www.MartabeSumut.com, Medan
Tanpa komitmen orang (pejabat) tertinggi, semua wacana anti korupsi adalah dagelan politik. Berucap sesuatu kepada Dzulmi Eldin agar tidak abuse of power (menyalahgunakan wewenang) pasca-menjabat Walikota Medan aktif, adalah langkah kesia-siaan belaka. Sebab dalam sistem politik transaksional uang siluman itu bersifat inheren dalam tubuh demokrasi.
Kritik tersebut disampaikan Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, kepada www.MartabeSumut.com, belum lama ini. Shohibul mengatakan, jika orang tertinggi (pejabat) di struktur paling atas bagus, niscaya pejabat di bawah akan mengikuti.
Korupsi Bukan Isu Penting
Shohibul melanjutkan, hingga kini praktik dan kasus korupsi sama sekali bukan isu penting. Alasannya, cuma pemerintahan yang tetap ingin aman melakukan korupsi sajalah yang terus berteriak dan membesar-besarkan wacana perang atas korupsi. Kemudian berpuas diri dalam pencitraan institusi di tengah-tengah wawasan rakyat yang rendah kadar literasi. “Saya berpesan scientifik ilmiah bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sangat jauh dari core problem. Apa yang dilakukan selama ini hanya berkutat pada gejala hilir dan pinggiran belaka,” sesal Shohibul, via saluran pesan WhatsApp.
BACA LAGI: Ribut Revisi UU KPK, Shohibul Anshor Siregar Sebut 2 “Benturan” Obsesi Besar Penegakan Hukum Korupsi
Penegakan Hukum Danga-Danga
Menurut Shohibul, kalau KPK terus dengan mainan kecil memberantas korupsi, maka sebaiknya lembaga tersebut dibubarkan saja. Menurutnya, itu sama saja menunjukkan penegakan hukum danga-danga (asal-asalan). Dia mengusulkan, sekarang ini lebih baik memperbaiki institusi penegakan hukum konvensional (polisi dan jaksa). Kedua institusi itu diyakininya mampu bekerja maksimal dan produktif tatkala dibekali istimewa seperti KPK. “Bila kasus Eldin yang dipakai jadi ukuran sehingga KPK merasa telah berprestasi melakukan OTT, rasanya sudah tak jelas urusan memperbaiki negara ini,” sindirnya.
Dosen Sosiologi Politik itu beralasan, sesuai perkembangan dan informasi media massa, Eldin hanya melakukan upaya menutupi kekurangan biaya perjalanan dinas dari yang dianggarkan. Dalam APBD Medan, terang Shohibul, anggaran yang ditetapkan untuk kegiatan kunjungan sister city ke Jepang senilai Rp 500 juta. Namun realisasi kebutuhan Rp 1,4 miliar. Nah, untuk menutupi kekurangan dana, kata Shohibul lagi, Walikota Eldin meminta (bantuan dana) beberapa pihak terkait. Diantaranya 14 pejabat dan mantan pejabat eselon 2 di lingkungan Pemko Medan. Artinya, tidak jelas dosa dan kesalahan dari realitas tersebut. “Dosanya apa ? Salahnya dimana? Atas nama hukum dan keadilan, kasus ini saya anggap tak pantas disidangkan,” heran Shohibul. (MS/BUD)