www.MartabeSumut.com, Medan
Kasubdit Jaminan Fidusia Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham RI Iwan Supriadi mengingatkan pihak perusahaan leasing (pembiayaan) dan kepolisian tidak sembarangan menarik unit kendaraan konsumen yang menunggak pembayaran angsuran. Kendati dalam Pasal 15 ayat 2 UU No 42/1999 tentang jaminan fidusia dinyatakan sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, toh mekanisme eksekusi harus tetap melalui tahapan yang menghormati hak-hak debitur (konsumen/pemberi fidusia). Iwan mengakui, dalam ayat 3 dikuatkan lagi bahwa apabila debitur cidera janji, penerima fidusia (leasing/kreditur) mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. “Tapi tetap saja gak bisa dirampas seenaknya,” ingat Iwan, tatkala menyampaikan materi bertajuk “Kebijakan Jaminan Fidusia dan Perkembangannya” yang digelar Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Jumat pagi (24/5/2019) di Hotel Adi Mulia Jalan Diponegoro Medan.
Di hadapan 80 peserta dari unsur perusahaan leasing, notaris, kepolisian, kejaksaan dan pegawai Kanwil Kemenkumham Sumut, Iwan beralasan, apapun ceritanya, para debitur memiliki hak yang patut dihormati kreditur. Sehingga bukan sepenuhnya pengambilan keputusan menjadi hak kreditur. Polisi disarankan Iwan tidak ikut-ikutan menarik unit kendaraan konsumen atas permintaan leasing. Menurut dia, ketika semua tahapan telah dilakukan, termasuk memberi surat peringatan bahkan somasi, maka langkah bijak selanjutnya adalah meminta penetapan pengadilan. Nah, setelah penetapan pengadilan keluar, Iwan memastikan aparat kepolisian boleh ikut melakukan eksekusi. Tujuannya untuk mengamankan situasi manakala debitur mempertahankan hak atau memicu masalah. “Saya harap perusahaan leasing selalu mengajukan mekanisme eksekusi yang benar,” imbaunya.
Pasal 29 Juga Atur Eksekusi
Masih menurut Iwan, UU No 42/1999 pada BAB V tentang eksekusi jaminan fidusia, mengatur jelas mekanisme eksekusi. Dia mencontohkan, Pasal 29 ayat 1 berbunyi: apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara : A. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat 2 oleh penerima fidusia. B. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. C. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Kemudian Iwan membeberkan pula isi Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf C dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah bersangkutan. “Pasal 29 mengatur tahapan tata cara eksekusi,” ujarnya.
Dampak Eksekusi Picu erhatian Publik
Iwan menambahkan, tahun 2015 keluar hasil penelitian Litbang Kompas yang menyatakan pendaftaran fidusia tergolong tinggi dengan masalah sangat kecil sekira 0,5 persen. Merujuk data tersebut, Iwan berpendapat, ketika tindakan eksekusi menimbulkan masalah baru yang besar, bukan mustahil muncul konflik yang menjadi perhatian khusus publik. “Biasanya gitu,” yakin Iwan. Saat sessi tanya jawab, www.MartabeSumut.com dapat kesempatan mempertanyakan peran stakeholder fidusia yang kerap mengabaikan delik Pasal 365 KUHPidana tentang perampasan serta Pasal 1321 KUHPerdata tentang perikatan perjanjian. Bagi Iwan, stakeholder fidusia sesuai UU No 42/1999 meliputi perusahan leasing, notaris, OJK, masyarakat dan media. “Warga perlu dibimbing terus supaya semakin paham. Makanya fidusia harus didaftarkan ke Kemenkumham. KUHPerdata 1321 mengatur tak boleh menarik secara paksa. Harus dengan somasi 3 kali dan ada penetapan pengadilan. Semua stakeholdersudah memahami isi perjanjian pokok. Masyarakat wajib diajak membaca perjanjian kredit dan jangan asal ambil barang,” imbaunya. Tak berhenti dengan leasing dan polisi, Iwan pun menyindir kinerja notaris yang cenderung melanggar aturan dan kode etik. “Pantas gak notaris tak baca akta di hadapan para pihak ? Ada kode etik bahwa setiap notaris maksimal buat akta 20 saja. Lalu setelah 30 hari akta dibuat, perjanjian fidusia wajib didaftarkan. Sedangkan pejabat Kemenkumham RI, Raras, membawa materi bertajuk aplikasi fidusia secara online. (MS/BUD)