Warga Abaikan Polisi (Main Hakim Bakar Pelaku Kejahatan) Karena Selama ini Diabaikan?

Bagikan Berita :

Aksi massa main hakim sendiri membakar hidup-hidup pelaku kejahatan begal (di Pulau Sumatera istilahnya pencurian kendaraan bermotor alias curanmor), Selasa (24/2/2015) di Jalan Masjid Baiturohim Pondok Aren Tangerang Selatan (Tangsel), sulit dilepaskan dari ekses pengabaian polisi terhadap laporan/pengaduan warga selama ini.

Rubrik Garis Bawah kali ini mencoba melihat akibat pengabaian dari perspektif skeptis terbalik. Apakah benar warga “balas dendam” mengabaikan keberadaan polisi selaku penegak hukum sehingga main hakim sendiri, atau memang reaksi spontan karena puncak kekesalan kepada pelaku kejahatan? Jawabannya jelas memerlukan data kualitatif dan kuantitatif pendukung. Namun tulisan ini sengaja saya sajikan bukan karena kebencian terhadap polisi melainkan keinginan berbagi kritik konstruktif demi perbaikan institusi kepolisian kedepan. Sepintas membaca judul Garis Bawah di atas, saya pastikan lahir banyak pemikiran di benak pembaca. Bisa membenarkan dan tersadar realita terkini, bisa pula menganggap provokatif dan bahkan tidak sedikit menuding saya alergi kepada polisi. Terlepas dari apapun penilaian pembaca, perlu diketahui, awalnya saya mau membuat judul tulisan dengan tanda seru (!). Tapi saya mengubahnya dan meletakkan tanda tanya (?). Sebab saya juga tidak mau dituding main hakim sendiri dengan penilaian subjektif yang kemungkinan besar masih membutuhkan diskusi lebih jauh.

Main Hakin Sendiri Tidak Dibenarkan

Semua pasti sepakat mengatakan kalau aksi main hakim sendiri bukanlah jalan keluar menyelesaikan masalah dan tidak dibenarkan hukum manapun. Selain ada hak-hak asasi dirampas dan hak-hak hukum orang lain yang belum dibuktikan lebih dulu kebenarannya (praduga tidak bersalah), kajian agama apapun juga melarang tindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan terhadap sesama. Apalagi aksi main hakim sendiri itu sampai berujung melukai, mencederai, menyakiti bahkan menghilangkan nyawa seseorang. Timbul pertanyaan, kenapa lahir kesadaran massa main hakim sendiri hingga tega membakar hidup-hidup pelaku kejahatan ? Dalam Garis Bawah ini saya mengistilahkan “kesadaran massa” adalah akumulasi gerakan brutal masyarakat akibat putus asa dan kecewa kurun waktu panjang sampai sekarang. (Faktor terbesar main hakim sendiri adalah kekecewaan warga terhadap kinerja aparat hukum di negara ini—Kriminolog Universitas Indonesia Muhammad Mustofa).

Bicara soal benar tidaknya polisi sering mengabaikan pengaduan/laporan warga, saya percaya polisi lebih tahu. Polisi juga pasti sangat ingat bagaimana cara atau perilaku mereka tatkala menyahuti keluhan, persoalan dan keresahan-keresahan warga yang dilaporkan resmi ke kantor polisi pada semua tingkatan teritorial. Saya pun jadi teringat konflik KPK-Polri beberapa waktu lalu. Membuat saya tersenyum-senyum kecil mengamati dan entah kenapa muncul sikap “agak gimana gitu” ketika mendengar pejabat Mabes Polri lantang mengatakan bahwa Polri selalu siap menindaklanjuti seluruh pengaduan warga. Saya spontan salut karena menurut tiori memang begitulah seharusnya. Tapi sikap saya yang “agak gimana gitu” tak bisa terbendung lantaran tahu persis begitu banyak laporan pengaduan masyarakat kecil di Polsek, Polres bahkan Polda se-Indonesia yang terabaikan, tak kunjung jelas juntrungannya dan “raib” tak berbekas. Pertanyaan berikut yang seimbang muncul, benarkah dan kenapa ? Inilah yang saya sebut tadi akumulasi kesadaran massa (rakyat) yang putus asa, kecewa bahkan bukan mustahil pupus pengharapan. Untuk membuktikan perasaan itu mari kita tanya kejujuran hati polisi dan ayo sama-sama cari data valid berapa juta laporan pengaduan warga pada semua tingkatan teritorial institusi kepolisian yang diabaikan hingga kini. Padahal, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat (Dumas) di Lingkungan Polri dengan tegas memerintahkan upaya tindak lanjut penyidik secara transparan terhadap setiap pengaduan masyarakat. Perkap tersebut juga mengatur terselenggaranya pelayanan Dumas yang baik oleh Polri dalam upaya meningkatkan kepercayaan dan kepuasan masyarakat. Hasilnya di lapangan? Wallahualam…!

Realitas Empiris Miris di Tanah Air

Apa yang saya ungkapkan tersebut kemungkinan besar merupakan realitas empiris miris kekinian di penjuru Tanah Air. Saya sempat mencari data baku terkait jumlah laporan/pengaduan rakyat Indonesia di situs Mabes Polri  http://www.polri.go.id. Namun yang saya temukan hanya form isian pengaduan dan laporan kasus yang bisa disampaikan siapa saja secara online. Bagi saya, form laporan/pengaduan online Polri tersebut sudah bagus karena bisa dilakses langsung masyarakat. Tapi akan semakin baik andaikan Polri menunjukkan akuntabilitas kinerja dengan meletakkan data resmi Polri secara periodik bulanan/tahunan terkait total laporan/pengaduan rakyat Indonesia yang masuk ke Polsek, Polres atau Polda, sehingga dapat jadi acuan sekaligus melihat progress report laporan (tindak lanjut). Lantaran tidak mendapat data resmi di situs Mabes Polri, selanjutnya saya searching lagi ke mesin Google. Hasilnya lumayan mencengangkan. Saya menemukan sangat banyak kliping berita-berita media online tentang pengaduan/laporan warga yang berhenti tak tentu arah di tingkat Polsek, Polresta dan Polda. Realitas seperti inilah yang saya istilahkan bakal melahirkan kekecewaan jutaan warga yang pernah mengadu/melapor. Mereka frustasi sebab cenderung diabaikan polisi dengan segudang alasan justifikasi (pembenaran) yang cuma polisi dan Tuhan saja yang tahu.

Simak pengalaman empiris lain yang teramat mudah ditemukan di sekitar kita. Warga pasti lebih memilih diam dan enggan melaporkan kejadian yang merugikan dirinya karena tidak mau direpotkan ulah mayoritas oknum polisi yang kental berwatak “sikat korban dan sikat TSK”. Sekarang coba amati contoh terkini yang saya liput 1 minggu lalu saat menginvestigasi peristiwa pidana kriminal penipuan (KUHP 378) melalui internet dengan korban warga Medan berinisial ES. Kepada saya korban menceritakan telah tertipu mentransfer uang Rp. 500 ribu disebabkan tertarik membeli barang pada salah satu situs online Facebook bernama Toko Andini Syekila. Saya pun semangat mewawancarai, menuliskan berita hingga memantau situs online Facebook yang dijadikan pelaku sebagai kedok penipuan untuk berdagang. Ternyata situs tersebut masih aktif dan terus berdagang online menipu masyarakat. Bahkan konfirmasi saya soal tudingan penipuan diabaikan Toko Andini Syekila sampai sekarang. Nah, ketika saya arahkan korban ES melapor ke Polresta Medan, Staf PNS di Pemprov Sumut tersebut justru enteng menolak. “Kita lapor ke polisi selalu berbelit-belit prosesnya. Belum lagi permintaan uang saat pembuatan laporan. Setelah melapor dan mengadu pasti tak pernah jelas tindak lanjut polisi. Malas aku lapor polisi,” keluh ES spontan, berkali-kali. ES juga mengaku sangat mendambakan kinerja aparat Polri yang bertugas seperti manajemen bank-bank melayani nasabah.    

Warga Mengabaikan Keberadaan Polisi ?

Kembali kepada angle tulisan Warga Abaikan Polisi (Main Hakim Bakar Pelaku Kejahatan) Karena Selama ini Diabaikan ? Berangkat dari keputus-asaan warga yang laporan pengaduannya kerap diabaikan, diikuti sikap tidak percaya warga mengadu kepada polisi dan muncul aksi main hakim massa membakar pelaku kejahatan di Tangsel, dalam Garis Bawah ini saya mau menduga, diakui jujur atau tidak, sebenarnya polisi malu mengatakan bahwa realita memprihatinkan yang terjadi di Tangsel merupakan akumulasi kesadaran warga yang balik membalas mengabaikan keberadaan polisi sebagai penegak hukum. Buktinya sangat mudah diamati pasca-“kesadaran massa” bangkit membakar pelaku kejahatan begal motor di Tangsel tersebut. Polisi langsung bereaksi panik, terkejut, bingung dan terkesan mencari-cari justifikasi. Mulai dari justifikasi kesulitan memproses penyelidikan, menampilkan sikap serius memproses hukum semua pelaku main hakim sendiri hingga segudang alasan yang sulit terbilangkan. Tapi maaf, dengan tidak bermaksud mengurangi rasa hormat kepada institusi kepolisian, garis bawah ini bisa memastikan, aksi bakar pelaku kejahatan yang dilakukan massa adalah bukti kekecewaan, ketidakpercayaan, keputusasaan, sikap frustasi dan hilangnya wibawa institusi kepolisian di mata masyarakat. Itupun kalau tidak mau dikatakan: warga yang membakar pelaku kejahatan identik (sama saja) dengan membakar polisi ? Sekali lagi mohon maaf, saya mengidentikkan aksi sama saja dengan membakar polisi setidaknya dilatarbelakangi spontanitas “kesadaran massa” yang menganggap polisi “tidur” dan tidak ada lagi di Republik ini. Sikap tega membakar pelaku kejahatan kemungkinan cermn kemarahan rakyat akibat laporan pengaduannya cenderung diabaikan selama ini. Hukum rimba pun diwujudkan spontan tanpa ingat bahwa polisi ada di sekitar warga. Tulisan ini bukan bermaksud provokatif tapi sekadar karya kritis jurnalis atas realita miris yang memerlukan jalan keluar realistis. Sebab saya percaya, dari sekira 400 ribu personel polisi di Indonesia, masih ada polisi-polisi yang baik bertugas. Saya menggarisbawahi, masyarakat yang membakar pelaku kejahatan di Tangsel sepertinya memberikan pesan moral kepada polisi-polisi baik bahwa perbuatan mereka itu sama dengan membakar perilaku sosok-sosok polisi yang selama ini masuk kategori mengabaikan laporan/pengaduan rakyat, kotor bertugas, mental bobrok, korup bertugas, manipulasi kasus, jual beli pasal, kokang pasal, kolusi, tebang pilih kasus, diskriminatif, suka 86 kasus di lapangan, melihat-lihat strata sosial pelapor, bertabiat minta disuap, berpolitik sesaat/sesat serta tidak konsisten menjalankan Tribrata/Catur Prasetya.

Suka tak suka, polisi yang tergolong baik silahkan membantahnya. Namun pantas digarisbawahi bahwa sikap terang-terangan membakar pelaku kejahatan adalah wujud akumulasi fisikologis “kesadaran massa” yang tidak terbantahkan kalau sebenarnya rakyat Indonesia juga sepakat membakar perilaku sebagian besar oknum aparat kepolisian yang suka mengabaikan laporan/pengaduan rakyat, kotor bertugas, mental bobrok, korup, manipulasi kasus, jual beli pasal, kokang pasal, kolusi, tebang pilih kasus, diskriminatif, suka 86 kasus di lapangan, melihat-lihat strata sosial pelapor, bertabiat minta disuap, berpolitik sesaat/sesat dan tidak konsisten menjalankan Tribrata (3 asas kewajiban) seperti ; 1. BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA. 2. MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN  REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 3. SENANTIASA MELINDUNGI MENGAYOMI DAN MELAYANI, MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN.

Pada sisi lain, perlu digarisbawahi juga, polisi yang cenderung mengabaikan laporan/pengaduan rakyat, kotor bertugas, mental bobrok, korup, manipulasi kasus, jual beli pasal, kokang pasal, kolusi, tebang pilih kasus, diskriminatif, suka 86 kasus di lapangan, melihat-lihat strata sosial pelapor, bertabiat minta disuap dan berpolitik sesaat/sesat, itu pun jadi pemicu kemarahan masyarakat sehingga tega membakar pelaku kejahatan. Keberadaan sosok-sosok polisi kotor dianggap merusak institusi kepolisan secara umum lantaran sikap-sikapnya bertentangan dengan Catur Prasetya yang berbunyi: SEBAGAI INSAN BHAYANGKARA, KEHORMATAN SAYA ADALAH BERKORBAN DEMI MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA UNTUK ; 1. MENIADAKAN SEGALA BENTUK GANGGUAN KEAMANAN. 2. MENJAGA KESELAMATAN JIWA RAGA, HARTA BENDA DAN HAK ASASI MANUSIA. 3. MENJAMIN KEPASTIAN BERDASARKAN HUKUM. 4. MEMELIHARA PERASAAN TENTRAM DAN DAMAI.

Polisi Harus Kembalikan Kepercayaan Rakyat

Aksi main hakim sendiri dalam hal kecil sekalipun adalah perbuatan yang tidak boleh dibenarkan.Kesadaran massa yang berimplikasi negatif harus segera disadarkan. Begitu pula perilaku sebagian besar oknum aparat kepolisian yang mengabaikan laporan/pengaduan rakyat, kotor bertugas, mental bobrok, korup, manipulasi kasus, jual beli pasal, kokang pasal, kolusi, tebang pilih kasus, diskriminatif, suka 86 kasus di lapangan, melihat-lihat strata sosial pelapor, bertabiat minta disuap, berpolitik sesaat/sesat dan tidak konsisten menjalankan Tribrata dan Catur Prasetya, wajib hukumnya segera dihentikan, untuk selanjutnya mengembalikan citra polisi yang dipercaya rakyat. Artinya, bila ada pertanyaan apakah massa yang membakar pelaku kejahatan itu identik (sama saja) dengan membakar polisi, maka jawabannya tidak berbeda dengan pribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari. Atau, orangtua bicara kotor di rumah, niscaya anak-anaknya lantang berteriak kotor di luar sana. Sederhana sekali, tidak perlu berbelit-belit mengartikulasikan. Coba kita renungkan saja pertanyaan-pertanyaan nakal dan meggelitik berikut: kenapa di depan kantor polisi di Kota Medan bisa beroperasi hotel maksiat yang setiap detik terjadi perzinahan ?  Kenapa ada diskotek ramai peredaran Narkoba di dekat kantor polisi ? Kenapa perjudian bisa terus marak ? Pertanyaan berikutnya; apakah polisi tidak tahu aktivitas melanggar hukum 3 masalah klasik tersebut ? Kenapa polisi kerap semangat menuntaskan kasus-kasus prostitusi, peredaran bebas Narkoba dan perjudian setelah ada peristiwa atau “terbakar rumah” dulu baru jadi petugas pemadam ? Bagaimana pula bila warga kembali marah, main hakim sendiri dan membakar lagi tempat-tempat maksiat, diskotek dan arena perjudian ? Retoris sekali menjawab semua pertanyaan tersebut sebab jawabannya bisa-bisa bak meludah ke atas terkena muka sendiri.

Akhirnya saya kembali menggarisbawahi, sekecil apapun aksi main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat adalah realita ironi miris atas pengabaian polisi terhadap laporan/pengaduan warga. Ketika pengaduan/laporan warga diabaikan, tentu saja rakyat merasakan institusi kepolisian tidakberdaya menjadi mesin pemberi aman, damai, nyaman, perlindungan, penegakan hukum dan rasa keadilan. Oleh sebab itu, semenjak dini, saya mengusulkan lembaga penegakan hukum semisal Polri, Kejaksaan dan Pengadilan patut merefleksi terus institusi masing-masing terkait kejadian pembakaran pelaku kejahatan di Tangsel. Caranya sederhana dan bisa dimulai dengan memperbaiki, membenahi serta menindak tegas setiap aparat bertabiat nakal pada masing-masing institusi. Tolonglah polisi jangan lagi pamrih atau enteng memasukkan laporan/pengaduan warga ke dalam peti es supaya masyarakat tidak membalas mengabaikan polisi melalui aksi main hakim sendiri. Setelah itu, kembalikan kepercayaan rakyat dengan jalan memproses tuntas semua laporan warga tanpa diskriminasi/tidak mengharap imbalan dan menjalankan proses hukum/peradilan yang memenuhi rasa keadilan. Diujung kalimat saya ingin mengajak semua Pembaca tulisan ini agar menggarisbawahi, sampai sekarang Indonesia rindu sosok aparat Polri seperti polisi di Amerika yang selalu lugas menolak ucapan terimakasih warganya kendati telah banyak memberi bantuan. Polisi di Amerika sana justru ringan mengatakan: “Ini sudah tugas dan tanggungjawab kami, negara membayar kami untuk melakukan tugas dan tanggungjawab kami”. Logikanya, alangkah kurang bijak rasanya polisi, jaksa dan hakim kebakaran jenggot melihat aksi massa membakar pelaku kejahatan, kemudian gigih mempropagandakan pelarangan main hakim sendiri tapi tidak sadar memperbaiki kinerja. Bukan apa-apa, kita semua pasti protes saat melihat masyarakat yang mematuhi larangan main hakim sendiri itu justru main hakim ramai-ramai. Bah !

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here