Proflie yang telah ditulis tepat 1 tahun 11 hari silam ini sengaja dipublikasi ulang. Alasannya disebabkan dalam beberapa hari kedepan sosok Drs H Randiman Tarigan, MAP, disebut-sebut bakal menduduki posisi baru sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
“Intan akan tetap jadi intan walau di dalam lumpur sekalipun”. Sepertinya kata-kata bijak itu sangat tepat bila disandingkan kepada sosok Drs H Randiman Tarigan, MAP (58). Bukan apa-apa, kendati semenjak dini merintis hidup dari nol alias serba kekurangan, toh kesuksesan karir dan kecukupan ekonomi yang diraih tidak membuatnya lupa daratan. Melainkan memancarkan sinar familiar dalam balutan hidup bernuansa religius, peradatan Karo, penguatan history jati diri hingga pengayoman pergaulan berbagai kalangan. Kini, selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut), Randiman Tarigan sebenarnya akan menikmati masa-masa memasuki pensiun dengan tekad bermanfaat bagi sesama dan melampiaskan beragam kegemaran semisal pelestarian tanaman bonsai, koleksi kendaraan antik, berkebun serta memelihara burung. Namun situasi bicara lain sebab pada akhir tahun 2014 atau awal 2015 sepertinya jadi kado khusus bagi Randiman Tarigan lantaran hampir bisa dipastikan dipercaya menduduki posisi Sekdaprov Sumut.
Rencana Menulis Sosok Randiman Sejak Sekwan DPRD Sumut
Pantas diketahui, rencana awal menuliskan sosok Randiman Tarigan sudah pernah dibicarakan sejak memulai debut sebagai Sekwan DPRD Sumut tahun 2011 lalu. Namun akibat sesuatu hal dan kesibukan Randiman Tarigan, kala itu, jadwal wawancara khusus belum kunjung ditemukan. Sementara waktu terus bergulir sampai akhirnya pada Jumat (22/11/2013) rencana 2 tahun silam disampaikan lagi dan Randiman Tarigan memberikan “lampu hijau”. Walau faktanya, demi tidak membuang-buang waktu, sempat terbersit mewawancarai Randiman Tarigan di gedung DPRD Sumut atau ruang kerjanya. Tapi fikiran itu segera buyar mengingat situasi lingkungan kerja Randiman Tarigan yang diyakini akan mempengaruhi kelancaran wawancara. Nah, selanjutnya maksud wawancara kembali di-follow-up kepada Randiman Tarigan pada Rabu siang (27/11/2013), disela-sela aktivitas menerima puluhan dokter yang menyampaikan aspirasi ke DPRD Sumut. “Coba ke rumah hari Sabtu atau Minggu pukul 09.00 WIB. Karena setiap pagi setelah olahraga saya langsung ke kebun. Jadi sebelum ke kebun mungkin kita bisa bertemu,” kata Randiman Tarigan kepada Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede.
Sebagai jurnalis yang terbiasa menjalankan pola-pola news value and reportase indepth (nilai berita sesuai fakta mendalam suatu liputan) dan kekuatan etika profesi, situasi Randiman Tarigan tentu saja bisa dimaklumi. Apalagi yang akan dituliskan menyangkut profile news dan bukan sekadar berita sederhana berbentuk straight news. Singkat cerita, pada hari Sabtu (30/11/2013) sekira pukul 10.00 WIB, upaya menemui Randiman Tarigan dilakukan dengan menyambangi kediamannya di Jalan Pinang Baris Gang Mesjid No 4 Medan. Tapi lagi-lagi kondisi belum berpihak. Randiman Tarigan terlanjur sudah keluar rumah. Namun semangat wawancara tidak pupus begitu saja sehingga langsung menghubungi ponselnya. “Besok Minggu jam 9 pagi aja ya, kebetulan saya sudah di luar,” ujar Randiman Tarigan.
Kronologi itu perlu diketahui publik bukan tanpa alasan. Selain menyiratkan rencana jurnalistik dalam untaian penantian panjang sampai akhirnya terealisasikan, fakta hasil liputan juga strategis jadi pembelajaran masyarakat luas. Sebab muatan human interest pada kalimat pembuka di atas “intan akan tetap intan walau di dalam lumpur sekalipun” tidaklah sekadar isapan jempol atau keindahan seni tata redaksional belaka. Lebih dari itu merupakan satu benang biru wawancara yang membuahkan cerita perjalanan hidup, masa-masa sulit, kesiapan diri menghadapi kecukupan ekonomi hingga geliat menyikapi detik-detik menjelang pensiun dari seorang pejabat publik Pemprovsu Esselon II/a pangkat Pembina Utama Madya golongan IV/d. Artinya, kalaulah Anda selaku pembaca menganggap tulisan ini berlebihan karena sebatas sanjungan sesaat pariwara komersial sehingga dengan mudah menganugerahkan Randiman Tarigan bak “intan tetap intan walau di dalam lumpur sekalipun”, maka sebaiknya Anda menelaah dulu alur tulisan melalui fakta empiris miris perjalanan hidupnya. Kemudian mencermati pula rentetan karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tatkala 2 Walikota Medan (Abdillah dan Rahudman Harahap) pernah “menyingkirkan” dan “me-nonjob-kan” dirinya dalam rentang waktu cukup lama. Bila Anda masih menganggap berlebihan juga, sekarang silahkan simak geliat keikhlasan seorang anak manusia menghadapi keadaan memilukan hingga perasaan “kesepian ditengah-tengah keramaian”. Karena Randiman Tarigan memastikan, sesuatu yang baik, benar dan bagus, akan tetap memancarkan sinar indah ke permukaan walau dicampakkan ke situasi buruk atau memang kebetulan berada di tempat terpuruk.
Tampil Familiar dan Bersahaja
Manakala dijumpai Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede, Minggu (1/12/2013)pukul 09.50 WIB di kediamannya Jalan Pinang Baris Gang Mesjid Nomor 4 Medan, Randiman Tarigan tampil sangat familiar dan bersahaja. Bermain-main dengan beberapa Vespa antiknya sambil berbicara akrab bersama salah satu pekerja. Dengan setelan santai kaos putih biru berkerah dan celana pendek biru dongker, Randiman Tarigan tampak sumringah memanaskan Vespa dan motor tua merk Binter. Sepintas mengamati, ada aura ketenangan hati berbalut kematangan jiwa. Pada detik berikut, pria yang akrab dengan kalangan wartawan ini sudah menebar sorotan dalam terhadap sosok jurnalis yang ngotot menemuinya. “Mau tulis Profil abang tentang apa ya Pardede ? Memangnya apa yang menarik dari saya,” ujar Randiman Tarigan merendah, mengawali pembicaraan. Selanjutnya bisa ditebak, Randiman Tarigan mulai menebarkan sambutan bersahabat seraya mencerna serius pertanyaan-pertanyaan verbal atas view (pemandangan) menakjubkan di halaman depan yang dipenuhi tanaman bonsai. Randiman cuma tersenyum mendengar sembari berjalan pelan. Belum menjawab namun mengajak berkeliling di halaman depan. Kemudian menoleh ke atas dan menunjuk 1 bangunan kecil permanen yang berdiri kokoh di atap berbentuk rumah adat Karo. “Memang sengaja saya dirikan tahun 2012 lalu. Jadi kalo ada orang Karo tersesat dan kebetulan melintas, pasti dia akan singgah bila melihat rumah adat itu,” cetus buah kasih H Nungkat Tarigan (Alm) dan Hj Maleh br Ginting (Almh). Selintas kemudian Randiman mendekati satu persatu pohon bonsai berusia sekira 20-50 tahun. Mengelus mesra, membelai lembut dan berpose bangga saat diminta untuk diabadikan. Usai sesi pemotretan, Randiman mengajak keliling menuju belakang. “Pak Layari Sinukaban anggota DPRD Sumut kita sudah pernah ke sini. Dulu dia bilang punya bonsai yang lebih indah dibanding punya saya. Tapi setelah melihat bonsai saya kemarin, dia langsung menyerah dan angkat tangan,” ungkap pria kelahiran Binjai 16 September 1956 ini terpingkal-pingkal.
Tiba di halaman belakang, view luar biasa kembali tertangkap mata telanjang. Pasalnya, desain bangunan rumah yang tergolong sederhana dari luar, ternyata pada bagian dalam sangat unik, menarik dan cukup tertata apik. Separo halaman seluas 8×25 Meter dikelola suami Hj Suryati br Ginting (56) itu untuk ruang hijau terbuka tanpa atap apapun. Udara dan matahari benar-benar lepas bebas sehingga halaman beratapkan langit yang ditanami kelapa Thailand, kelapa Hybrida dan puluhan bonsai berusia 10 tahun ke bawah, tampak sejuk, segar serta nyaman dipandang mata. Sementara separo halaman lagi, di sekeliling lahan terbuka hijau, berdiri bangunan beratap dengan ruangan dapur, ruang makan, kamar pekerja, teras-teras santai pribadi/keluarga, parkir kendaraan mobil antik serta lokasi pemajangan sangkar burung. Fakta interior belakang yang disulap lelaki separo baya berjulukan “Iman” di kampungnya tersebut kian menorehkan decak kagum sejauh kaki melangkah. Percakapan terhenti sejenak. Seorang pembantu membawakan 2 gelas kopi panas. “Ayo, ayo kita duduk di sana sambil minum Pardede. Ini kopi khusus, gak ada di kantin atau dapur DPRD Sumut,” ucap anak ke-4 dari 5 bersaudara itu tersenyum, sambil mengajak duduk di teras parkiran mobil-mobil antik. Ketika sudah duduk bersama, pria bertinggi badan 172 Cm dengan berat 87 Kg ini terlihat larut memanjakan si putri bungsu Amelya Vimantha br Tarigan, yang sejak awal jeli mengawal proses wawancara sang bapak.
Masa Kecil dan Pendidikan
Ditempa didikan orangtua yang ketat akan kedisiplinan, Randiman Tarigan menghabiskan masa kecil nan sederhana di Desa Simpang Pulo Rambung Kecamatan Bahorok Kab Langkat. Pendidikan formal Sekolah Dasar (SD) diselesaikan tahun 1969 dari SD Simpang Pulo Rambung. Kemudian melanjut ke SMP Babalan Pangkalan Brandan hingga tamat tahun 1972. Pada tahun 1975 Randiman Tarigan menuntaskan studi dari SMAN Pangkalan Brandan. “Sejak SD saya Ketua kelas terus. Saya kaki ayam ke sekolah dan kelas 6 baru pakai sepatu boot Deli. Saya ikut bantu-bantu orangtua bertani dan beternak. Menggembala lembu sore hari, terus malamnya membuat atap rumbia bersama bapak/ibu. Uangnya untuk biaya 3 kakak yang sedang sekolah. Masa kecil saya pahit dan cukup memprihatinkan. Memasuki SMP-SMA, saya dibesarkan dan dibiayai kakak paling tua bernama Nampeken br Tarigan,” singkap bapak dari Ronald Fanny Irawan Tarigan, SE, (32 thn/pegawai Dispenda Medan beranak 2), Lettu CKU Rio Orlando Tarigan, SE, (26 thn/tugas di Korem Samarinda beranak 1), Ricko Aditya Tarigan (21 thn/mahasiswa Fak Hukum UMA) dan Amelya Vimantha br Tarigan (9 thn/siswi kelas 3 SD Namira Jalan Setia Budi Medan).
Perjalanan Hidup dan Karir dari Nol
Berbicara mengenai perjalanan hidup dan karir pekerjaan di lingkungan pemerintahan, Randiman Tarigan mengungkapkan berangkat dari nol. Pahit getir kehidupan yang sesungguhnya sangat terasa tatkala tamat dari bangku SMA lantaran sempat merasakan dunia pengangguran. Namun Randiman enggan meratap. Keberadaan sosok kakak tertua dan nomor 2 yang PNS justru dijadikan inspirasi mencoba melamar ke lembaga pemerintah. Hasilnya cukup melegakan. Randiman diterima bekerja sebagai pegawai honor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Pemkab Langkat pada tahun 1976. Capaian tersebut tentu saja membuatnya makin bersemangat. Enggan membusungkan dada melainkan mencoba peruntungan baru dengan mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kab Langkat pada tahun 1979. Lagi-lagi dewi fortuna berpihak kepadanya. Randiman resmi mengawali karir sebagai CPNS sedari tahun 1980 dengan penempatan di Dispenda Kota Medan. Randiman pun diangkat PNS sejak tahun 1981 dan merintis jabatan pada Seksi Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) Dispenda Medan. Pada sisi lain, walau dunia PNS sudah diraih, tapi perekonomiannya masih saja morat marit sebagai kepala keluarga yang memiliki 1 istri dan 4 orang anak. Berbagai persoalan memenuhi kesejahteraan hidup menjadi sesuatu yang sangat sulit dihadapi. Randiman mengakui, setelah bekerja di Medan, kemampuan ekonomi tidaklah mengalir begitu saja. Rumah hunian awal yang ditempati hanya mampu disewa selama 2 tahun di Km 24 Medan-Tanjung Pura. Tempat tinggal itu disebutnya rumah petak, dinding tepas, atap seng dan tanpa plafon. Supaya tidak transparan dilihat tetangga, kata Randiman, upaya menutupi dengan alas koran terpaksa rutin dilakukan. Belum lagi ruang tamu yang berfungsi ganda menjadi kandang puluhan ekor ayam sebelum dilepaskan pada pagi hari. Dari rumah pertama tersebut Randiman bersama keluarga hijrah ke rumah sang nenek di Jalan Sei Belutu No 14 Medan. Dia tinggal di sana selama 3 tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Perumnas Mandala di Jalan Merak II No 68 Medan. Rumah ini dibelinya dari kakak sendiri yang pindah ke Pangkalan Brandan. Di sana Randiman dan keluarga tinggal selama 7 tahun hingga akhirnya menetap defenitif di Jalan Pinang Baris Gang Mesjid No 4 Medan. “Rumah sekarang bisa saya beli karena bantuan PT Gudang Garam Medan melalui Pak Hasan Suherman dan Pak Sugianto Suherman. Mereka berdualah yang menjamini peminjaman uang Rp. 25 juta untuk beli rumah yang saya diami sejak 1993 ini,” singkapnya blak-blakan.
Randiman meyakini, semua suka duka dan liku-liku rumit kehidupan adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia dikatakannya harus bisa ikhlas dan sabar, untuk selanjutnya tegar mengucap syukur kepadaNya walau keadaan sulit sekalipun. Tak heran, dengan berpegang pada keyakinan tersebut, Randiman selalu mampu tampil enjoy berimprovisasi disela-sela rutinitas tugas PNS. Belum lagi kepiawaian diri yang cenderung mudah “menerjemahkan keadaan di depan” bahkan ketika orang lain tidak mengungkapkan/memikirkan. Talenta kesupelan pribadi inilah yang terbukti ampuh memposisikan pergaulan Randiman luas tanpa batas serta berkorelasi erat terhadap terbukanya peluang-peluang hidup yang lebih bernas. Jadi sangat beralasan, bekal kematangan yang dimiliki telah memicu semangatnya untuk maju dalam karir pekerjaan, keluar dari kemelut ekonomi sulit hingga tekad menempuh studi ke jenjang Strata-1 Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI) di Jalan SM Raja Medan. Dinamika tugas PNS tidak pernah diabaikan sementara predikat sarjana Administrasi Negara bergelar “Drs” berhasil diraih tahun 1988. Menariknya lagi, pada saat bersamaan setelah 7 tahun mengabdi, buah kecerdasan “menerjemahkan situasi di depan” itu kembali nyata membawa perubahan baru melalui mutasi-mutasi promosi. Perlahan tapi pasti Randiman mulai dipercaya memegang posisi Kasubsi Pengawasan Reklame Dinas Pertamanan Medan sejak tahun 1988. Diikuti jabatan Kasubsi Pengawasan Operasi tahun 1990 bahkan meningkat sebagai Kasi Reklame Dinas Pertamanan Medan 1992-1994.
Ditarik ke Pemko Medan
Tahun 1994 Randiman Tarigan ditarik ke kantor Walikota Medan dengan posisi Kabag Umum hingga tahun 2002. Kurun waktu 7 tahun berikut, dia sudah melejit dan dipercaya sebagai orang nomor 1 di Dinas Pertamanan Kota Medan atau tepatnya sedari tahun 2002-2007. Namun Randiman tetap enggan membusungkan dada. Suka bersikap tenang ibarat padi berisi yang semakin lama semakin merunduk. Disela-sela karir yang sedang meroket, ternyata, kala itu, diam-diam Randiman melanjutkan studi ke program Pascasarjana Magister Public Administration (MPA/MAP) Universitas Medan Area (UMA). Ya, Randiman belum puas dengan pendidikan sebatas S-1 sedangkan jabatan yang diemban sudah Kepala Dinas. Randiman menimba ilmu ke program S-2 dan sukses menyandang predikat “MAP” tahun 2004 tanpa meninggalkan tanggungjawab tugas sebagai abdi negara. Selaku Kepala Dinas Pertamanan, bukti kecakapan Randiman juga tertoreh jelas dalam benang biru sejarah kenegaraan melalui 2 penghargaan yang diberikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan pertama adalah Wirakarya, yang disematkan tahun 2005 atas dedikasi membangun Kota Medan. “Presiden melalui Mendagri Hari Sabarno memberikan Wirakarya di Jakarta sekaligus kenaikan pangkat luar biasa dari IV/b menjadi IV/c. Sayalah satu-satunya Kepala Dinas se-Indonesia yang diberi penghargaan Wirakarya saat itu. Pak Ramli selaku Wakil Walikota Medan juga mendapat penghargaan. Kami diundang ikut menghadiri upacara detik-detik Proklamasi di Jakarta,” ucapnya berseri-seri. Sedangkan penghargaan kedua diberikan Presiden beberapa tahun kemudian atas pengabdian PNS selama 10, 20 dan 30 tahun. Pun demikian, Randiman tetap menjalani hidup dengan tahu diri dan senantiasa bersyukur kepada Tuhan.
Randiman Nonjob, Jabatan Dicopot Abdillah
Tahun 2007 bisa jadi masuk sejarah kelam masa-masa sulit pertama dalam karir pekerjaan Randiman Tarigan. Penyebabnya, tanpa alasan jelas Walikota Medan Abdillah mencopotnya dari jabatan Kadis Pertamanan sekaligus me-nonjob-kan dirinya selama 15 bulan 13 hari. Toh Randiman tetaplah Randiman. Ibarat intan, dia tetap memancarkan kilauan keikhlasan walupun disingkirkan ke selokan. “Alhamdulillah, tepat 1 November 2007 saya dicopot Pak Abdillah. Saya nonjob cukup lama setelah itu. Tapi saya ikhlas menghadapi. Sebab saya meyakini, hidup dan karir kita di dunia ini hanya titipan sementara Yang Maha Kuasa. Semua kehendak Allah Swt melalui keputusan pimpinan,” ujarnya. Randiman menjelaskan, pencopotan jabatan oleh Abdillah tidak membuatnya dendam karena sikap yang paling disukainya adalah menolong orang yang sangat membenci, gak suka, iri atau bahkan memusuhi. “Mereka-mereka itu yang abang tolong lebih dulu. Abang gak pernah dendam, rugi dong hidup kita sendiri. Saya melangkah dari nol dan modal dibelakang saya cuma Tuhan dan pergaulan. Sebagai warga etnis Karo, saya memegang falsafah tuah kalimbubu, jangan pernah kita lupakan posisi diri dalam adat. Saya merintis hidup dari nol. Dari honor ke Jendral sudah saya rasakan. Makanya sampai sekarang saya tidak pernah dendam walau dicopot namun justru bersyukur kepada Tuhan,” cetusnya mantap. Randiman meneruskan, masa-masa sulit nonjob yang ikhlas dihadapi akhirnya pupus seiring waktu berjalan. Pada tanggal 13 Maret 2009 sampai Oktober 2010 jabatan Kadispenda Medan dipercayakan ke pundaknya. Prestasi pun langsung diukir Randiman dengan terobosan program menciptakan 7 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dispenda Medan pada 21 Kecamatan di Medan. Tujuannya tidak lain demi mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pegawai Dispenda sengaja ditempatkannya pada 7 UPT dengan dukungan 200 pegawai outsourching yang bertugas khusus melakukan pendataan rumah makan dan Pajak Bumi Bangunan (PBB). “Rumah makan sekecil apapun harus ditagih pajaknya. Filosofi sederhana saya sampaikan kepada staf/pegawai agar jangan melihat kecil besarnya pungutan pajak harian. Tapi pajak senilai Rp. 2.000/hari akan jadi miliaran bila dikali setiap bulan dengan kalkulasi ribuan jumlah rumah makan,” tegasnya, seraya menyatakan Ka UPT merupakan pejabat Esselon IV/a dan Sekretaris UPT Esselon IV/b.
Jabatan Randiman Dicopot Rahudman
Kendati sudah maksimal menjalankan tugas, Randiman Tarigan harus “menelan pil pahit” lagi atas blantika politik kepemimpinan daerah khususnya struktur PNS Pemko Medan. Randiman diperhadapkan dalam situasi sulit untuk ke-2 kalinya dalam sejarah karir sebagai PNS. Bukan apa-apa, pada Oktober 2010 Walikota Medan Rahudman Harahap mencopot posisinya begitu saja tanpa pesan dan kesan. Karir Randiman sebagai Kadispenda Medan dihentikan mendadak setelah 1 tahun menjabat. Randiman kembali nonjob dengan posisi sebagai Staf di Badan Diklat Provinsi. Apa reaksi Randiman Tarigan ? Sekali lagi, Randiman Tarigan memastikan hanya bisa ikhlas mengikuti walau diletakkan “di dalam lumpur” sekalipun. Lima bulan kemudian kesabarannya berujung manis. Randiman diangkat sebagai pejabat Esselon II/a dengan jabatan Sekretaris DPRD Sumut sedari 3 Februari 2011-sekarang. “Dibelakang saya ada Tuhan yang menguatkan. Makanya saya tidak pernah dendam atau sakit hati menerima keadaan apapun saat dizolimi. Saya ikhlas saja dicampakkan, tahu diri, tidak memaksakan kehendak dan menjalani apa adanya,” terang Randiman bangga, diiringi senyum sang isteri Hj Suryati br Ginting, yang di pertengahan wawancara ikut nguping seraya mengurusi kerjaan dapur bersama beberapa pembantu. “Selain gaji gak ada apa-apa dikasih abang ke rumah. Selama 31 tahun menikah dia selalu sibuk mengelola kebun, bonsai, burung dan memasukkan kendaraan-kendaraan botot bekas. Rumah ini sampai kayak bengkel. Sekarang hasilnya baru saya tahu memang wah,” ucap Hj Suryati br Ginting tersenyum lepas, ketika dimintai pendapat.
Berkebun, Koleksi Kendaraan Tua, Pelihara Burung dan Bonsai
Tak terasa arloji sudah menunjukkan pukul 12.20 WIB. Randiman Tarigan menghentikan wawancara dan memberi kode kepada sang istri untuk mempersiapkan makan siang. “Kita makan dulu ya Pardede. Saya sudah lapar. Setiap pagi saya minum kopi dan bubur Quaker. Cuma siang hari saja makan nasi. Malam hari makan bubur Quaker lagi dengan sayur mayur. Ayo kita ke sana makan dulu,” ajak pecandu berat kuliner gulai asam Karo dan petai/jengkol. Uniknya saat menikmati hidangan di meja makan, wawancara santai tetap mengalir lancar. Lezatnya menu lauk pauk udang sambal merah plus sayur dan ikan gulai ikut menambah kemeriahan percakapan ala meja makan. Randiman menyinggung, kegemaran berkebun, koleksi kendaraan tua/antik, pemeliharaan burung dan pelestarian tanaman bonsai, menjadi rutinitas yang melekat menghiasi hari-hari. Pecinta olahraga bersepeda 3-4 kali seminggu sejauh 22 Km itu menyatakan, hobby berkebun diwarisi dari kehidupan orangtua yang sudah digeluti semenjak kecil. Sehingga jauh-jauh hari ketika memiliki rejeki, katanya, sebagian pendapatan yang dimiliki sengaja disisihkan untuk mendirikan kebun karet dan sawit di Securai Pangkalan Berandan dan Bahorok. Randiman menyatakan, hingga kini aktivitas berkebun menjadi rutinitas yang wajib dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Sementara menyangkut kecintaan mengoleksi kendaraan tua/antik, Randiman menegaskan didasari pengalaman masa lalu pada tahun 1979. Saat itu, singkap Randiman, kendaraan pertama yang dimiliki merk Honda CB Gelatik tahun 1975 terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup berskala prioritas primer. “Masa lalu saya telah memunculkan emosional khusus terhadap koleksi kendaraan. Jadi kuat niat saya memelihara/mengoleksi kendaraan antik dan tua walau rongsokan. Sebab kendaraan antik/tua yang rongsokan akan menjadi luar biasa kalau diperbaiki. Apalagi saya tergolong home sick alias orang rumahan,” akunya. Dalam artian, timpal penyuka minuman juice, buah nenas serta pepaya ini, kebiasaan diri menghabiskan waktu di rumah secara alamiah menimbulkan perasaan betah merawat kendaraan tua/antik sekaligus membuat beragam koleksi semakin indah. Namun dia memastikan, koleksi yang dilakukan harus berdasarkan pembelian mobil tua/antik atau kendaraan roda dua yang masuk kategori original. “Saya beli yang rusak atau memang sengaja dijual orang. Kalau rusak saya bawa ke bengkel untuk diperbaiki. Bila kebetulan tidak rusak, ya saya modifikasi sesuai selera. Tapi mesinnya harus original, jangan sudah diamandemen seperti UU,” ujarnya tersenyum. Pengagum warna putih ini merinci, beberapa mobil tua/antik yang dikoleksi sekarang meliputi; Toyota Hardtop 1978/1980/1981, Chevrolet Impala 1962, Sedan Mercy 1975 dan Ford Falcon 1996. “Ford Falcon hanya 2 di Indonesia. Satu di Jakarta dan 1 di Medan. Dua kendaraan itu bekas mobil yang pernah dipakai Dubes Australia,” kata pemakai parfum merk Terre dHermes. Terkait koleksi kendaraan roda dua antik/tua, Randiman menyebut satu persatu koleksi seperti; Binter Mercy 1981, honda kijang 50 CC 1967 dan Vespa 1973/1975. Sedangkan menyangkut pemeliharaan burung dijelaskannya melekat akibat emosional masa kecil yang terbawa dari kampung. Randiman mengatakan sering mendengar kicauan indah burung saat bangun tidur. “Jadi supaya tidak lupa nuansa kampung, ya saya pelihara burung di Kota Medan,” ujarnya. Randiman menguraikan, 19 ekor burung yang dipelihara meliputi; Beo, Murai Batu, Kacer, Jibled, Perenjak dan Kenari. Acara makan siang pun usai sekira pukul 13.15 WIB. Randiman Tarigan mengajak pindah ke teras lain yang di sekitarnya bergantungan 19 burung peliharaan. Tiba-tiba Randiman bersiul dan bertepuk tangan. Sesaat kemudian suara tersebut mendapat sambutan hangat dari burung-burung yang “heboh” di sangkar masing-masing. Ada yang ikut bersiul-siul dan sebagian lagi terbang “lasak” pertanda senang. Suasana meriah burung-burung itu terlihat spontan di permukaan. “Itulah suasana kampung saya. Dimana bisa kita beli suasana ini? Saya mencintai pelestarian flora dan fauna,” jelas kakek bercucu 3, seraya berdiri menuju beberapa sangkar burung dan berkali-kali menjentikkan jemari.
13 Bonsai Umur 20-50 Tahun di Halaman Depan
Khusus pelestarian tanaman Bonsai, rona Randiman Tarigan tampak berbinar-binar dan teramat sulit dilukiskan dalam tulisan ini. Dikatakan Randiman, 13 tanaman bonsai berumur 20-50 tahun tertanam apik di halaman depan rumah. Sementara di bagian belakang terdapat 20 tanaman bonsai berusia 10 tahun ke bawah. “Saya suka bonsai sejak Ibu Widi Astuti (Almh), seorang Staf Pertamanan Pemko Medan memberikan 1 tanaman bonsai boksus di dalam pot. Dari pemberian itulah saya mulai menanam kembali 6 bonsai berusia relatif kecil ketika tinggal di Perumnas Mandala tahun 1987,” kenangnya. Saking cintanya sama tanaman bonsai, Randiman tidak segan-segan membeberkan niat mendirikan usaha bonsai manakala memasuki masa pensiun kelak. Selain memiliki keindahan seni tinggi, bonsai dipercayanya bernilai ekonomi menjanjikan. “Paling rendah bonsai di sini berumur 5 tahun. Pernah ada yang mau beli Rp. 250 juta tapi saya tolak,” terangnya. Sebulan sekali, lanjut Randiman, seorang ahli dan petugas khusus bernama Ian melakukan perawatan, pembentukan hingga pemangkasan. “Dulu saya mangkas dan membentuk sendiri. Tapi sekarang ya tidak sempat dong. Kalo memungkinkan saya mau nambah bonsai nanti,” ucap Randiman. Dia menegaskan, semua bonsai yang dilestarikan tidak akan dijual namun menjadi legacy (warisan) kepada anak cucu. Dari semua bonsai yang ditanam, Randiman memberitahukan bahwa umur yang paling tua mencapai 50 tahun ke atas. Sedangkan jenis-jenis bonsai yang dimiliki mempunyai nama masing-masing diantaranya; Serut, Anting Putri, Cemara Udang, Beringin, Kemuning, Hokianti, Loan/Mayang Terurai, Pucuk Merah dan Asam Kuranji.
Obsesi dan Waktu untuk Keluarga
Semua sudah Anda raih, bagaimana keseharian di DPRD Sumut dan masih adakah obsesi lain yang belum tercapai ? Pemakai sepatu nomor 42 dan celana nomor 36 ini justru tersenyum mengalihkan pandangan ke arah burung-burung yang bergantungan di sangkar. Sambil bersiul-siul kecil menyapa peliharaannya, Randiman Tarigan menguraikan, segala aktivitas kerjaan di DPRD Sumut selalu dinikmati serta dijalankan maksimal. Randiman percaya, upaya selama ini untuk menyatu dan menjiwai 100 orang legislator dalam kepluralan latarbelakang, diyakini membawa hasil positif berbentuk wawasan baru pengalaman hidup. Sedangkan obsesi hidup dinilainya tidak muluk-muluk selain ingin bermanfaat bagi sesama dan orang-orang yang membutuhkan. “Obsesi saya cuma ingin berguna untuk banyak masyarakat dan bisa memberdayakan orang-orang di kampung kelahiran. Saya tidak ngoyo, saya bersyukur kepada Tuhan bisa sehat, banyak anugerah dan sampai sekarang masih bekerja walau sudah memakai “botol infus ke-2”. Harusnya umur 56 sudah pensiun tapi ternyata masih diberdayakan pimpinan. Umur saya sekarang menuju 58. Status jabatan Esselon II/a pangkat IV/d sudah mentok habis. Lebih hebat lagi Pak Sekda Nurdin Lubis. Dengan “botol infus ke-3″ tetapi masih dipakai terus,” tegas Randiman terharu.
Lalu, apa kiat-kiat Anda menyiasati waktu luang bersama keluarga? Pria separo baya yang mengaku selalu ditunjukkan Tuhan jalan keluar bila sedang dalam menghadapi masalah, itu tampak tertegun kecil seraya mengarahkan tatapan ke tanaman-tanaman bonsai. Baginya, berbagai karunia Tuhan telah diterima dan yang tersisa hanya tekad untuk menjadi panutan keluarga maupun masyarakat luas. Waktu buat keluarga dinilai Randiman Tarigan selalu disiapkan setiap Sabtu dan Minggu dalam bentuk kegiatan rumahan, pergi ke kebun hingga acara makan bersama. Menurut Randiman di akhir percakapan, merajut komunikasi keluarga yang baik cuma bisa tercipta bila ada semangat luhur mentradisikan keterbukaan. Mulai dari urusan pribadi, keluarga, sosial, politik, adat istiadat atau berbagai hal-hal ringan lain. Tanpa terasa waktu bersama Randiman Tarigan seakan tidak ada habis-habisnya. Arloji menunjukkan waktu pukul 14.20 WIB dan Randiman berkenan meluangkan waktu berjalan ke gerbang mengantar kepulangan jurnalis yang “mencuri” waktunya selama 4 jam lebih. Selamat menikmati hidup dan semoga selalu jadi intan bagi sesama Bang Randiman..! (Budiman Pardede/PROFILE PARIWARA)