www.MartabeSumut.com, Medan
Salah satu konflik pertanahan yang paling besar di Sumatera Utara (Sumut) adalah lahan eks HGU PTPN 2 yang sudah cukup lama dibiarkan berlarut-larut. Pembiaran itu disebabkan berbagai kepentingan elite dan dunia usaha yang ikut bermain karena melihat potensi tanah sebagai aset penting.
Penilaian tersebut dilontarkan Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, kepada www.MartabeSumut.com, Selasa (21/1/2020) via saluran pesan WhatsApp. Shohibul mengatakan, selain permainan elite dan dunia usaha, perebutan lahan eks HGU juga akan selalu menampakkan sisi sejarah pemerintahan dan transisi yang tak mulus antara pemerintahan kerajaan-kerajaan di sekitar Sumatera Timur dengan pemerintahan Republik yang terbentuk 18 Agustus 1935. “Sultan Jogja saja memiliki klaim hukum atas jengkal demi jengkal tanah di kerajaan itu. Sangat berbeda dengan keadaan di sini (Provinsi Sumut). Sisi hukum yang sangat lemah inheren dengan faktor sejarah dan pemerintahan di atasnya (lebih tinggi). Setahu saya, klaim-klaim beberapa kedatoan tertentu dan pewaris, misalnya, tetap memiliki klaim hukum yang berdasar namun kini cenderung kabur. Dimana milik kedatoan, dimana pula punya pihak lain. Masalahnya terus menjadi sengketa dan tak boleh diabaikan,” ingatnya.
BACA LAGI: Kakanwil BPN RDP di DPRDSU: Ada 974 Perkara Tanah di Sumut, Quo Vadis 5.873,06 Ha Eks HGU PTPN 2 ?
Terkesan Dibiarkan
Jika konflik lahan eks HGU PTPN 2 terkesan sengaja dibiarkan, Shohibul menegaskan tentu saja menandakan ketidak-jelasan kapasitas pemegang otoritas hukum dan politik. Apalagi ketika situasinya menjadi sangat rumit. Shohibul melihat, apa pun kata daerah soal lahan eks HGU PTPN, tetap saja Jakarta (Menteri BUMN) yang memiliki otoritas untuk menentukan. “Maaf kalau saya salah,” timpalnya. Dari dulu, kalau pun disebut secara vulgar ada mafia atau bandit tanah, Shohibul memastikan memang sangat sukar dibantah lantaran perannya “hadir” dalam kompleksitas pertanahan eks HGU. Dia menyatakan, umumnya kelompok-kelompok yang “distempel” pemburu tanah, itu bisa tumbuh subur karena kadar supremasi hukum nyaris vakum dan lemahnya political will (kemauan pemerintah).
BACA LAGI: Soal 5.873, 06 Ha eks HGU PTPN II, Kakanwil BPN/ATR Sumut: 2.216 Ha Sudah ada Peruntukan
BACA LAGI: 32 Ha Lahan Penggarap Kebun Helvetia Dieksekusi: HPPLKN Ngadu ke DPRDSU, Sesalkan Putusan MA Ceroboh
Penggarap Sadar Bukan Haknya
Dosen Sosiologi Politik ini melanjutkan, masyarakat pengunjuk rasa (penggarap) sebenarnya cukup sadar bahwa lahan eks HGU PTPN bukanlah hak mereka. Tapi tetap saja menyimpan harapan besar agar dikukuhkan sebagai pemilik tanah dengan sertifikat dari kantor ATR/BPN. Menurut Shohibul, peluang penyelesaian masih sangat potensil. “Kelompok pengunjuk rasa paham kasus-kasus serupa pernah diselesaikan dengan pemberian ganti rugi. Meski nilai ketidak-puasan mengemuka, toh fakta itu menambah optimisme penyesaian damai,” ucapnya. Sedangkan Pemprovsu dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) dinilai Shohibul urgen duduk bersama mengevaluasi existing condition (kondisi terkini) atas faktor keberhasilan dan kegagalan usaha selama ini. Termasuk apa yang disebut dengan nama Tim B Plus. Bagi Shohibul, rencana Pemprovsu membangun Taman Botani, Islamic Centre hingga Sport Centre, tentulah juga penting sebagai sarana pendidikan umum bahkan media rekreasional masyarakat yang nantinya menjadi salah satu andalan fasilitas Sumut.
BACA LAGI: DPRDSU Bahas Konflik Eks HGU PTPN II 2.216, 28 Ha, Poldasu Pantau Perkembangan Kasus TPU & Tipikor
BACA LAGI: Warga Tak Bisa Urus Sertifikat Tanah, Komisi A DPRDSU Sinyalir Mafia Tanah Bermain di BPN Medan
BACA LAGI: Putusan MA Alihkan eks HGU PTPN ke Swasta, Gubsu Harus Lakukan Gugatan
Kendati demikian, Shohibul kembali meyakini bahwa sebelumnya pengunjuk rasa telah mengikuti proses pemindah-tanganan hak atas tanah eks HGU PTPN 2 peruntukan lahan pembangunan Islamic Centre. Akan halnya prosedur perencanaan pembangunan Taman Botani, Sport Centre dan Islamic Centre, Shohibul menyarankan segera dibahas serius oleh berbagai pihak pemangku kepentingan. Tak hanya antara eksekutif dan legislatif, melainkan melibatkan para ahli serta berbagai lapisan rakyat dan wakil-wakil pengunjuk rasa. Sebab Shohibul percaya, kewenangan tertinggi dalam pemutusan lahan eks HGU PTPN 2 berada pada Menteri BUMN. “Sekali lagi mohon maaf kalau saya salah. Makanya harus jadi prioritas agar konflik berangsur reda dan kenikmatan bernegara tercapai. Inilah salah satu paradoks Indonesia. Jokowi bergairah membagi-bagi sertifikat tanah, tapi tak pernah berani menggubris dominasi elite. Yusril Ihza Mahendra pernah menyebut, jumlah elite hanya sekira 0,2 persen namun justru menguasai 74 persen dari total lahan yang ada,” singkap Shohibul. (MS/BUD)