SAAT ini diperkirakan ada 300 ribuan Hektare (Ha) tanah rakyat di penjuru Sumut disebut-sebut dirampok PTPN II, III, IV, perkebunan swasta Nasional dan asing. Kondisi tersebut diduga kuat skenario kelompok mafia tanah melalui keterlibatan oknum-oknum petinggi PTPN, aparat hukum, pejabat hingga kepala daerah dengan modus legalisasi tanah rakyat masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU). Konflik lahan kian meruncing tatkala status tanah eks HGU PTPN banyak diperjualbelikan kelompok mafia dan merugikan negara tidak sedikit. Padahal, semua lahan HGU PTPN yang tidak diperpanjang lagi maka seketika itu juga menjadi milik negara. Sebab, Keppres No 32/1979 mengamanatkan, setiap tanah yang ada di Indonesia akan didata pemerintah supaya berfungsi. PTPN II, III, IV di Sumut selaku perusahaan negara yang bertanggungjawab menjaga asset-asset negara dan BPN Sumut sebagai otoritas regulator pertanahan, sepatutnya menjelaskan jujur masalah-masalah tanah rakyat, landreform, adat/ulayat yang diduga sengaja dimasukkan dalam HGU. Begitu pula kejelasan status setiap lahan HGU yang berakhir atau tidak diperpanjang lagi. Pada sisi lain, Gubsu pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 188.44/871/KPTS/2011 tertanggal 23 September 2011 tentang pembentukan Tim Penanganan areal yang diberikan HGU PTPN II sekira 56.341,73 Ha serta lahan yang tidak diberikan HGU seluas 5.873,06 Ha di wilayah Kab Deli Serdang, Kab Serdang Bedagai, Kab Langkat dan Kota Binjai. Tujuannya tidak lain karena meruncingnya konflik sosial, konflik horizontal dan konflik vertikal sejak 5 tahun terakhir sampai sekarang.
FAKTA lain dikumpulkan, Gubernur Sumatera Utara masa H Tengku Rizal Nurdin pernah menyahuti tuntutan rakyat Sumut dengan membentuk tim penyelesaian lahan eks HGU PTPN II melalui SK Gubsu Nomor 693.05/1754/K/99 tanggal 22 Agustus 1999. Diantaranya tim terpadu penelitian dan pemecahan masalah sengketa tanah antara masyarakat dan perkebunan di Sumatera Utara dengan melibatkan pemerintah, tokoh masyarakat dan akademisi. Selanjutnya dibentuk juga Panitia Pemeriksa Tanah B Plus sesuai SK Gubsu No 593.4/065/K/2000 tanggal 11 Februari 2000 Jo No 593.4/2060/K/2000 tentang penyelesaian masalah/tuntutan/garapan rakyat di lahan PTPN II. Tim B Plus terdiri dari Pemerintah Provinsi Sumut, Pemkab Deliserdang, Langkat, Kota Binjai dan BPN Sumut. Tim tidak melibatkan pihak PTPN II dan masyarakat karena merupakan tim yang diberi tugas melakukan pemeriksaan terhadap lahan yang dituntut rakyat dan lahan yang diajukan perpanjangan HGU oleh PTPN II.
NAMUN berbagai kebijakan pemerintah Sumut itu justru terkesan “setengah hati”. Rezim pemerintah berganti tapi sang pengganti terindikasi tidak paham lagi peta konflik atau regulasi awal yang pernah dikeluarkan penguasa sebelumnya. Konflik lahan menyeruak deras diikuti aksi massa yang tiada henti. Semua berteriak lantang soal penangkapan mafia tanah, penuntasan konflik agraria hingga kebijakan tegas atas status lahan HGU maupun kepastian peruntukan lahan eks HGU PTPN yang habis masanya. Sementara sindikat mafia tanah tetap tak tersentuh hukum walau terang-terangan merampok, menguasai, mengusahai, memanipulasi, mengadu-domba, menjual bahkan membeli murah (mark-down) asset negara berupa tanah HGU/eks HGU. Pertanyaan muncul di permukaan: kenapa rakyat selalu ngotot mengklaim lahan yang digarap adalah milik turun temurun berdasarkan alas hak kebijakan landreform (proyek redistribusi tanah rakyat) pemerintah/Badan Pertanahan pasca-penjajahan Jepang dan Belanda berakhir ? Kenapa masyarakat mempersoalkan tanah adat selalu berada dalam lahan HGU PTPN ? Kenapa pula masyarakat merasa berhak atau merasa memiliki lahan HGU maupun eks HGU PTPN ?. Benarkah PTPN II, III, IV, perkebunan swasta Nasional, asing, oknum-oknum petinggi PTPN, aparat hukum, pejabat hingga kepala daerah terlibat sindikat mafia tanah sehingga memakai modus legalisasi tanah rakyat masuk areal HGU ? Lalu, apa memang sangat susah mendudukkan peruntukan setiap lahan HGU PTPN yang sudah berakhir masanya karena itulah akar persoalan utama ?
Risau Konflik Lahan
Adalah Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Syamsul Qodri Marpaung, Lc, yang risau dengan kemelut konflik tanah di Sumut. Politisi PKS ini galau mendengar ribuan kasus sengketa tanah rakyat dengan PTPN, perkebunan daerah dan modal asing yang tak kunjung membuahkan solusi. Bahkan konflik sosial kerap berujung bentrok, jatuh korban, anarkisme dan tindak pidana. Legislator membidangi kesejahteran rakyat itu mengatakan, mengacu PP No 40 tahun 1996, setiap HGU PTPN yang telah habis masanya otomatis kembali ke negara dalam hal ini Gubernur selaku eksekutor. “Pertanyaannya saya sekarang, kenapa tidak dijelaskan peruntukannya ? Kalau memang terlantar dan digarap rakyat, mending Gubsu membagikan kepada rakyat supaya terjadi percepatan kesejahteraan warga negara,” ingatnya kepada www.MartabeSumut.com, Selasa siang (26/4/2016) di gedung DPRDSU Jalan Imam Bonjol Medan. Dengan tidak jelasnya peruntukan lahan eks HGU PTPN, lanjut Syamsul Qodri Marpaung, maka mafia tanah bebas bermain merusak tata nilai kehidupan berbangsa bernegara. Modusnya disebut dia memantau HGU yang akan berakhir atau mengkondisikan HGU supaya tidak diperpanjang. “Mafia tanah berhasil untuk itu. Oknum PTPN khususnya PTPN II kita duga ikut terlibat. Makanya Sumut perlu dipimpin orang berkepribadian kuat, berani dan siap menghadapi risiko apapun. Kenapa HGU PTPN II yang berakhir masanya tidak ditetapkan peruntukannya,” sindir Syamsul Qodri Marpaung. Dia pun mencontohkan kasus eks HGU PTPN II seluas 78,16 Ha di Dagang Kerawan yang sempat diributkan warga. “Saya dengar ada penjualan/penyerahan hak atas tanah negara (eks HGU) dengan ganti rugi yang dilakukan dihadapan Notaris Ernawaty Lubis, SH, melalui akte nomor 13 tanggal 16 November 2005 antara mantan Dirut PTPN II Ir H Suwandi kepada DR RM HM Suprianto alias Anto Keling selaku Ketua Yayasan Nurul Amaliyah,” singkapnya.
Pemerintah Tidak Tegas
Hal senada disampaikan anggota Komisi E DPRDSU Ahmadan Harahap, SAg, MSP. Menurut politisi PPP tersebut, hingga kini pemerintah tidak tegas menyelesaikan konflik tanah terutama eks HGU PTPN II. “Ada pembiaran. Oknum pemerintah, aparat dan pejabat PTPN juga bermain. Ini bom waktu. Pemerintah harus membuat kebijakan tegas tentang HGU PTPN II, III, IV apalagi lahan eks HGU PTPN yang sudah berakhir,” ucapnya kepada www.MartabeSumut.com, Selasa siang (26/4/2016) di gedung DPRDSU. Lantaran pemerintah Sumut yidak tegas, timpal Ahmadan, tentu saja akar persoalan dijadikan lahan empuk oleh mafia tanah. Merujuk PP 10 tahun 1961, terang Ahmadan, eks HGU PTPN II yang tidak diperpanjang dan akan dialihkan menjadi hak pihak lain, pelepasannya memang harus mendapat izin menteri terkait. “Kasus tanah di Sumut macam benang kusut tapi wajib dituntaskan. Sikat mafia tanah agar asset negara tidak hilang begitu saja. Kita sesalkan PTPN, Gubernur dan Meneg BUMN kurang sukses menjaga tanah negara namun menimbulkan ekses konflik sosial berkepanjangan,” tuding Ahmadan Harahap.
Tidak Ganti Rugi Keperdataan Semata
Sedangkan Wakil Ketua Komisi A DPRDSU Richard P Sidabutar, SE, berpendapat, merujuk UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Keppres 32/1979 tentang kondisi tanah terlantar, persoalan pelepasan tanah untuk menjadi hak, bukan seperti yang disebut-sebut selama ini dengan jalan ganti rugi keperdataan semata. Melainkan harus membayar ke kas negara melalui proses yang dilakukan BPN. Kendati demikian, Richard tak menampik bahwa tanah yang dilepaskan dari HGU/Hak Guna Bangunan (HGB) memiliki hak perdata yang harus diakui juga. Contohnya diungkapkan dia meliputi HGB yang tidak diperpanjang lagi. Rata-rata pemilik hanya mau melepaskan bila dilakukan lebih dulu ganti rugi perdata. Tapi kalau eks HGU yang tidak diperpanjang dan habis masanya, tegas Richard, maka tidak memerlukan izin menteri. “Contohnya eks HGU PTPN II. Dapat dialihkan jadi hak guna bangunan atau hak guna usaha pihak lain sepanjang tidak melepaskan hak dasar tanah. Lahan eks HGU PTPN merupakan tanah negara yang langsung menjadi kewenangan gubernur dan diatur UU tanpa harus meminta persetujuan menteri terkait,” yakin Richard, saat dikonfirmasi www.MartabeSumut.com, Selasa pagi (26/4/2016) di gedung Dewan. Politisi Gerindra ini percaya, konflik sosial dan horizontal bisa dicegah bila Pemerintah Sumut jujur menyelesaikan lahan eks HGU. “Daftar ploting lahan eks HGU yang dilepaskan sudah ada kemarin, kenapa lagi ? Sejak lama Tim B plus bekerja, dimana sekarang ? Cepat selesaikan supaya jangan jadi bom waktu dan dimanfaatkan mafia tanah,” pintanya. Richard memastikan, fungsi tanah di era kekinian akan terus bergeser. Dari fungsi sosial menjadi kapital. Artinya, imbuh dia lebih jauh, jika masa HGU PTPN berakhir, UU mengamanatkan kembali ke negara dan upaya pemerintah adalah melokalisir peruntukannya. Richard pun mengimbau Gubsu menjelaskan peruntukan setiap lahan eks HGU PTPN serta tidak menerbitkan HGU yang dipermasalahkan rakyat. “HGU harus clean and clear. Perpanjangan HGU patut transparan. PTPN II, PTPN III dan PTPN IV di Sumut wajib menertibkan asset negara. Jangan ada pembiaran apalagi terhadap oknum PTPN yang menjual tanah negara dan terlibat mafia tanah,” tutup Richard, seraya mengajak warga Sumut menghormati asas hukum, menjaga kondusifitas keamanan dan siap menguji atau menempuh jalur konstitusi dalam memperjuangkan hak atas tanah.
PR Erry Bila Jadi Gubsu Defenitif
Ketua Komisi A DPRDSU Sarma Hutajulu, SH lebih keras lagi. Bagi dia, konflik tanah tak kunjung selesai lantaran pemerintah/aparat tidak 1 komando mengeluarkan sikap, surat/instruksi penyelesaian. Mulai dari BPN yang tidak cermat meneliti pemohon HGU, tidak meneliti lahan supaya clear and clean sebelum menerbitkan sertifikat serta sengaja mengeluarkan kebijakan salah karena terlibat mafia tanah. “HGU PTPN yang aktif saja diperjualbelikan mereka apalagi eks HGU. Saya rasa ini “PR” Pak HT Erry Nuradi bila kelak defenitif jadi Gubsu. Test case sama beliau, tuntaskan konflik agraria dan berantas mafia tanah di Sumut,” cetus Sarma kepada www.MartabeSumut.com, Selasa sore (26/4/2016) di gedung DPRDSU Jalan Imam Bonjol Medan. Politisi PDIP ini mensinyalir, banyak asset negara yang telah dijual oknum pejabat PTPN II, PTPN III dan PTPN IV, termasuk oknum pemerintah kab/kota, BPN, Pemprovsu, kepolisian, Camat hingga kades/lurah. Puncak konflik tanah eks HGU PTPN II disebut Sarma terjadi manakala ada pelepasan lahan dari Meneg BUMN untuk yang tidak diberikan HGU seluas 5.873,06 Ha di wilayah Kab Deli Serdang, Kab Serdang Bedagai, Kab Langkat dan Kota Binjai. “Pemprovsu perlu membuat road map penyelesaian kasus tanah eks HGU PTPN II. Tapi selama ini pemerintah pasif, kita tidak melihat ada political will (niat baik). Konflik tanah di Sumut bom waktu. Kita sedang berfikir membuat Pansus Tanah khususnya eks HGU PTPN II. Kita minta diidentifikasi berapa total lahan HGU dan eks HGU PTPN II, III dan IV. Tim yang dibentuk Pemprovsu sudah banyak. Makanya kita mau kerja tim itu dievaluasi lagi. Maping yang 5.873,06 Ha pun belum jelas. Siapa yang kuasai,” herannya. Menyinggung banyak anggota DPRDSU periode 2009-2014 menolak pembentukan Pansus Tanah, Sarma menyatakan tidak gentar membawa lagi ke DPRDSU periode 2014-2019. Bila kepentingan rakyat diatas segalanya dan kasus tanah berpotensi jadi bom waktu, kata Sarma, maka tidak ada alasan untuk menolak pembentukan Pansus Tanah. “Tidak ada alasan fraksi menolak Pansus Tanah. Ini tolok ukur. Kita tahu banyak kepentingan,” akunya. Kepada warga yang menggarap lahan untuk kehidupannya Sarma menyatakan mendukung penuh. Namun menolak sikap masyarakat yang menurut saja disuruh mafia tanah demi modus menguasai/mengusahai lahan. “Hentikan konflik sosial, sikat mafia tanah. Kita dukung perjuangan masyarakat atas tanah adat dan tanah legal sesuai alas hak serta sejarah tanah,” simpul Sarma. (MS/BUD)