www.MartabeSumut.com, Medan
Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Pasar Baru Kec Batahan Kab Mandailing Natal (Madina), Malvinas Ahmad (35), geram. Bersama Wakil Ketua Amrun dan Sekretaris Rahmadhi Anas, mereka menuding manajemen PTPN 4 telah berlaku tidak adil. Alasannya, ungkap Malvinas, PTPN 4 sebagai mitra (kebun plasma) telah ingkar janji, mencaplok lahan dan melanggar Permentan RI Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan rakyat sistem perluasan, peremajaan serta rehabilitasi tanaman perkebunan yang melibatkan perusahaan.
BACA LAGI: Bagi Hasil Kebun Plasma tak Jelas, Ketua KUD Pasar Baru Madina Adukan PTPN 4 ke Polda Sumut
Awalnya, ungkap Malvinas, ribuan warga 4 desa di Kec Batahan Kab Madina mengapresiasi program pemerintah pusat. Sehingga melalui KUD Pasar Baru Batahan diajukanlah surat Nomor 041/KUD-PB/III/2007 tanggal 26 Maret 2007 kepada Bupati Madina perihal arahan lahan pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) atau Areal Penggunaan Lain (APL) untuk kepentingan kebun plasma kelapa sawit bekerjasama dengan PTPN 4. Bupati Madina disebutnya setuju dan menerbitkan Izin Lokasi Nomor 525.25/154/K/2007 tanggal 30 Maret 2007 seluas 3.200 Ha. Malvinas mengatakan, lahan tersebut dimaksudkan membangun kebun kelapa sawit pola kemitraan (profit sharing) dengan PTPN 4. Dialokasikan sebagai kebun plasma untuk 1.600 KK masyarakat Kec Batahan. “Makanya pada 31 November 2007 kami bersama PTPN 4 dan PT Bank Mandiri membuat Memorandum of Understanding (MoU) di kantor PTPN 4 Medan. Nyatanya plasma itu hanya bayar cicilan terus. Belum ada keuntungan yang kami dapat sampai sekarang. Kami mulai putus asa karena masalah sudah lama sekali,” keluh Malvinas, Amrun dan Anas kepada www.MartabeSumut.com di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Jalan Imam Bonjol Medan, usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi B DPRDSU, Jumat siang (28/2/2020).
BACA LAGI: Panggil PTPN 2, 3 & 4, DPRDSU Cecar Kebun Plasma di Madina, CSR Hingga Produksi Turunan
Caplok Lahan 1.200 Ha
Celakanya lagi, lanjut Malvinas, selain masalah profit anggota KUD Pasar Baru Batahan yang tidak jelas sedari 2007 sampai sekarang, muncul pula persoalan kedua menyangkut pencaplokan lahan sekira 1.200 Ha dari total 3.200 Ha izin lokasi lahan yang diberikan Bupati Madina untuk KUD Pasar Baru Batahan. Menurut Malvinas, sejak 2008-2020, lahan 1.200 Ha diambil PTPN 4 secara sepihak dan dijadikan sebagai kebun inti. Kemudian lahan dibangun dan dikelola oleh unit Kebun Balap PTPN 4 tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Izin Lokasi Perkebunan (ILP). “Kasus ini sudah kami adukan ke Polda Sumut pada 6 Maret 2019. Jadi lahan itu harus dikembalikan PTPN 4 kepada KUD Pasar Baru Batahan. Kami minta Komisi B DPRDSU memfasilitasi ke Kementerian BUMN. PTPN 4 berkilah lahan 1.200 Ha sudah jadi asetnya padahal kami lihat ada tumpang tindih izin,” tegas Malvinas.
BACA LAGI: Komisi B DPRDSU Miris, Serapan Anggaran Diskanla Sumut 2019 Rendah & Usulan Dana 2020 Kecil
PTPN 4 Ingkar Janji
Tak berhenti disitu, Malvinas kembali membeberkan sikap wanprestasi alias ingkar janji PTPN 4 yang seyogianya membangun 3.200 Ha kebun plasma sesuai kerjasama MoU. Dia menjelaskan, dari 3.200 Ha lahan, ternyata kebun yang dibangun cuma sekira 1.728 Ha. Itu pun tidak maksimal lantaran tidak semua lahan ditanami pohon sawit. Diakuinya, PTPN 4 memang melaporkan 1.728 Ha kebun plasma yang dikelola. Namun luasannya cuma 1.100 Ha berisi sawit dengan kondisi tidak standard. Bahkan di areal 1.100 Ha terdapat 40 persen lahan tak bisa disentuh akibat kondisi seperti hutan. “Sisanya 600 Ha gak berisi sawit. Sementara tanggungan kredit KUD Pasar Baru Batahan di Bank Mandiri tetap dihitung seluas 1.728 Ha. Kan aneh, itulah kondisi realnya. Jalur-jalur jalannya aja hampir tertutup di sana,” sesalnya. Malvinas juga meminta dilakukan audit kredit investasi di Bank Mandiri sekira Rp. 106 Miliar karena terindikasi kongkalikong oknum PTPN 4. Dari 3.200 Ha lahan, singkapnya, pembayaran pajak selalu dilakukan KUD Pasar Baru Batahan. “Kita sudah minta ke kantor pajak soal pembayaran detail. Sistem pembiayaan dan hasil kebun tidak transparan. Gak pernah disampaikan ke KUD Pasar Baru Batahan. Penilaian pisik kebun kelapa sawit rakyat PTPN 4 tidak sesuai Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 141/Kpts/LB.110/06/2010 tertanggal 23 Juni 2010,” terangnya. Malvinas menjelaskan, masalah terakhir yang patut diselesaikan menyangkut konflik lahan sekira 300-500 Ha (masuk lahan 3.200 Ha) yang dikuasai PT Palmaris Raya. Pasalnya, ada tumpang tindih izin Palmaris dengan izin KUD Pasar Baru Batahan. “Perlu diselesaikan secara pasti oleh tim kadastral (pengukuran batas-batas tanah oleh badan pencatat resmi),” harap Malvinas.
Usut Kredit 106 Rp. Miliar
Amrun menambahkan, ada masalah serius soal dana kredit Bank Mandiri Rp.106 Miliar untuk lahan plasma 3.200 Ha. Diduga melanggar hukum sebab terlalu banyak kejanggalan PTPN 4 diluar MoU awal. Termasuk hasil peninjauan pisik lapangan/kebun oleh Dirjen BUN dan Bank Mandiri. “Kan Rencana Anggaran Biaya (RAB) kebun plasma PTPN 4 yang terbitkan. Potensi penyimpangan ya di sana,” duga Amrun. Dia yakin, lahan 1.200 Ha yang dicaplok PTPN 4 tak ada tumpang tindih izin. Alasannya, PTPN 4 memang tak punya izin di areal tersebut kecuali izin lokasi KUD Pasar Baru Batahan. “Beda dengan PT Palmaris, ada tumpang tindih izin. Mereka ada izin, kita juga punya izin,” akunya. Sedangkan Anas menginformasikan, hasil produksi lahan 1.728 Ha mencapai 700-1.000 ton sebulan. Anas heran, seharusnya hasil produksi bisa melebihi jumlah tersebut. “Kenapa ? Berarti ada wanprestasi dalam pengelolaan kebun. Berapa sebetulnya hasil real 1.728 Ha ? Maka itulah cicilan kredit kami ke bank. Ya akhirnya kami tak terima apapun,” sesalnya. Anas membeberkan, saat PTPN 4 ditanya keganjilan itu, maka selalu muncul alasan klasik. Mulai dari tipologi geogravis berbukit, hingga gangguan alam tatkala sawit telah ditanami. Dia merinci, total hasil 2019 dari lahan 1.728 Ha mencapai 10.000 ton. Tapi gara-gara tak tertutupi biaya cicilan bank dari hasil produksi, Anas memberitahukan bahwa PTPN 4 yang menalangi. “Akhirnya kami hutang terus sama mereka. Cicilan bank memang tertutupi, namun kami gak dapat apa-apa. Harusnya berapa tanaman yang ada, itulah yang dihitung. Estimasinya kan gitu, dibayar ke bank. Contoh, dari 1.728 Ha, jika cuma 700 Ha berisi tanaman sawit, ya luasan 700 Ha dong dibayar cicilannya. Kalo gitu sistem PTPN 4, kami bisa terima. Inikan tidak transparan,” kesal Anas tak habis pikir.
Masih di gedung DPRDSU, www.MartabeSumut.com mengkonfirmasi anggota Komisi B DPRDSU Fahrizal Efendi Nasution, SH. Politisi Partai Hanura itu pun membenarkan telah memanggil RDP pengurus KUD Pasar Baru Batahan dan Pemkab Madina, Jumat pagi (28/2/2020) di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan. “Tadi kita sudah himpun keterangan para pihak. Segera dijadwalkan pemanggilan PTPN 4 dan Bank Mandiri. Bila lahan 1.200 Ha milik KUD, ya harga mati harus dikembalikan. Sudah 12 tahun terjadi dengan masa produksi 8 tahun. Selama dia (PTPN 4) kuasai, wajib bayar kerugian masyarakat,” ujarnya dengan nada tinggi. Pada sisi lain, imbuh Fahrizal lagi, akibat penguasaan 1.200 Ha, berdampak pada pemakaian dana kredit Bank Mandiri untuk revitalisasi kebun plasma senilai Rp. 106 Miliar. Padahal lahan yang diserahkan PTPN 4 seluas 1.728 Ha saja. Faktanya di lapangan, Fahrizal mengaku dapat info bahwa dari 1.728 Ha tersebut hanya 1.100 Ha produktif. Sisanya 600 Ha justru tanah terlantar. Artinya, dana kredit Rp. 106 Miliar yang diproses PTPN 4 selama 12 tahun demi alasan perawatan, penanaman atau sejenisnya, tentu saja memiliki risiko pertanggungjawaban hukum kedepan. “Pertanyaan kita sekarang, kenapa tak dilakukan penanaman dan perawatan maksimal pada lahan seluas 3.200 Ha sesuai MoU awal ? Kenapa pengelolaan 1.728 Ha aja ? Dimana sisa anggaran ? Patut diduga, dana revitalisasi Rp. 106 Miliar yang dicairkan sejak tahun 2007 itu ada yang bocor,” tuding Fahrizal blak-blakan.
BACA LAGI: PT PPSU Ganti PRSU jadi Sumut Fair, Komisi B DPRDSU Anggap Kecil Target PAD 2020 Rp. 2,7 M
Penegak Hukum Usut Dana Kredit
Nah, Legislator asal Dapil Sumut VII Kab Tapsel, Kab Madina, Kab Palas, Kab Paluta dan Kota Padang Sidimpuan itu memastikan, persoalan besar yang urgen diusut penegak hukum adalah dana kredit Rp. 106 Miliar yang semestinya disiapkan untuk pengolahan pembukaan kebun plasma seluas 3.200 Ha. Namun kurun 12 tahun berlalu hanya 1.728 Ha yang dikelola PTPN 4. Sementara beban kredit diletakkan ke pundak masyarakat melalui KUD Pasar Baru Batahan. “Kan jadi beban hutang KUD ? Beban hutang sih gak masalah sepanjang benar dan sesuai rencana awal 3.200 Ha. Ini kan baru 1.728 Ha yang produktif dibuka atau diserahkan ke KUD Pasar Baru Batahan ? Kita harus tahu apa dibalik keanehan sikap PTPN 4,” tegasnya. Bagi Fahrizal, kredit Rp.106 Miliar dengan lahan dibuka/diserahkan 1.728 Ha, jelas melanggar MoU semestinya 3.200 Ha. Apalagi di lahan 1.728 Ha banyak areal manipulatif dan bermasalah. Sebab cuma 1.100 Ha produktif dan 600 Ha terlantar. “Lalu, bagaimana pengelolaan dana kredit kurun 12 tahun silam,” selidiknya bertanya. Menyinggung PT Palmaris Raya, Fahrizal menyarankan pengembalian lahan yang diduga dikuasai seluas 300-500 Ha. “Perlu dilakukan kadastral. Kita segera panggil PTPN 4 dan Bank Mandiri untuk RDP,” tutup wakil rakyat bidang perekonomian tersebut. Manajemen PTPN 4 belum dapat dikonfirmasi terkait masalah ini. (MS/BUD)