Soal Tuntutan Ijazah Mahasiswa Kedokteran, Komisi E DPRDSU Sarankan Judicial Review UU Dikdok

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) seputar keluhan ratusan mahasiswa kedokteran Medan yang tidak mendapat ijazah, Kamis siang (17/9/2015) di di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan. Dalam kesempatan itu, Komisi E DPRDSU menyarankan stake holder terkait agar melakukan judicial review (pengujian-Red) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pendidikan Kedokteran (Dikdok) Nomor 20 tahun 2013 Pasal 36 ayat 2, SK Dikti Nomor 27/DIKTI/Kep/2014 dan Nomor 68/E.E3/DT/2015 tentang implementasi Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) tahun 2015 serta SK Kemenristek Dikti Nomor 338/M/Kp/VI/2015.

Pantauan www.MartabeSumut.com di lokasi, RDP dipimpin Wakil Ketua Komisi E DPRDSU H Syahrial Tambunan, Sekretaris Firman Sitorus, anggota Janter Sirait, SE, Philips Perwira Juang Nehe dan beberapa anggota lainnya. Sementara pihak terkait yang diundang tampak dari Dinas Pendidikan Sumut, Dinas Kesehatan Sumut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut, pimpinan perguruan tinggi USU, Universitas HKBP Nommensen (UHN), UMSU, UMI, UISU dan ratusan mahasiswa berbendera Pergerakan Dokter Indonesia (PDI).

Tuntut Ijazah


Salah satu perwakilan PDI, Salman, mengungkapkan, saat ini mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia menuntut ijazah akademik pertanda selesai menempuh pendidikan. Di Medan, lanjutnya, ratusan mahasiswa dari kampus UHN, UISU, UMSU dan UMI berharap pihak kampus mengeluarkan ijazah. “Ijazah itu hak otonom universitas atau pendidikan tinggi sesuai UU Nomor 12/2012 Pasal 42,” tegasnya. Namun anehnya, imbuh dia lagi, Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang tidak pernah ditolak justru menghadirkan tumpang tindih UU Dikdok Nomor 20 tahun 2013 Pasal 36 ayat 2 yang sangat tidak adil. Karena Salaman memastikan, UU Dikdok itu mengatur mahasiswa kedokteran tidak bisa memiliki ijazah dari perguruan tinggi sebelum lulus uji kompetensi. Kemudian pada ayat 1 mengatur dokter atau dokter gigi hanya bisa menyelesaikan program profesi bila sudah lulus uji kompetensi bersifat nasional sebelum diambil sumpah sebagai dokter atau dokter gigi. “UU itu dikeluarkan tahun 2013 sedangkan kami kuliah tahun 2005 yang terkena imbasnya. Ini melanggar HAM. Kenapa kami kenak,” cetusnya kesal, seraya mengherankan kenapa dipaksa ikut UKMPPD saat berstatus mahasiswa. Diulangi Salman, UU Dikti Nomor 12/2012 Pasal 42 secara tegas mewajibkan institusi pendidikan tinggi mengeluarkan ijazah. “Kami sudah ketemu Dikti, mereka bilang secara tertulis tidak ada sanksi kepada pendidikan tinggi bila mengeluarkan ijazah. Kenapa sekarang pengeluaran ijazah kami dipersulit,” sesalnya bertanya, sembari mempersoalkan pula SK Dikti Nomor 27/DIKTI/Kep/2014 dan Nomor 68/E.E3/DT/2015 tentang implementasi UKMPPD tahun 2015 serta SK Kemenristek Dikti Nomor 338/M/Kp/VI/2015.

Bertujuan Hasilkan Dokter Paripurna

Pihak IDI Sumut, dr Yetty Machrina, MKes, berpendapat, UKMPPD bertujuan menghasilkan seorang dokter yang mampu memberi pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat kelak. Makanya uji kompetensi disebut dia perlu dan selalu ditingkatkan mutunya. Seorang dokter, kata Yetty, harus ikut sertifikasi setiap 5 tahun. Bukan suatu upaya mempersulit tapi penjaminan mutu dokter itu sendiri. Uji kompetensi dinilainya akan dilakukan 1 kali sebelum seorang dokter tamat. Setelah tamat dan mendapat ijazah Sarjana Kedokteran (legalitas selesai pendidikan), Yetty mengatakan sertifikat kompetensi dokter menjadi tahap penentu bila ingin melakukan praktik. Bagi dia, uji kompetensi tidak bisa dilakukan lembaga independen namun lembaga khusus Kologium. “Yang diuji wajib sudah tamat dan punya ijazah akademis. Sebab syarat memiliki izin praktik dokter harus ada sertifikasi kompetensi. Peristiwa ini sudah lama terjadi. Banyak lulus dapat ijazah namun tidak lulus uji kompetensi. Jadi kalo dibawa masalah ini ke pusat, sebaiknya dicarikan jalan keluar terbaik,” ingatnya.

Diuji ke MK

Anggota Komisi E DPRDSU Janter Sirait mengusulkan produk aturan dan regulasi pemerintah yang tumpang tindih sebaiknya diuji ke MK. “Kenapa Kopertis tidak hadir? Apa dia takut kolaborasinya terbongkar ? Kopertis tak hadir sama saja melecehkan Dewan. Dari 76 negara dunia, Indonesia nomor 6 paling bawah pendidikan terburuk. Mohan maaf, kita memang paling buruk soal masalah kutipan-kutipan uang. Mohon maaf ya,” sindir Janter, yang mengherankan alasan menahan ijazah mahasiswa kedokteran sebab terkesan memaksa ikut UKMPPD dengan kutipan biaya besar. Koleganya Philips Perwira Juang Nehe menambahkan, gelar akademik sebaiknya dipisahkan dengan sertifikasi kompetensi. “Kenapa ada 2 lembaga yang melaksanakan UKMPPD ? Perlu diuji supaya jangan ada dualisme. Apapun lembaga uji kompetensi, ya silahkan saja sepanjang berjalan jelas,” ingat Philips. Pihak UMSU Medan mengatakan, bila ada mahasiswa selesai menunaikan pendidikan, maka UMSU tidak membebani SPP lagi. “Kami ada pendampingan dan pembekalan mahasiswa tanpa biaya. UMSU tetap komit. Mahasiswa harus dibantu dan tidak dibiarkan,” akunya. Komisi E DPRDSU akhirnya berencana menemui Kemenristek RI dan Komisi X DPR RI di Jakarta untuk mengkonsultasikan masalah tersebut. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here