Ist/www.MartabeSumut.com)
www.MartabeSumut.com, Medan
Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019 bertujuan mengumpulkan suara terbanyak rakyat untuk memilih pemimpin terbaik. Tidak berhubungan dengan isu Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) yang akrab disebut politik identitas. Sebab, selain NKRI/Pancasila adalah harga mati dan sudah jadi konsensus Nasional, strategi politik identitas yang menghalalkan segala cara sangat berbahaya memecah belah keutuhan bangsa.
Peringatan tersebut dilontarkan Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Sumut Kodrat Shah kepada www.MartabeSumut.com, Senin sore (8/4/2019). Dihubungi melalui saluran telepon, Kodrat membenarkan ada pihak yang menerapkan strategi politik identitas (SARA) dalam kontestasi Pilpres 2019. Menurut dia, kerap kali rakyat dicekoki isu SARA bertendensi negatif sehingga masyarakat awam cenderung cepat mengikuti. Padahal, Indonesia bukan negara agama dan rakyat tidak boleh digiring pada pemahaman sesat yang membenturkan agama, suku dan ras dalam kontestasi Pemilu. “Tidak boleh bawa agama. Kita bukan negara agama, Ini negara Pancasila. Jangan melihat atau menarik-narik SARA. Saya tidak setuju. itu gak benar,” ucapnya. Kodrat menilai, sejak beberapa tahun terakhir politik identitas sengaja dibawa dan diciptakan pihak tertentu untuk membodohi rakyat. Realitas itu dianggapnya sangat berbahaya bagi keutuhan negara. Apalagi, hingga kini, masih Pancasila saja yang bisa merekatkan kemajemukan rakyat Indonesia. “Saya selalu jelaskan pada masyarakat bahwa salah besar memakai politik identitas hanya demi kemenangan meraih suara. Harus dibantah tudingan penistaan agama dan kriminalisasi ulama. Media juga patut terus memberitakan. Kalo perlu tiap hari headline,” tegas Kodrat.
Stop Strategi Politik Identitas
Ketika bicara kontestasi Pilpres 2019, lanjut Kodrat lagi, siapapun tidak boleh memakai strategi politik identitas. Namun kalau komunitas agama yang berkumpul, maka sangat masuk akal bila agama dibicarakan dan bukan justru menebar kebencian, hasutan, hinaan, hoax bahkan hujatan. Artinya, jangan gara-gara menerapkan politik identitas, masyarakat dalam komunitas agama sengaja dipancing ikut-ikutan terjebak. Politisi yang menjabat Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumut itu meyakini, beda pilihan sah-sah saja sebagai wujud dinamika demokrasi. Tapi akan sangat luar biasa dampaknya tatkala keutuhan NKRI yang dipertaruhkan. Kendati di lapangan masih relatif normal, toh Kodrat tidak mengingkari aksi pihak pendukung salah satu Capres yang rutin bicara isu agama kepada rakyat. “Saya rasa gak perlu didengar-lah yang bawa-bawa isu SARA. Saya selalu sampaikan kepada masyarakat supaya tidak diikuti. Jujur, ada yang giring isu agama di lapangan. Cara itu tak benar, tidak boleh, itu merusak. Kita mencari pemimpin terbaik bangsa. Masing-masing silahkan buat pilihan. Kita bukan mencari agama. Masyarakat jangan mau dipecah belah akibat hasutan SARA. Kompaklah. Sumut sejauh ini masih baik,” tegas Kodrat..
Politik Identitas Berujung Perpecahan
Bukankah sampai sekarang banyak tudingan penista agama bahkan kriminalisasi ulama ? Kodrat terdengar tersenyum kecut. Bagi Caleg DPR RI No urut 1 Dapil Sumut 1 Kota Medan, Kab Deli Serdang, Kab Sergai dan Kota Tebing Tinggi itu, inilah salah satu bahaya politik identitas yang menarik-narik agama untuk kepentingan meraih suara. Sementara tanpa disadari dampaknya memecah belah suku, agama dan golongan di Indonesia. “Kapan pulak beliau (Jokowi) penista agama ? Kapan pulak beliau mengkriminalisasi ulama ? Saya saja dituduh sebagai Parpol pendukung Capres 01 penista agama. Ada Parpol menuduh saya begitu. Kok dia mau menang dengan isu SARA ? Jahat sekali Parpol yang menuduh Hanura begitu,” sesal Kodrat tak habis pikir.
Lalu, apa pendapat Anda tentang surat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menganggap tidak lajim dan tidak inklusif pola kampanye akbar Capres 02 di GBK Jakarta pada Minggu 7 April 2019 ? Kali ini Kodrat menyatakan surat SBY ada benarnya. Kodrat percaya, SBY juga mencium aroma politik identitas yang berpotensi membelah keutuhan bangsa. “Ini harus dihindarkan. Kerdil sekali, masak mau menang dengan cara-cara kotor ? Memang itulah strategi mereka untuk menang. Tapi tidak boleh. Masyarakat jadi terbelah,” cetusnya. Kodrat pun mengimbau rakyat Indonesia tidak terpengaruh politik identitas yang mengandalkan isu SARA. “Kita perlu beri pencerahan terhadap masyarakat. Kalo ada yang memviralkan isu agama, sara dan ras untuk memecah belah, ya perlu ditangkap polisi atau diproses hukum. Bicara Pilpres ya kepentingan suara saja,” ingatnya. Kepada pemerintah, Kodrat menyarankan melakukan sosialisasi gencar bahaya politik identitas. Rakyat dipastikannya harus dibekali wawasan NKRI/Pancasila agar tidak mudah diadu-domba demi syahwat kepentingan politik. Terhadap kepala daerah, Kodrat menitipkan pesan moral supaya konsisten mendidik publik tentang bahaya politik identitas. Terakhir, sosok bagaimana yang tepat memimpin Indonesia 5 tahun kedepan ? Tanpa helaan nafas sedikitpun, Kodrat spontan menyatakan incumbent Presiden Jokowi. Menurut Kodrat, Jokowi masih yang terbaik karena telah berbuat banyak. “Yang sudah benar, ya akui benar dong. Faktanya, pekerjaan beliau bagus kok. Kiprah Pak Jokowi luar biasa sejak menjabat sampai sekarang,” tutup Kodrat diplomatis. (MS/BUD)