
untuk belajar rela mengakui perbedaan apapun di dunia ini sebagai hal
wajar. Karena tidak ada orang China yang bisa meminta untuk dilahirkan
China berkulit putih dan tidak bisa pula kita meminta supaya dilahirkan
ke dunia ini beragama Islam, Kristen atau bersuku Batak. Sesuatu yag
sangat hakiki dan asasi dalam kebinekaan populasi manusia bumi yang
mencapai 7 Miliar jiwa. Sebab tidak pernah ada kata terlambat untuk
melakukan hal benar apalagi berjiwa besar mengakui perbedaan semisal
memberikan keleluasaan kepada warga keturunan Tionghoa mewarnai
kebinekaan Indonesia melalui perayaan tradisi/seni ber-aliran luar dalam
konteks memperkokoh budaya Nasional. Akhirnya, saya mau mengingatkan,
dengan diakuinya seremonial tradisi Imlek dan atraksi Barongsai,
kalangan warga keturunan China jangan sampai membusungkan dada secara
sempit. Namun belajarlah terus berbaur dan menguatkan ikatan kebersamaan untuk mewujudkan persatuan di Republik ini. Sikap sederhana menjadi warga negara Indonesia sejati dapat ditunjukkan kalangan etnis China melalui aksi kolektif pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari di penjuru Tanah Air. Kemudian tidak diskriminatif terhadap warga asli Indonesia yang bekerja di perusahaan China.
Selamat Imlek bagi yang merayakan. Semoga Anda, saya, kami, kita dan
Bangsa Indonesia semakin makmur, panjang umur serta selamat-selamat.
Amin. Gong Xi Fat Cai 2563, Kamsia..Kamsia…