Tak Terima Kabar Investigasi, Korban D Minta Rektor & Dekan FISIP USU Pecat HS Dosen Predator Seks

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Setelah berkali-kali dihubungi, D, korban pelecehan seksual oleh HS, dosennya di jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU), akhirnya bersedia diwawancarai www.MartabeSumut.com. Melaui saluran pesan WhatsApp, Minggu sore (2/6/2019), D mempersoalkan sikap Rektor dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) yang belum pernah menyampaikan kabar resmi seputar hasil investigasi kasus yang menimpanya tahun 2018. D juga meminta Rektor dan Dekan FISIP USU memecat HS.

Dalam pengakuan D, pihak USU hanya memberikan informasi bahwa aduannya sedang diproses. Bahkan D juga tidak tahu sama sekali sanksi yang dijatuhkan kepada Dosen HS. “Saat itu saya belum tahu apa sanksi yang diberikan. Sebab kabar resmi tentang perkembangan investigasi internal kampus USU juga tak pernah saya terima. Makanya saya terkejut mendengar sanksi yang diberikan kepada HS cuma teguran ringan,” geram D.

Diintervensi Kepala Jurusan Sosiologi & Humas USU 

Pada sisi lain, D sangat heran mendengar berita seputar pernyataan kalau dirinya telah menerima hasil investigasi internal dari pihak USU. Menurut D, cerita sebenarnya tidaklah seperti itu. Usai mengadu, ungkap D, USU dalam hal ini jurusan Sosiologi, terkesan mengintervensi dan ingin menutup kasusnya. Hal tersebut dirasakan D berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Dr Harmona Daulay, MSi, selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP USU. Apalagi kala itu D belum memiliki pendamping seperti sekarang. D merasa tertekan, trauma serta bingung. Apakah melakukan perlawanan dan bagaimana cara mencari keadilan. “Bohong berita beredar itu. Bukan menerima, hanya saja saya sudah tidak bicarakan lagi. Karena saat itu saya sangat tertekan. Pihak jurusan memanggil saya. Mereka bilang, sudahlah apalagi yang kau inginkan. Segala macamlah,” kenang D. Lucunya lagi, bahkan setelah D mendapat suaka pendampingan dan kasus dipersoalkan kembali, Kepala Kantor Humas dan Protokoler USU Elvi Sumanti, ST, MHum justru berusaha membujuk D agar datang menemui Rektor USU. Tentu saja D menolak. Sebab Elvi mengintervensi D supaya tidak membawa pendamping saat bertemu Rektor. “Kenapa saya tidak boleh bawa pendamping ? Saya jadi menaruh curiga. Saya juga takut nanti saya dapat tekanan. Pertemuan itu dijadwalkan mereka pada 20 Mei 2019,” singkap D.

HS Minta Maaf Ke Siapa?


Sebagai korban pelecehan seksual, D pun menggugat penjelasan pihak USU yang menyatakan HS telah meminta maaf. Karena D tidak pernah tahu kepada siapa permintaan maaf disampaikan HS. “Aneh sekali, sejak masalah saya dbongkar wartawan kepada publik, permintaan maaf HS selalu menjadi poin penting dalam keterangan Pers USU. Namun saya tidak pernah menerima permintaan maaf dari HS. Baik secara langsung maupun tertulis. Tidak, dia tidak pernah meminta maaf,” kesal D dengan nada tinggi. D menilai, ada kejanggalan dalam investigasi yang dilakukan USU terhadap kasus HS. Jika benar penyelidikan dilakukan secara benar dan HS mengaku bersalah, D memastikan sanksi yang diberikan terhadap HS tidaklah ringan. “Harusnya USU memberikan sanksi pemecatan untuk HS,” cetus D.

HS Terduga Delik Cabul


Permintaan D juga diperkuat oleh Pengamat Hukum dari Kantor Hukum Perdana Medan M Hendra Razak, SH, MH. Kepada www.MartabeSumut.com, Senin (27/5/2019) melalui telepon, Razak mengatakan, perbuatan dosen HS tergolong delik cabul sesuai penjelasan KUHP karya R Soesilo. Yakni perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. “Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya,” ujar pria yang bekantor di Jalan Sutomo Medan.

Menurut Pasal 289 KUHP, perbuatan seperti itu diancam pidana 9 tahun penjara. Bila HS memang terbukti melakukan cabul, maka Razak meyakini sudah terpenuhi syarat untuk diberhentikan sebagai dosen atau Pegawai Negeri Sipil (PNS/ASN). Hal ini juga merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (2) huruf (a) adalah melanggar sumpah dan janji jabatan dan berkaitan dengan sumpah dan janji jabatan yang diatur Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2017. “Salah satu frasenya menyebutkan, bahwa saya akan menjaga integritas, tidak menyalahgunakan kewenangan, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Nah, cabul merupakan perbuatan tercela. Kategori predikat kejahatan,” ingat Razak. (MS/PRASETIYO)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here