SK Plt Ketua DPD Partai Golkar Sumut akan Keluar ? Dosen USU: Jika Diskresi Outsider Ijeck Langgar AD/ART, Ketum DPP Golkar Berpotensi Digugat

Dosen Fisipol USU Medan, Fernando Sihotang, MA. (Foto: Ist/www.MartabeSumut.com)
Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Jika benar SK Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Partai Golkar Sumut akan dikeluarkan Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto terkait konflik hasil Musda X Partai Golkar Sumut, maka tujuan SK Plt harus dijalankan sesuai mekanisme internal Partai Golkar dan mampu menjawab kondisi tak menentu pasca-Musda X Partai Golkar Sumut. Begitu pula saat Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto akan mengeluarkan diskresi (kebijakan) menyangkut sosok outsider (pendatang) Wagubsu Musa Rajekshah alias Ijeck yang digadang-gadang jadi Ketua DPD Partai Golkar Sumut periode 2020-2025. Artinya, Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto berpotensi digugat bila diskresinya kelak melanggar AD/ART Partai Golkar apalagi mengabaikan mekanisme aturan internal dan dinamika demokrasi Partai Golkar yang sedang bergejolak.

Suasana Musda Partai Golkar Sumut di Hotel JW Marriot Medan, Senin siang (24/2/2020). (Foto: www.MartabeSumut.com)

BACA LAGI: Dr Faisal Ingatkan Airlangga Legalitas Musda Golkar Sumut, Sindir Calon Aklamasi & Sikapi Outsider Ijeck Sesuai AD/ART

Peringatan tersebut dilontarkan Dosen Fisipol USU Medan, Fernando Sihotang, MA, kepada www.MartabeSumut.com, Kamis siang (27/2/2020). Berbicara melalui saluran telepon, Fernando menjelaskan, penerbitan SK Plt Ketua DPD Partai Golkar Sumut patut mematuhi aturan, mekanisme internal partai dan memenuhi prinsip-prinsip demokratis. Fernando pun memposisikan Partai Golkar sebagai partai senior diantara Parpol peserta Pemilu saat ini. Sebagai partai senior, katanya, Golkar secara lembaga sudah seharusnya mumpuni menghadapi persoalan-persoalan politik pada tingkat internal. “Jadi saya tidak berasumsi bahwa kader-kader Partai Golkar tidak mumpuni dalam menyikapi persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh kepentingan-kepentingan politik tataran internal,” ujarnya. Fernando menilai, mencermati kondisi kekinian (hasil Musda X Partai Golkar Sumut), mau tak mau DPP Partai Golkar dan DPD Partai Golkar Sumut harus sudah mampu menyelesaikan sesingkat mungkin “dualisme” situasi politik internal yang terjadi. Hal itu dipastikannya urgen mengingat ajang Pilkada serentak 23 wilayah di Sumut dijadwalkan 23 September 2020. “Saya bukan pula mau mengatakan ada dualisme kepengurusan. Karena memang belum muncul keputusan resmi DPP Partai Golkar (SK Plt) menyikapi isu “Musda ecek-ecek” (Ketua KOSGORO Sumut) atau “Musda cacat hukum” (Waketum DPP Golkar Azis Syamsuddin),” tegas jebolan S1 USU Medan jurusan Ilmu Politik ini.

BACA LAGI: Walau DPP Complain, Forum Musda X Partai Golkar Sumut Muluskan Yasyir Ridho Lubis Aklamasi

Hormati Mekanisme Internal

Sebagai outsider, lanjut Fernando, dirinya tidak mungkin menyentuh mekanisme demokrasi yang seyogianya menjadi landasan Partai Golkar dalam setiap agenda politik internal. Termasuk seperti apa mekanisme dan kondisi yang dijalankan atau terjadi pasca-Musda X Partai Gokar Sumut beberapa hari lalu. Namun selaku akademisi, Fernando meyakini pengurus Partai Golkar di DPP maupun di DPD Sumut sangat sadar menghormati mekanisme internal yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi serta aturan internal partai. “Tarik menarik kepentingan politik di tubuh internal Parpol merupakan hal biasa. Toh harus tetap di atas landasan demokrasi (aturan) partai,” ucapnya.

Ketum Partai Golkar Berpotensi Digugat 

Menyinggung tarik-menarik kepentingan pusat dan daerah (konflik internal Golkar) terkait sosok outsider Ijeck yang “dipaksa” jadi ketua DPD Partai Golkar Sumut, alumnus Magister Human Rights (Politics) dari Friedrich Alexander Universitat Erlangen – Nurnberg Germany ini menyatakan wajar-wajar saja. Masalahnya sekarang, timpal Fernando lagi, andaikan di dalam AD/ART Partai Golkar justru termaktub kondisi (aturan) yang tidak membenarkan outsider menjadi Ketua atau Sekretaris pengurus akibat terbentur syarat-syarat formal. Nah, ketika DPP tetap bersikeras mengangkat outsider tersebut, dalam hal ini jika Ketum DPP Partai Golkar yang melakukan, Fernando memperkirakan bukan mustahil telah terjadi pelanggaran serius atas prinsip-prinsip demokrasi dan mekanisme aturan internal. “Bila ada poin tertuang dalam AD/ART Partai Golkar, maka siapapun itu, termasuk Ketum DPP Partai Golkar, harus patuh dan tunduk dengan konstitusi partai. Awas, Ketum DPP Partai Golkar berpotensi digugat melanggar AD/ART tatkala diskresi outsider yang dikeluarkan berbenturan dengan aturan dan mekanisme internal partai,” ingatnya. Bagi Fernando, ketika seorang Ketum (Airlangga Hartarto) melanggar ketentuan, niscaya keputusannya menjadi preseden buruk dalam pembangunan politik internal Partai Golkar. Sehingga bisa mengganggu fungsi-fungsi partai politik melakukan rekrutmen politik, komunikasi politik hingga edukasi politik. “Kedepan ya jadi preseden buruk buat konstituen maupun berbagai stakeholder. Cuma saya kurang tahu, apakah Ketum Partai Golkar memang punya hak veto (diskresi) yang diatur dalam AD/ART Partai Golkar,” selidiknya bertanya.

BACA JUGA: 23 Daerah di Sumut Gelar Pilkada 2020, Antisipasi 3 Kekhawatiran Ini

Istilah Diskresi

Pada sisi lain, Fernando memiliki penilaian khusus terhadap istilah diskresi yang dipakai Partai Golkar. Berbeda dengan pendapat sebelumnya dari akademisi USU Medan Dr Faisal Akbar Nasution, yang menegaskan istilah diskresi hanya dipakai kalangan eksekutif (pemerintahan). Menurut Fernando, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskresi atau discretion (Inggris) bermakna keputusan yang diambil dalam kondisi tertentu; keputusan yang diambil untuk menghindari kondisi-kondisi yang dianggap bisa menjadi polemik, berbahaya atau juga memberikan acuan makna hampir sama yaitu: kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Jadi kalaupun DPP (Ketum Partai Golkar) akhirnya mengeluarkan satu diskresi (SK Plt ketua DPD atau menampung outsider), Fernando menganggap tidak ada masalah. Sebab dia berpandangan, diskresi tidak hanya digunakan oleh pejabat pemerintahan saja. “Mungkin banyak pihak menilai diskresi itu ranahnya pejabat pemerintah lantaran mengacu pada definisi diskresi melalui UU No. 30/2014 tentang administrasi pemerintahan,” tutup dosen, yang juga berdisiplin ilmu Human Rights (Hak Asasi Manusia/HAM) tersebut.

BACA JUGA: Waspadai KDh 2020 Menjelma Raja-raja Kecil, Rakyat Diingatkan Selektif Pelajari Track Record Kandidat

Syarat Ketua Diatur ART & Juklak

Data dihimpun www.MartabeSumut.com, selain petunjuk pelaksana (Juklak) tata cara pemilihan ketua, ada pula ART Partai Golkar Pasal 12 poin 7 yang mengatur pemilihan ketua DPD. Dalam aturan Juklak dijelaskan mengenai 9 syarat untuk mendaftar sebagai bakal calon ketua. Pertama, pernah menjadi pengurus Partai Golkar tingkat Provinsi, pengurus tingkat Kabupaten/Kota ataupun pernah menjadi pengurus Provinsi organisasi pendiri dan yang didirikan selama 1 periode penuh. Kedua, berpendidikan minimal S1 Sederajat. Ketiga, aktif terus menerus menjadi anggota Partai Golkar sekurang-kurangnya 5 tahun dan tak pernah menjadi anggota partai politik lain. Keempat, dinyatakan lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan kader Partai Gokar. Kelima, memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela (PD2LT). Keenam, memiliki kapabilitas dan akseptabilitas. Ketujuh, tidak pernah terlibat G30 S PKI. Kedelapan, bersedia meluangkan waktu dan sanggup bekerja sama secara kolektif dalam Partai Golkar. Kesembilan, tidak mempunyai hubungan suami/istri atau keluarga sedarah dalam satu garis lurus ke atas dan ke bawah yang duduk sebagai anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota mewakili partai politik lain atau menjadi pengurus partai politik lain dalam satu wilayah yang sama.

BACA JUGAMaju Pilkada ASN & Legislator Wajib Berhenti, Dosen UMSU Sebut Indonesia Krisis Kepemimpinan

Sementara dalam ART Partai Golkar Pasal 12 poin 7 menyatakan secara tegas syarat-syarat menjadi ketua DPD provinsi, kab/kota dan pimpinan kecamatan/desa/kelurahan atau sebutan lain. Calon ketua wajib memenuhi syarat-syarat diantaranya: menjadi pengurus aktif terus menerus sebagai anggota Partai Golkar selama 5 tahun dan tidak pernah menjadi anggota Parpol lain. Kemudian aktif pula sebagai pengurus sekurang-kurangnya 1 periode pada tingkatannya dan atau satu tingkat di bawahnya. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here