Persatuan, Bukan Kesatuan..! (Merefleksi Usia Kemerdekaan RI ke-68)

Bagikan Berita :

Ada beberapa catatan tersisa dan menggelayut di benak tatkala mengikuti Dialog Nasional Pemuda di Cipanas-Jawa Barat tahun 2002 silam. Pertemuan yang sengaja digelar Departemen Pertahanan Keamanan (Dephankam) RI, itu membedah suara minor rakyat atas konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hingga kini forum diskusi tersebut masih tetap segar dalam ingatan. Meninggalkan banyak pengalaman menarik dengan segudang dinamika percakapan yang terlalu sering diinterupsi dan diskors. Tertatih-tatih mengakomodasi aspirasi apalagi merumuskan rekomendasi baku untuk disetujui bersama. Sampai-sampai, beberapa perwira tinggi berpangkat Jenderal bintang 1, 2 dan 3 dari Dephankam hingga pejabat tinggi kantor Menpora selaku tuan rumah, kerap gelagapan mengantisipasi kegaduhan peserta. Pasalnya, setelah 4 tahun era reformasi bergelinding, kala itu, 33 pemuda yang hadir mewakili 33 provinsi, mengkritisi deras penyebab lunturnya semangat persatuan rakyat di penjuru Tanah Air. Fakta pemerintah diskriminatif, tidak peduli aspirasi daerah, rezim berkuasa memperkaya kroni-kroni hingga kekuatan politik yang mencari keuntungan masing-masing tanpa menjalankan fungsi pendidikan politik rakyat, akhirnya dijadikan angle universal diskusi sekaligus penghakiman terhadap kapasitas pemerintah saat menggerakkan roda kekuasaan negara kesatuan. Kekuatan kepluralan (kesatuan) bangsa dinilai telah tercabik-cabik akibat pembiaran pemerintah (penguasa) atas badai ketidakadilan, kesenjangan sosial, sulitnya mencari perdamaian hingga porak-porandanya keutuhanciptaan di penjuru Tanah Air. Paham Integralistik Bangsa (persatuan) yang pernah dicetuskan jauh-jauh hari oleh Prof DR Soepomo disebut-sebut berantakan diterjang kerakusan pihak-pihak yang memegang kekuasaan. Hakekat kemerdekaan dengan konsepsi negara kesatuan, seperti diikrarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga mendapat sorotan minus dan dipandang sinis. Forum diskusi menyibak tabir dan fakta berbagai gugatan daerah yang getol memisahkan diri dari NKRI.

Berangkat dari benang merah diskusi di atas, saya pun mencoba menarik benang biru yang melatarbelakangi kemunculan suara-suara sumbang terhadap kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Hasilnya cukup mencengangkan. Kendati realita diskusi pada masa transisi reformasi itu telah berlalu, toh dinamika rakyat serupa masih belum terselesaikan hingga kini. Senandung NKRI tetap saja tidak merdu terdengar disela-sela jeritan manusia yang statistiknya telah mencapai sekira 200 juta-an jiwa. Lihat saja sederetan bukti aktual ini. Rakyat ‘masih kesepian ditengah-tengah keramaian’ alias belum merasa merdeka, rakyat sangat yakin telah dijajah oleh penjajahan gaya baru yang dipraktikkan pemerintah/penguasa dengan menggandeng kaum kapitalis berbalut kebijakan privatisasi asset-asset yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik, warga negara kian sinis atas pemanfaatan kepentingan elite Parpol yang rakus menduduki lembaga legislatif maupun kekuasaan, rakyat tak kuasa keluar dari derita kemiskinan akibat ketimpangan ekonomi bahkan rakyat sangat kecewa melihat ketidakpedulian penguasa menyelesaikan berbagai konflik horizontal/vertikal dan merasa tidak punya pemimpin panutan.

Belum selesai di sana, masyarakat juga apatis dengan keluhuran negara memajukan kesejahteraan umum, warga negara prihatin menyaksikan pola-pola penggerogotan/perampokan uang negara (korupsi), rakyat risau dengan uang miliaran bahkan triliun rupiah setiap seremonial formal kenegaraan HUT RI di tingkat pusat-daerah dan rakyat meronta tatkala mengetahui perjalanan dinas pejabat pemerintah pusat/daerah yang penuh indikasi korup/mark-up. Selain contoh-contoh tersebut, rakyat juga sangat merindukan sosok-sosok pemimpin eksekutif, legislatif dan yudikatif yang berfikir praktis pro kepentingan wong kecil dalam menyelesaikan masalah dan bukan memanfaatkan masalah. Pada sisi lain, warga negara yang membayar listrik selalu tak berdaya menghadapi perlakuan sewenang-wenang Perusahaan Listrik Negara (PLN) memadamkan arus kapan saja, rakyat bingung menyaksikan anggota DPRD merayakan HUT RI di hotel mewah, rakyat risih dipimpin kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, rakyat pun menjerit menyaksikan birokrasi pelayanan publik aparat feodalis yang ujung-ujungnya selalu duit, serta banyak ekspektasi rakyat lainnya yang tidak mungkin terbilangkan dalam garis bawah ini. Tapi suka atau tak suka, setuju atau tidak setuju, mau tak mau, dan kalau kita masih jujur mendengarkan nurani hati, itulah update potret buram NKRI yang sekarang berpesta ria mengagung-agungkan usia kemerdekaan 68 tahun dan suka mempropagandakan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir negara kesatuan. Namun ironisnya, disaat-saat rakyat yang ‘masih kesepian ditengah-tengah keramaian’ tadi mencoba bergandengan tangan membentuk persatuan sendiri, saat itu pula pemerintah/penguasa bangga melontarkan sikap negara kesatuan melalui cara-cara halus dan kasar. Disela-sela rakyat berteriak lantang tentang sulitnya memenuhi kebutuhan hidup akibat harga melonjak tinggi, pengambil kebijakan di negeri/daerah ini justru bersatu menguras harta negara untuk kepentingan individu dan kelompok. Dan ketika rakyat meronta karena terpaksa hijrah ke luar negeri jadi TKI disebabkan tidak tersedianya lapangan kerja dan tidak jelasnya jaminan negara atas persamaan pendidikan/kesehatan, maka jangan pernah terkejut bila pemerintah akan dengan enteng bahkan cepat bereaksi pura-pura bloon atau menunjukkan ke publik kepalsuan empati.

Menyeruak deras berbagai pertanyaan di benak saya: salahkah bentuk negara kesatuan yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 Bab I Pasal 1 ? Kenapa banyak orang dengan cepat mengatakan kalau NKRI itu harga mati, dan salahkah bila diubah menjadi Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI) ? Masih belum sadarkah para penguasa negara ini kalau Timor Timor telah dicaplok secara jantan akibat ketidakmampuan mempertanggungjawabkan secara benar paham kesatuan yang digembargemborkan ? Malukah mereka mengatakan bahwa pulau-pulau yang kita anggap bagian dari kesatuan, kini banyak dilirik dan dirampok negara asing secara terang-terangan? Terasa sulitkah mengakui ketidakberesan paham kesatuan itu tatkala rakyat Papua dan Yogyakarta hampir-hampir pisah ranjang dari NKRI ? Atau, pertanyaan terakhir yang lebih sederhana untuk para pemegang kekuasaan di wilayah NKRI ini: kenapa ya kepintaran Anda justru terindikasi kuat jago menjajah bangsa sendiri ? Kenapa ya negara asing yang demonstratif melecehkan wibawa Indonesia semisal kasus-kasus klaim warisan budaya, melewati perbatasan perairan laut, kasus penyiksaan/pembunuhan TKI, perendahan martabat anak bangsa oleh negara lain, perpindahan kewarganegaraan di wilayah perbatasan akibat kekecewaan hingga kebijakan memerangi kemiskinan, malah tidak pernah beres dihadapi dengan sikap cerdas ? Saya jadi tersenyum-senyum kecil sekarang kala mengurai negara kesatuan yang tidak lagi seksi di mata rakyat Indonesia. Dan itu sudah terbukti dengan lepasnya Provinsi Timor Timor, yang diikuti gelombang keinginan membentuk komunitas kesatuan primordial dalam menuntut persamaan hak/nasib seperti warga Yogyakarta beberapa waktu lalu. Benak saya yang lain kembali berkecamuk. Sebab jawaban untuk semua pertanyaan di atas bersifat retoris bila dikaitkan dengan segudang fakta empiris miris yang sudah terjadi di era kekinian: mayoritas rakyat apriori  !

Semangat Menyatukan Kesatuan

Bila ditelisik lebih jauh, sebenarnya founding fathers (pendiri negara) Indonesia ini memiliki semangat awal (besar) untuk menyatukan kesatuan berbagai potensi ribuan pulau, ratusan suku, puluhan etnis serta bermacam agama kedalam 1 bingkai bernama Indonesia. Itu saja, lain tidak. Ribuan pulau yang berisi aneka suku, golongan dan agama, diyakini oleh para pendiri negara sebagai kekuatan eksklusif positif yang sangat tangguh bila dipersatukan dalam satu kesatuan tatanan hidup. Namun maksud mulia para founding fathers sepertinya membuahkan kesia-siaan belaka. Upaya mereka mempersatukan kesatuan-kesatuan tidak ditindaklanjuti secara adil berkesinambungan, dibiarkan melarat dan malah ‘membuang kotoran ke periuk nasi sendiri’ alias beraninya menjajah warga negara sendiri dan sok jago di kandang. Jadi adalah suatu hal yang sangat wajar bila akhirnya kesatuan-kesatuan yang eksklusif tadi mulai bangkit melawan. Mencoba membentuk kekuatan baru untuk menentukan nasib hidup yang lebih baik. Artinya, suara sumbang serta gugatan atas definisi konstitusional negara kesatuan Indonesia saat ini harus jujur diakui berseliweran deras dan mengharuskan pembahasan serta oerhatian serius semua kmponen terkait. Seluruh komponen bangsa patut sadar bahwa : paham negara kesatuan hanyalah kemustahilan belaka bila semua aliran kesatuan yang sudah bersatu tidak mengerti apa tujuan negara atau tidak diberitahukan lagi secara jelas apa sebenarnya cita-cita bersama yang ingin dicapai.

Berbicara mengenai kesatuan, kita tidak dapat memisahkannya dari kemajemukan unsur-unsur yang memiliki ukuran-ukuran ideal emosional dan psikologi khusus. Jalan satu-satunya mempertahankan suatu kemajemukan (baca; kesatuan) hanyalah mengakomodasi unsur berbeda secara proporsional, untuk selanjutnya memberikan bukti dengan membagikan hasil-hasil dari tujuan dan cita-cita bersama yang telah digariskan. Hanya dengan semangat itulah bisa diperoleh strategi menyatukan kesatuan yang ada sehingga tidak lahir jaringan kesatuan baru yang berakar dari ketidakpuasan. Saya percaya, bisa saja analisa ini salah dan harus diuji lagi kebenarannya. Namun saya lebih berkeyakinan, pasti ada alasan masuk akal yang menuntun kesatuan-kesatuan bersikap frontal dan memunculkan arogansi eksklusivismenya. Timbul lagi pertanyaan skeptis: apakah semua itu dilatarbelakngi kemiskinan, ketidakadilan, penindasan tersembunyi, kesejahteraan rendah, ketertinggalan dan penderitaaan rakyat yang berlangsung panjang? Jawabannya tetap saja retoris dan ada baiknya kita lihat sama-sama berdasarkan fakta yang terbentang di sekitar. Tapi saya mau menggariswbawahi, apapun yang sudah dipersatukan, pada akhirnya akan menampilkan perlawanan dan pembangkangan manakala prinsip persamaan untuk hidup berdampingan lebih sejahtera telah diabaikan. Negara Kesatuan yang diimpikan besar pun jangan pernah lagi diharapkan berjalan baik. Percaya atau tidak, yang pasti buktinya bisa dipelajari dari sejarah bangsa ketika Indonesia mengedepankan kekuatan kesatuan daerah melawan penjajahan. Perlawanan kedaerahan dengan mengandalkan semboyan ‘hidup atau mati’, ternyata terbukti sakti di wilayah itu sendiri namun terasa lemah secara ke-Indonesia-an karena terkotak-kotak dan mudah dipecahbelah Belanda melalui politik kolonial devide et impera.

Persatuan, Bukan Kesatuan !

Persatuan bermakna keutuhan integral dari beragam kesatuan. Persatuan yang dibentuk bertujuan untuk mencapai kesamaan maksud dan keinginan luhur mengubah taraf hidup. Dari uraian di atas sangat jelas ditegaskan bahwa Indonesia ini lahir dari persatuan atas keberagaman kesatuan-kesatuan daerah. Saya berpendapat, negara Indonesia merupakan bentuk persatuan dari kemajemukan yang tiada terbatas dan bukan sebatas kesatuan daerah. Bila pemikiran itu disepakati pemahamannya, selanjutnya tugas negara persatuan adalah menerjemahkan keragaman aspirasi, memperjuangkan tuntutan kebutuhan hingga melestarikan karakteristik kepentingan tanpa diskriminasi. Tapi lucunya, praktik negara kesatuan Indonesia sekarang justru melupakan hakekat terciptanya persatuan yang kokoh. Terkesan bersifat slogan belaka dengan konsepsi ‘masukkan dulu jadi satu, lalu lepas kepala dan pegang ekor’. Persoalan lain yang kemungkinan muncul dianggap urusan nomor tujuh karena yang paling penting adalah propaganda pengaturan berpola sentralistik kaku dengan jargon negara kesatuan. Akibatnya ratusan juta rakyat yang sudah mau berhimpun menjadi Indonesia bukan dikelola dengan baik. Melainkan diremehkan, dibiarkan dan diperlakukan sewenang-wenang tanpa pernah menampakkan semangat mewujudkan tujuan/cita-cita luhur negara mensejahterakan rakyat.

Tulisan ini tidak bermaksud mempersoalkan tafsir konstitusi NKRI atau memprovokasi secara negatif. Melainkan mengherankan dan mengkritisi kinerja pemerintah/penguasa yang telah bias menerjemahkan cita-cita luhur dan semangat awal para pendiri negara saat membentuk negara kesatuan. Sama seperti pemahaman Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan isi butir-butir Pembukaan UUD 1945 yang sebatas di bibir, maka makna negara kesatuan yang saya amati dalam realita kekinian cuma sekadar simbolik, formalitas dan sebatas mempertontonkan kepada publik dunia bahwa Indonesia memiliki keragaman daerah/wilayah/suku/agama yang terpencar luas dan dapat dihimpun dalam satu kesatuan. “Pokoknya NKRI, NKRI harga mati”. Itulah kata-kata yang sering terdengar beberapa tahun belakangan. Kalau kalimat itu diungkapkan karena memang didasari semangat awal pendiri bangsa dan serius menyoroti demi perbaikan kondisi yang terjadi sekarang di berbagai daerah, mungkin jadi tidak ada masalah. Tapi yang menggelikan bila ada yang mengatakan justru tidak paham apa yang dikatakannya karena sebatas ikut-ikutan bicara di bibir tanpa memandang realita kurun waktu 68 tahun Indonesia merdeka. Lebih konyolnya lagi, ada pula yang mencoba asal bunyi tentang NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, tapi malah bangga korupsi atau pura-pura tidak tahu kalau akibat praktik korupsi jelas-jelas menibulkan kemiskinan rakyat secara global dan bertentangan dengan 5 sila Pancasila. Bukankan Anda bicara sebatas di bibir dan tidak mengerti arti NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika?

Secara kosa kata, mungkin jadi persatuan dan kesatuan ditafsirkan mengandung arti sama dan tidak berbeda. Tapi saya menggarisbawahi, sekarang ini sebutan negara kesatuan itu tidak lagi populer di mata rakyat. Diartikulasikan datar tanpa essensi emosional historis karena memang tidak berkorelasi lagi dengan pendalaman wawasan kebangsaan, cita-cita luhur bahkan tujuan negara. Sementara penguasa alias pemerintah alias pejabat alias pemegang mandat kekuatan negara, tak henti-hentinya menjadikan sebutan negara kesatuan sebagai alasan klasik untuk meredam berbagai ketidakpuasan. Maka dari itu, ada baiknya negara ini melakukan revisi/amandemen lagi terhadap UUD 1945 dengan logika awal pendirian 1 organisasi kecil. Kenapa?  Karena organisasi kecil saja dibentuk bernafaskan kesatuan-kesatuan orang yang memiliki semangat (kemampuan SDM) berbeda. Namun perbedaan itu dipersatukan sejak awal dengan semangat visi misi untuk bersatu mencapai tujuan bersama. Organisasi dibentuk bukan untuk membuat pemimpinnya saja berhasil sementara anggota terkucil. Bila tujuan suatu organisasi tidak lagi sama untuk membuat semua potensi berhasil, maka tidak mengherankan satu organisasi dapat bubar dengan sendirinya. Bahasa sederhana saya: “ketika tidak ada kita bersatu/berkawan, namun ketika sudah ada kita malah bercerai/bermusuhan”. Itu baru telaah untuk logika persatuan organisasi yang digeluti puluhan bahkan ribuan orang. Bagaiamana pula dengan organisasi negara yang memiliki ratusan juta jiwa manusia? Jawabnya sama persis. Secara normatif pengelolaannya tidak berbeda. Negara tidak didirikan untuk membuat aparat, pejabat, birokrat dan konglomerat tertawa-tawa  di atas penderitaan rakyat. Tapi berkewajiban menciptakan kesejahteraan bersama dalam berbagai tataran hidup yang kompleks. Semua kita mengetahui, Majelis Agung Uni Soviet harus mengambil keputusan pahit pembubaran negara super power itu pada 26 Desember 1991. Kemudian diikuti negara Federal Yugoslavia yang berdiri berdasarkan dukungan kesatuan 2 daerah bernama Serbia dan Montenegro. Negara Yugoslavia yang eksis sejak 1992 akhirnya ‘almarhum’ pada 2003 akibat konflik etnis berkepanjangan. Semua kita yang membaca garis bawah ini sekarang bisa pula memastikan, bubarnya 2 negara itu tidak terlepas dari peran pemerintahnya yang tidak lagi memperhatikan persatuan rakyat saat menjalankan kekuasaan negara. Bagi saya, kalau Indonesia tercinta ini mau tetap kokoh disebut NKRI, sepatutnya kembali dulu pada pemahaman awal para pendiri negara yang mempersatukan keragaman bangsa menjadi satu kesatuan. Penafsiran kosa kata persatuan atau kesatuan sebenarnya tidak perlu diperdebatkan sepanjang instrumen fikiran pendiri negara tadi dipahami saat menjalankan roda organisasi negara. Sebab kurun waktu 68 tahun Indonesia merdeka, kesatuan-kesatuan yang ada saat ini memang masih terlihat bertahan. Namun kita jangan menutup mata, alergi atau pura-pura bloon bahwa jeritan mayoritas rakyat menuntut realisasi cita-cita luhur/tujuan negara adalah bukti valid belum terwujudnya maksud mulia NKRI itu sendri.

Pertahankan Persatuan dalam Kesatuan itu !

Akhirnya, memasuki HUT RI ke-68 tahun 2013, saya mau mengingatkan, bila bangsa Indonesia mau sepakat untuk tetap sepakat menerapkan harga mati atas Negara Kesatuan, ada baiknya semangat mempertahankan persatuan di dalam kesatuan-kesatuan menjadi wajib hukumnya harga mati pula. Caranya? Gampang sekali ! Makna negara kesatuan jangan dipraktikkan sekadar simbolik, formalitas dan cuma mempertontonkan kepada publik dunia kalau Indonesia mampu mengakomodasi keragaman daerah/wilayah/suku/agama yang terpencar luas. Konsep negara kesatuan jangan sekadar jargon justivikasi konstitusi (pembenaran) untuk sebuah situasi yang quo vadis (ketidakpastian arah) atau pemaksaan kehendak demi mencari objek  pelengkap penderita. Sebab tidak bijaksana rasanya mengaku berhasil menyatukan keragaman (kesatuan) sementara yang disatukan mengindikasikan quo vadis (tidak tahu mau kemana tujuan negara). Dalam tulisan ini saya mau memberi contoh kecil up to date terkait pemaksaan pelengkap penderita yang bersifat quo vadis. Misalkan saja menyangkut ‘keributan’ tuntutan atas nama otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Seperti kita ketahui, awalnya, semua ‘aktor intelektual’ yang datang mengusung nafas otonomi/pemekaran menyuarakan kepentingan rakyat dan kesejahteraan daerah. Padahal, sejak awal pun semua orang juga tahu kalau orientasi ‘mereka’ adalah meraih kekuasaan, perampokan uang alokasi daerah dan semata-mata kepentingan sesaat. Lihat saja buktinya 1 wilayah kelurahan yang dimekarkan menjadi kecamatan bernama Pematang Jaya di Kab Langkat Sumut. Kendati sudah beberapa tahun menjadi kecamatan otonom, di sana justru tidak kunjung berdiri sekolah setingkat SMU yang seharusnya jadi syarat utama sebelum mendirikan kecamatan. Warga di Kec Pematang Jaya pun harus kesulitan dan tidak tahu bagaimana cara terbaik menyekolahkan anaknya. Mereka terpaksa jauh-jauh menyeberangkan anaknya melalui sungai hanya untuk mengantarkan sang anak bersekolah ke Kab Aceh Tamiang.

Itulah salah satu potret buram yang bersifat kesatuan simbolik. Fakta ini saya rekam langsung berdasarkan hasil temuan Reses salah satu anggota DPRDSU T Dirkhansyah Abu Subhan Ali, SE, Ak, dari Dapem Langkat Binjai, medio Juni 2012 lalu. Bukan mustahil kasus serupa juga banyak terjadi di penjuru Sumut bahkan Republik ini. Pertanyaan berikutnya sekarang; dimana tanggungjawab Gubernur, Bupati atau pejabat terkait yang memekarkan daerah itu ? Contoh lain dapat dicermati di Provinsi Kalimantan Barat, yang merupakan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Lokasi pembatas antar-negara memang hanya beberapa kilometer saja sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Saya kurang tahu persis nama desa itu tapi di wilayah tersebut tidak sedikit warga negara Indonesia yang kurang terurus, pembangunan tertinggal, ‘kesepian ditengah-tengah keramaian’ dan kesulitan memperoleh hak-hak hidup bermartabat. Celakanya, akibat ketertinggalan semisal pembangunan jembatan, roda perekonomian masyarakat/keluarga ikut terganggu. Masalah pemicu seperti itu bukannya ditanggapi serius pemerintah walau sudah sering diteriakkan, namun seolah-olah cuek dan baru kebakaran jenggot manakala warga Indonesia di sana beramai-ramai hijrah/berganti kewarganegaraan (baca: membubarkan diri dari NKRI) secara terang-terangan atau tidak menolak saat ditarik diam-diam oleh pemerintah Malaysia. Pertanyaan terakhir saya untuk kita semua; dimana tanggungjawab Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati atau pejabat terkait ? Kalau benar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak quo vadis, kenapa wilayah perbatasan yang sudah bersatu itu dianggap sebatas simbol pelengkap penderita? Tanggungjawab siapakah yang mengurusi mereka dan menjaga martabat warga negara ?

Persatuan dalam suatu kesatuan itulah yang sejatinya. Persatuan, bukan kesatuan..! Bila saya kembali mengacu angle Diskusi Nasional Pemuda bertajuk paham NKRI pada 11 tahun silam, saya tegas menyampaikan pemikiran agar pemerintah menerapkan sungguh-sungguh 9 kata: “jangan anggap remeh kesatuan-kesatuan yang sudah mau bersatu”. Namun kepada floor diskusi saya terang-terangan memprovokasi; bahwa kemelut negara Indonesia yang belum tuntas sejak reformasi bergulir tahun 1998, hingga kini, patut disadari pemerintah/aparat penguasa/pengambil kebijakan yang ada di pusat atau di bawah pusat, sebagai bagian tidak terpisahkan dari rangka kesatuan yang terbukti retak. Saya pun mengusulkan renovasi rangka retak dilakukan dengan jalan memperbaiki keadaan melalui kebijakan yang benar-benar memahami arti kata persatuan, lalu menjalankan program kesejahteraan umum, melayani rakyat dengan ikhlas serta tanggap terhadap persoalan berkembang. Empat hal sederhana itu saya katakan sangat mendesak dilakukan pemerintah secara konsisten agar rakyat yang ‘masih kesepian di tengah-tengah keramaian’ dan merasa mengalami penjajahan gaya baru selama ini tidak terpancing meretakkan lagi rangka kesatuan yang ada kedalam bentuk persatuan baru. Rakyat harus tahu bangsa ini mau kemana bukan negara yang quo vadis. Rakyat juga harus bisa merasakan adanya pengayoman baru terkait hak-hak memperoleh persamaan martabat hidup semisal pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keadilan, perdamaian, keutuhanciptaan, penegakan hukum, memberantas birokrasi administrasi publik yang terkikis akibat aparat feodalis, hingga kejujuran pemerintah memupus musuh luar biasa bernama korupsi.   

Garis bawah ini sengaja saya tuliskan karena mencintai Republik Indonesia. Tidak ingin Indonesia bubar seperti nasib Uni Soviet-Yugoslavia dan miris atas masa depan bangsa yang sewaktu-waktu rentan diambang perpecahan. Menurut hemat saya, keberadaan perekat persatuan/kesatuan bangsa dengan lambang Garuda Pancasila, UUD 1945 dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, sangatlah kurang bijak kalau masih saja dipandang sebagai alat kamuflase semu kepentingan terselubung. Jujur saja, para pendiri negara memang berfikir amazing (menakjubkan) dan saya sendiri terpesona melihat 3 instrumen luar biasa itu dalam konteks menyatukan kepluralan yang ada menjadi satu kesatuan. Dalam artian, saya mau memastikan, besar kemungkinan ada puluhan juta rakyat lain yang setuju dengan gagasan saya ini dan tidak rela negara Indonesia bubar akibat kerakusan segelintir oknum pemerintah/penguasa yang suka menyalahgunakan kekuasaan serta gemar melakukan penjajahan gaya baru dengan mengatasnamakan persatuan, kesatuan semu, agama, etnis, suku, golongan dan kelompok. Padahal, mereka menyelipkan vested interest (kepentingan  tersembunyi) yang ingin dicapai dengan melupakan agenda kesatuan dan persatuan yang lebih besar. Kedepannya, kalimat perumpamaan “ketika tak ada kita kawan dan ketika sudah ada jadi lawan” patut dijadikan refleksi singkat. Tanamkanlah prinsip itu sebagai moral force yang tidak boleh ditawar-tawar dalam potret mempertahankan keutuhan NKRI yang penuh persatuan. Bukan apa-apa, Kerajaan Majapahit saja mampu menjaga persatuan dan kesatuan rakyatnya kendati bernaung dalam banyak wilayah terpisah. Majapahit tidak pernah terdengar terpecah dalam kesatuan-kesatuan ‘sesat’ disebabkan pemimpinnya peduli dengan berbagai masalah kesejahteraan umum. Rakyat yang mendapat persamaan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan, selanjutnya merajut tekad bulat untuk tunduk pada persatuan Majapahit. Dan sejarah mencatat pula, Majapahit bisa bertahan sampai usia 324 tahun. Indonesia Raya kita ? Alamakjaaannnngggg, kalau orang Medan bilang. Baru 68 tahun saja sudah banyak pemerintah/pemimpin/penguasa/aparat/pejabat/birokrat kita yang lupa diri. Mereka selalu kagum merampok uang rakyat dan membiarkan orang merasa tidak merdeka/terjajah. Lalu terpingkal-pingkal merampas hak-hak orang kecil, senang melihat orang susah, susah melihat orang senang, puas menyaksikan rakyat ‘kesepian ditengah-tengah keramaian’, bahkan bangga membuka peluang kelahiran kesatuan-kesatuan rakyat yang bertekad ‘pisah ranjang’. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan Roh takut berbuat curang kepada semua pemimpin di Republik ini, Amin. Dirgahayu Indonesiaku ke-68..!

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here